Mudik |
Indonesia
sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim tak heran dikala hari raya
besar Islam seperti Maulid, Muharram, I’edul Adlha, I’edul Fithri dan
masih banyak yang lainnya, masyarakat Indonesia serentak merayakan hari-hari
besar Islam tersebut. Bahkan yang lebih uniknya ada beberapa hari besar Islam
yang dijadikan hari libur untuk anak-anak sekolah, sepertinya jika semua hari
besar Islam dijadikan hari libur kemungkinan lebih banyak liburnya dari pada sekolahnya,
hehehe.
Apalagi
dihari raya I’edul Fithri yang sudah menjadi kebiasaan atau sebuah tradisi yang
melekat dengan masyarakat muslim Indonesia, tak ayal jika di Bandara,
Pelabuhan, Terminal dll, penuh dengan orang-orang yang bermudik dari kota menuju
kampung halaman. Di Indonesia sendiri tradisi mudik ini berawal dari tradisi
para santri zaman dulu, ketika mondok di sebuh pesantren, yang mana setiap
pondok pesantren di Indonesia diawal bulan Ramadhan sering melakukan kegiatan
pengajian pasaran (pengajian kilatan) yang dilaksanakan selama bulan Ramdhan,
sehingga ketika pengajian sudah tuntas maka Kiai sebagai guru Pesantren
memberikan kabar gembira, dengan memberikan hari libur untuk para Santri supaya
bisa bertemu dengan keluarga tercintanya di kampung halaman masing-masing.
Tradisi yang sangat menarik ini menjadi sebuah kebiasaan dahulu sampai saat
ini, memang pada zaman dulu, dikarenakan tidak ada sekolah, hampir semua
masyarakat muslim Indonesia menelan meja pendidikan di Pondok Pesantren, sehingga
tradisi mudik lebaran ini merambat, dan mengkontruksi semua pemikiran
masyarakat Indonesia bahwasannya mudik lebaran itu adalah hal yang wajib dan
sangat berdosa jiga ditinggalkan, karena moment seperti ini hanya satu kali
dalam setahun.
Berbeda
dengan Indonesia, Arab Saudi lebih menjadikan hari raya I’edul Adlha
sebagai hari raya paling besar dan istimewa, karena di Arab menyembelih dan
memakan daging Qurban merupakan pesta besar-besaran makan-makan dengan keluarga
besarnya. Lain dengan I’edul Fitri di Arab Saudi, hari raya I’edul Fitri di
sana biasa-biasa saja, tak seperti di Indonesia yang harus menyediakan beberapa
menu makanan dan pakaian-pakaian baru untuk dipake di hari raya I’edul Fithri,
dan inilah salah satu bentuk atau unsur yang membedakan tradisi Islam di
Indonesia dengan di negara muslim lainnya.
Yang menjadi
kesalah pahaman di Negara ribuan pulau ini adalah menjadikan I’edul Fitri
sebagai hari yang sangat berdosa jika tak punya baju baru dsb. Yang padahal
I’edul Fithri menurut sebuah keterangan yang berbunyi;
ليس العيد لمن لبس الجديد ولكن العيد لمن طاعته تزيد
Artinya;
tidak ada hari I’ed bagi orang yang hanya sekedar mencari dan memakai baju
baru, melainkan I’ed hanya bagi orang-orang yang imannya semakin bertambah
Dari
keterangan tersebut sudah jelas bahwasannya hari raya I’edul Fithri ini bukan
ajang untuk berlomba-lomba dalam mencari dan memakai baju baru, meskipun tidak
ada larangan untuk membeli baju baru. Namun yang saya khawatirkan ada sebagian
orang yang mati-matian minjam uang kemana-mana untuk hari lebaran sehingga
hutangnya pun tak kunjung dibayar.
Bagi
masyarakat awam sering kali menafsirkan bahwa I’edul Fithri adalah Kembali ke
Fithrah (kesucian), yang padahal arti makna sebenarnya adalah Kembali Berbuka,
bukan kembali ke Fitrah, jika memang kembali ke Fitrah berarti hadis yang
berbunyi “Orang bertaubat itu seperti orang yang tak punya dosa”,
istilah Arabnya “al-Taa’ibu Ka Man Laa Dzanba Lahu”, tak berlaku?. Oleh
karena itu, harus ada pelurusan makna yang selama beberapa tahun bahkan puluhan
tahun atau beberapa abad ini yang harus kita koreksi.
Alhasil
I’edul Fithri bukan hari raya untuk berlomba-lomba dalam kemegahan sehingga
membuat kita meriyakan diri terhadap orang yang tak mampu membeli baju, dan
juga I’edul Fithri secara makna bukan kembali ke Fitrah melainkan kembali
berbuka atas selama satu bulan lamanya kita berpuasa, dan ketika I’edul
Fitri boleh berbuka atau makan-makan di siang hari. Wallahu ‘Alam
bil-Showab.
0 komentar: