Thursday, June 21, 2018

WILAYATUL FAQIH, SANTRI, DAN MODERNITAS

Santri Modern

Ayatullah di Iran itu harus mencerminkan sosok ‘alim dan sederhana, karena sudah menjadi sebuah pegangan bagi para aimmah sebagai pemegang otoritas agama di kalangan muslim Syiah di Iran. 

Kesederhanaan seorang Ayatullah itu memang betul-betul nampak, namanya juga sederhana tentunya bersifat lahiriah dan dilihat dari cara berpakaian, lifestyle, dan lainnya yang bersifat duniawiyah. Kesederhanaan itu merupakan sebuah konsep sufisme yang menjauhkan dari sifat materialisme yang terkesan dan tercover sebagai pemimpin yang glamour, mewah, dan bergelimang harta. 

Konsep sufisme ini di negeri Batu Pirus itu dikenal dengan ilmu ‘irfan atau ma’rifah. Dalam tradisi keilmuan sunni juga sangat jelas, bahwa hal yang pertama diajarkan dalam agama adalah Ma’rifatul Ilah (Mengenali Tuhan). Ibn Ruslan misalkan dalam karyanya az-Zubad mengatakan; 

أوّلُ واجب على الإنسان معرفة الإلٰه باستقان

Hal yang paling penting dan utama yang menjadi kewajiban seluruh umat manusia adalah mengetahui Tuhannya dan memahami argumentasi adanya Tuhan. 

Ketika manusia memahami Tuhan, tentunya tiada yang lebih besar dan lebih kaya dibanding Tuhannya. Dari konsep ini terlahir sebuah prinsip kesederhanaan di kalangan sufistik Persia itu. Sehingga cerminan seorang Imam itu mencerminkan Nabinya yang met of zonder, mau ada uang atau tidak, tetap berdakwah, menegakkan keadilan, dan melawan pemimpin tiranik yang mencabik kemanusiaan. 

Oleh karenanya Imam Khomeini dengan kesederhanaannya ia hanya mempunyai rumah sebesar 3x5 meter, kalau saya ukur dengan kontrakan saya di Ciputat, rasanya saya tersipuh malu di depan pimpinan revolusi Islam itu. Saya hanya seorang mahasiswa tukang “tidur” dengan kontrakan cukup mewah 12x6 meter tidak menghasilkan kreatifitas apapun. 

Sang Imam sangat mirip dengan Gubernur Persia waktu itu yaitu Salman Al-Farisi, sosok Gubernur yang sederhana dan banyak didatangi tamu dari pemimpin-pemimpin luar, untuk sekedar mencari keberkahan dan belajar.

Terus apa hubungannya santri, wilayatul faqih dan ayatullah? Bukannya wilayatul faqih itu sistem politik? Dan Iran itu Syiah? Sedangkan kita ini kan Sunni. 

Saya pernah menjadi santri, saya pernah menjadi seorang yang cukup ekstrimis secara pemikiran dan keberpihakan politik. Waktu itu saya pernah mengagumi sosok Abu Bakar Baasyir, Habib Rizieq, dan pejuang Islamisme lainnya. Hal ini terkesan lumrah di kalangan santri, dan terkesan heroik, seakan menjadi super hero ketika menjadi sosok pembela Islam. Lah bagaimana tidak menjadi heroik, wong kita membela agama kok! 

Namun saat ini, saya urungkan cita-cita saya yang ingin menjadi super hero itu, setelah banyak bergaul dengan dunia luar dan mencoba membuka dan melebarkan jidat. Saya kubur dalam-dalam cita-cita itu, dan saya baru sadar, ternyata waktu itu saya hanya pejuang Islamisme, bukan Islam. Ideologi Islamisme adalah kekuasaan dan tiranik. Sedangkan Islam adalah Dien al-Salam, seperti yang dinyanyikan oleh Nisa Sabyan, wanita cantik vokalis gambus itu. 

Lagu Deen al-Salam karya Sulaiman al-Mughni itu telah menginspirasi seluruh umat manusia, bahwa agama itu adalah perdamaian, bukan konflik dan kebencian. Thaks brother, gara-gara lagumu itu orang PKS banyak yang suka lagu itu, karena yang mempopulerkan lagu itu Nisa Sabyan yang cantik, dan suaranya jernih begitu juga aransemen musiknya yang sangat millenial, meskipun orang PKS gak paham artinya. Hehehe. 

Kok jadi ngomongin Nisa Sabyan sih! Gak jadi ngomongin wilayatul faqih nih? 

Wilayatul Faqih itu memang sudah menjadi sistem politik, tapi jauh sebelum itu wilayatul faqih atau wali faqih sudah menjadi tradisi umat muslim di mana pun, baik sunni maupun syiah. Bahkan NU adalah salah satu organisasi muslim terbesar yang menggunakan konsep wilayatul faqih secara tidak sadar. Kok tidak sadar? Lah bagaimana tidak, seorang santri sangat menghormati kiainya bahkan kucingnya pun ia hormati, dan selama hidupnya kiai itu jadi Marja’-nya (rujukan). 

Secara sederhana, konsep wilayatul faqih adalah “Maraji’”, toh wajar kan jika muslim sunni merujuk ke ulama-ulam Mesir, begitu juga muslim syiah merujuk ke ulamanya di Iran, dan begitu pula orang NU merujuk dan mematuhi fatwa-fatwa kiainya, dalam istilah Jawa “enggih-enggih, iya-iya”. Tidak bisa ditawar, kalau menurut kiainya “A” ya harus ngikut “A”. Simpel toh? 

Dalam agama Kiai itu adalah Murabbi, bukan hanya sebatas guru mengajar habis itu pulang. Bukan. Murabbi itu hingga urusan akhirat ada keterlibatan seorang Kiai di situ, karena ia adalah Murabbi ruuhi al-Murabb, sebagai pendidik ilmu dan akhlak yaitu dzahiriyah dan bathiniyah, agar antara keilmuan dan etika tersinkron dan bersanad (link) hingga Rasulullah SAW. Jadi tanggung jawabnya sangat berat. 

Menghormati Kiai dalam kamus santri adalah takdzim. Lantas apakah takdzim itu menghalangi modernitas? Seperti apa yang ditulis oleh Mahbub Djunaedi bahwa kiai itu anti-kritik, dan kontra-revolusi? 

Ternyata bukan hanya Orba dan perancang UU MD3 yang memang anti-kritik, tapi Kiai juga sudah dari dulu mempunyai tradisi anti-kritik. Inilah perbedaan Ayatullah di Iran dan Kiai di NU, Ayatullah di Iran masih bisa dikritik, misal Ayatullah Ali Khamenei dikritik oleh parlemen. Coba kamu kritik kiaimu, bisa-bisa kamu dikutuk, atau dilaknat hahaha. Bahkan dalam UU Iran ada istilah “Rahbar dar bara bare qawanin ba sayer-e afrad-e keshwar musawi ast.” Di mata hukum Rahbar dan Rakyat biasa sama. Coba di Indonesia, kalau ada Ulama dihukum dipenjarakan, contoh Ustadz Alfian Tanjung, atau Habib Rizieq, bisa ngamuk-ngamuk itu orang sebelah, mungkin demo berjilid-jilid. 

Jadi kepatuhan terhadap Ulama (to obey the Oelama) di kalangan kita lebih respek, dan taat daripada mematuhi hukum negara (to obey the law). Oleh karenanya banyak dari kalangan aktivis atau anak muda NU yang mengkritik kiainya. Kata Mahbub, sah-sah saja, asal sopan “sambil berbisik” di mimpiku. Hahaha

Dalam pegangan warga Nahdliyyin, kita mempunyai pijakan; 

المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح

Memelihara tradisi lama yang baik, dan mengadopsi modernitas yang bermanfaat. 

Apakah manusia mampu berintegrasi dengan kemajuan dunia modern? Terutama kita yang selama ini hanya membuka lembaran turats saja? Ini bukan menghina, tapi faktanya saat ini dunia dikuasai itu. 

Perubahan dan perkembangan kerap kali mencengkeram kesadaran budi manusia dan lalu mencampakkannya pada mesin-mesin dan robot-robot. Sementara itu, moralitas tentu saja bukan mesin dan spiritualitas tidaklah mekanistik dan robotik. Lalu apa kita ini? Sampah yang tak laku? Atau sampah yang didaur ulang? 

Kata Yuval, yang menjadi superior dari manusia adalah menulis sejarah tentang keberadaannya, jika tidak seperti itu apa bedanya dengan hewan yang lainnya. Dalam bahasa Plato atau Aristo yang dikutip oleh Abu Zaid Abdurrahman al-Ahdlari dalam Kitab Sullam al-Munauraq bahwa manusia adalah Hayawan al-Nathiq (Hewan yang berpikir), nathiq secara makna adalah berbicara, namun kemampuan berbicara itu merangsang otak manusia untuk berpikir, sehingga manusia yang berpikir mampu mengukir pikirannya dalam sebuah tulisan, itu yang dimaksud oleh Yuval Noah Harari. 

Dogma yang membuat manusia hidup sebagai makhluk sosial dengan normanya yang diatur dalam agama sebagai imagined order, akan punah dengan perkembangan pesat modernisasi dan digitalisasi. Terus apa yang akan berkembang? 

Data! Data adalah Tuhan.

Tuhan atau Dewa yang lahir dari Silicon Valley, yang mengumpulkan data untuk kemudian diolah dan dikembalikan sebagai ‘pilihan’ yang tersedia untuk manusia. Data adalah sumber kehidupan. Data lebih tahu daripada diri kita sendiri. Data mengontrol kehidupan kita sebenarnya. Bahwa manusia tak lebih dari algoritma yang bisa diatur tentang pengalamannya, emosinya dan keputusannya. Facebook dan Google tahu lebih banyak tentang diri kita dan masa depan daripada kitab suci yang dibuat oleh manusia ratusan tahun silam.

Pada akhirnya manusia akan tergantikan oleh manusia-manusia super dengan intelejensia super, yang Harari sebut sebagai Homo Deus. Kita akan musnah, kecuali jika terus mengupgrade dan mengupdate semua informasi dan data yang tersebar bebas di dunia maya dan nyata. Sepertinya seorang profesor pun tak cukup hanya dengan membaca jurnal setiap hari. 

Semakin canggih teknologi, semakin tinggi kesenjangan yang terjadi di dunia. Karena teknologi mahal harganya yang hanya bisa dinikmati oleh WEIRD – Western, Educated, Industrialised, Rich and Democratic society yang tidak mewakili sampel manusia secara keseluruhan.

Itu kata Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus. Apakah mungkin terjadi? Sangat bisa. Apakah itu ramalan? Bukan, itu prediksi dengan kemajuan teknologi yang dilihat saat ini. Jika saya masih pejuang Islamisme, mungkin saya kurang percaya dengan prediksi buku ini. Tapi sangat mungkin terjadi, meskipun tidak ada rumusnya dalam agama. 

Lantas apa langkah kita selanjutnya? 

Apakah kita akan tetap ribut dengan perdebatan 11 Abad silam tentang jumlah rakaat tarawih, atau qunut? Atau kita akan sedikit lebih maju memahami perbedaan dan kemanusiaan. Atau bahkan melampaui itu jika mampu. 

Ini semua adalah tantangan bagi kita penduduk bumi, benar yang dikatakan Weber dalam teori evolusi, “yang mampu beradaptasi akan bertahan, yang tak mampu beradaptasi akan terlindas dan mati”. 

Tantangannya seperti apa? 

Ya, minimal Kiai kita lebih laku dan lebih banyak dikunjungi dari pada Kiai Google. Hahaha.
Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: