Thursday, April 19, 2018

FILOSOFI KETUPAT

Ketupat

Kekayaan tradisi di Indonesia sangatlah unik jika kita serius mengkajinya, apalagi jika kita fokus dalam salahsatu kajian budaya, atau filologi yang menjadikan Nusantara sebagai obyek kajiannya. Amatlah banyak tradisi, budaya, dan karya sastra masyarakat Nusantara yang mengandung sebuah filosofi-filosofi kehidupan manusia sebagai hamba terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kayaknya menarik jika di momentum lebaran ini saya menulis artikel yang bertemakan tentang “Filosofi Ketupat”.

Keberadaan Ketupat tak bisa lepas dari hari raya I’edul Fitri, hampir seluruh masyarakan Nusantara, atau Indonesia dalam ruang lingkup kecilnya, mengenal yang namanya “Ketupat”, sebuah sajian makanan lezzat jika dicampur dengan opor ayam yang kental dengan santennya. Hehehe. Istilah Ketupat sendiri sangat menjamur di kalangan masyarakat muslim di Nusantara khususnya Indonesia atau Pulau Jawa. Anda tidak akan mendapatkan Ketupat di Arab, Mesir, Amerika dll. Itu hanya asli dan original produk Islam Nusantara.

Dalam beberapa literature sejarah dan budaya yang ada dan telah dicatat oleh para pakarnya, orang yang pertama kali memperkenalkan Ketupat adalah Kanjeng Sunan Kali Jogo, salah seorang Wali Songo yang mampu membaurkan tradisi Nusantara dan ajaran Islam bahasa Gus Durnya “Pribumisasi Islam”. Kanjeng Sunan Kali Jogo mengenalkan Islam dalam wajah Nusantara atau wajah pribumi terhadap para pengikutnya, sehingga Islam mudah diterima oleh masyarakat Pribumi.
Masyarakat Nusantara bukanlah hal yang asing ketika ada sebuah ideologi atau agama dan budaya luar yang masuk, sekiranya sudah mulai dari masuknya agama Hindu Buddha yang seiringan dengan Tarikh Masehi sekitar abad 1 dan 2M, masyarakat Nusantara biasa sudah kedatangan tamu asing. Begitu juga dengan masuknya Islam ke Indonesia sekitar abad ke-2 H. Puncaknya pada abad ke17-18M, yang mana penyebaran Islam ke Indonesia sudah terstukter dengan adanya Wali Songo, pen.
Kanjeng Sunan Kali Jaga memperkenalkan 2 kali Bakda yaitu, bakda Lebaran dan bakda Kupat, Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah lebaran. Pada hari yang disebut Bakda Kupat tersebut, di tanah Jawa waktu itu hampir setiap rumah terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa muda. Setelah dianyam dan diisi dengan beras yang sudah dicampur dengan apu ketupat siap dimasak, dan ketika sudah matang sebagian dibagikan kepada tetangga atau kerabat yang lebih tua, sebagai tanda takdzim (hormat), dan kebersaman.

Ketupat dalam istilah (Jawa), Kupat dalam istilah bahasa (Sunda) dan banyak lagi bahasa lainnya. Ketupat dalam istilah Jawa mempunya makna dari singkatan “Ngaku Lepat” (mengakui kesalahan) dan “Laku Papat” (empat tindakan). Ngaku Kalepatan/Lepat (mengakui kesalahan) diimplementasikan dalam tradisi sungkeman memohon maaf terhadap orang tua di hari raya I’edul Fitri, dan memohon keikhlasan atas hak-hak adamiyah (hak manusia) terhadap kerabat, dan orang lain istilahnya menjaga hak-hak Allah dan hak-hak selain Allah (makhluk-Nya).
Sedangkan, Laku Papat/Laku Opat (empat tindakan), yaitu;

  1. Lebaran bermakna usai dalam artian masyarakat muslim telah selasai melaksanakan tugasnya dibulan Puasa. Lebaran menandakan berakhirnya bulan puasa. Lebaran berasal dari kata Lebar yang artinya adalah ampunan telah terbuka lebar.
  1. Luberan yang maknanya adalah melimpah, dalam artian bahwasannya masyarakat muslim harus membantu masyarakat di sekeklilingnya yang tidak mampu, oleh karena itu pengejawantahan dari Luberan adalah pengeluaran zakat fitrah atau zakat yang lainnya di hari puasa untuk menjelang I’edul Fitri.
  1. Leburan yang mengandung arti habis, musnah atau melebur. Maksudnya, dalam momentum I’edul Fitri dosa ummat Islam diampuni dikarenakan dianjurkannya saling memaafkan antar sesama, istilahnya istihlal wal istirdlo (silih halalkeun jeng silih ridlokeun).
  1. Laburan berasal dari kata Labur atau Kapur, yang maknanya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin.

Dari penjabaran diatas, subtansi atau isi kandungan I’edul Fitri adalah hari di mana, dibukakannya pintu taubat dan pengampunan atas dosa-dosa yang telah terlewatkan, senada dengan perkataan Imam Ali K.w, yang berbunyi;

ﻟﻴﺲ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﻟﺒﺲ ﺍﻟﺠﺪﻳﺪ، ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﻃﺎﻋﺘﻪ ﺗﺰﻳﺪ

"Hari raya bukanlah bagi orang yang memakai pakain baru, akan tetapi hari raya bagi yang bertambah ketaatannya".

وﻟﻴﺲ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﺗﺠﻤﻞ ﺑﺎﻟﻤﻠﺒﻮﺱ ﻭﺍﻟﻤﺮﻛﻮﺏ، ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﻏﻔﺮﺕ له ﺍﻟﺬﻧﻮﺏ

"Hari raya bukanlah bagi orang yang memperindah dirinya dengan pakain dan kendaraan, akan tetapi hari raya bagi orang yang dosa-dosanya mendapatkan ampunan".

وﻟﻴﺲ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﺃﻛﻞ ﺍﻟﻄﻴﺒﺎت ﻭﺗﻤﺘﻊ ﺑﺎﻟﺸﻬﻮﺍﺕ ﻭالملذﺍﺕ، ﻟﻜﻦ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤن ﻗﺒﻠﺖ ﺗﻮﺑﺘﻪ ﻭﺑﺪﻟﺖ ﺳﻴﺌﺎﺗﻪ ﺣﺴﻨﺎﺕ

"Bukanlah hari raya bagi orang menyantap makanan yang lezat, bersenang-senang dengan syahwat dan yang lezat-lezat. Akan tetapi bagi orang yang diterima taubatnya dan kejelekannya diganti dengan kebaikan".

Ketupat mencerminkan 3 perkara; Pertama, mencerminkan beragam kesalahan manusia, ini dilambangkan dengan betapa rumitnya membuat atau menganyam ketupat. Kedua, mencerminkan kesucian hati, ini disimbolkan ketika ketupat dibelah di dalamnya ada nasi putih seperti lontong, ini menandakan kesucian hati setelah saling memaafkan. Ketiga, mencerminkan kesempurnaan, yaitu dengan sempurnanya bentuk ketupat, dan sebuah simbol atas sempurnyanya berpuasa selam satu bulan di bulan Ramadhan.
Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: