Ketupat |
Kekayaan
tradisi di Indonesia sangatlah unik jika kita serius mengkajinya, apalagi jika
kita fokus dalam salahsatu kajian budaya, atau filologi yang menjadikan
Nusantara sebagai obyek kajiannya. Amatlah banyak tradisi, budaya, dan karya
sastra masyarakat Nusantara yang mengandung sebuah filosofi-filosofi kehidupan
manusia sebagai hamba terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kayaknya menarik jika di
momentum lebaran ini saya menulis artikel yang bertemakan tentang “Filosofi
Ketupat”.
Keberadaan
Ketupat tak bisa lepas dari hari raya I’edul Fitri, hampir seluruh masyarakan
Nusantara, atau Indonesia dalam ruang lingkup kecilnya, mengenal yang namanya “Ketupat”,
sebuah sajian makanan lezzat jika dicampur dengan opor ayam yang kental dengan
santennya. Hehehe. Istilah Ketupat sendiri sangat menjamur di kalangan
masyarakat muslim di Nusantara khususnya Indonesia atau Pulau Jawa. Anda tidak
akan mendapatkan Ketupat di Arab, Mesir, Amerika dll. Itu hanya asli dan
original produk Islam Nusantara.
Dalam
beberapa literature sejarah dan budaya yang ada dan telah dicatat oleh para
pakarnya, orang yang pertama kali memperkenalkan Ketupat adalah Kanjeng Sunan
Kali Jogo, salah seorang Wali Songo yang mampu membaurkan tradisi Nusantara dan
ajaran Islam bahasa Gus Durnya “Pribumisasi Islam”. Kanjeng Sunan Kali
Jogo mengenalkan Islam dalam wajah Nusantara atau wajah pribumi terhadap para
pengikutnya, sehingga Islam mudah diterima oleh masyarakat Pribumi.
Masyarakat
Nusantara bukanlah hal yang asing ketika ada sebuah ideologi atau agama dan
budaya luar yang masuk, sekiranya sudah mulai dari masuknya agama Hindu Buddha
yang seiringan dengan Tarikh Masehi sekitar abad 1 dan 2M, masyarakat Nusantara
biasa sudah kedatangan tamu asing. Begitu juga dengan masuknya Islam ke
Indonesia sekitar abad ke-2 H. Puncaknya pada abad ke17-18M, yang mana
penyebaran Islam ke Indonesia sudah terstukter dengan adanya Wali Songo, pen.
Kanjeng
Sunan Kali Jaga memperkenalkan 2 kali Bakda yaitu, bakda Lebaran dan bakda
Kupat, Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah lebaran. Pada hari yang disebut
Bakda Kupat tersebut, di tanah Jawa waktu itu hampir setiap rumah terlihat
menganyam ketupat dari daun kelapa muda. Setelah dianyam dan diisi dengan beras
yang sudah dicampur dengan apu ketupat siap dimasak, dan ketika sudah
matang sebagian dibagikan kepada tetangga atau kerabat yang lebih tua, sebagai
tanda takdzim (hormat), dan kebersaman.
Ketupat
dalam istilah (Jawa), Kupat dalam istilah bahasa (Sunda) dan banyak lagi bahasa
lainnya. Ketupat dalam istilah Jawa mempunya makna dari singkatan “Ngaku
Lepat” (mengakui kesalahan) dan “Laku Papat” (empat tindakan). Ngaku
Kalepatan/Lepat (mengakui kesalahan) diimplementasikan dalam tradisi sungkeman
memohon maaf terhadap orang tua di hari raya I’edul Fitri, dan memohon
keikhlasan atas hak-hak adamiyah (hak manusia) terhadap kerabat, dan
orang lain istilahnya menjaga hak-hak Allah dan hak-hak selain Allah
(makhluk-Nya).
Sedangkan,
Laku Papat/Laku Opat (empat tindakan), yaitu;
- Lebaran bermakna usai dalam artian
masyarakat muslim telah selasai melaksanakan tugasnya dibulan Puasa.
Lebaran menandakan berakhirnya bulan puasa. Lebaran berasal dari
kata Lebar yang artinya adalah ampunan telah terbuka lebar.
- Luberan yang maknanya adalah melimpah,
dalam artian bahwasannya masyarakat muslim harus membantu masyarakat di
sekeklilingnya yang tidak mampu, oleh karena itu pengejawantahan dari Luberan
adalah pengeluaran zakat fitrah atau zakat yang lainnya di hari puasa
untuk menjelang I’edul Fitri.
- Leburan yang mengandung arti habis,
musnah atau melebur. Maksudnya, dalam momentum I’edul Fitri dosa
ummat Islam diampuni dikarenakan dianjurkannya saling memaafkan antar
sesama, istilahnya istihlal wal istirdlo (silih halalkeun jeng
silih ridlokeun).
- Laburan berasal dari kata Labur atau
Kapur, yang maknanya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan
batin.
Dari
penjabaran diatas, subtansi atau isi kandungan I’edul Fitri adalah hari di
mana, dibukakannya pintu taubat dan pengampunan atas dosa-dosa yang telah
terlewatkan, senada dengan perkataan Imam Ali K.w, yang berbunyi;
ﻟﻴﺲ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﻟﺒﺲ ﺍﻟﺠﺪﻳﺪ، ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﻃﺎﻋﺘﻪ ﺗﺰﻳﺪ
"Hari
raya bukanlah bagi orang yang memakai pakain baru, akan tetapi hari raya bagi
yang bertambah ketaatannya".
وﻟﻴﺲ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﺗﺠﻤﻞ ﺑﺎﻟﻤﻠﺒﻮﺱ ﻭﺍﻟﻤﺮﻛﻮﺏ، ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﻏﻔﺮﺕ له ﺍﻟﺬﻧﻮﺏ
"Hari
raya bukanlah bagi orang yang memperindah dirinya dengan pakain dan kendaraan,
akan tetapi hari raya bagi orang yang dosa-dosanya mendapatkan ampunan".
وﻟﻴﺲ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤﻦ ﺃﻛﻞ ﺍﻟﻄﻴﺒﺎت ﻭﺗﻤﺘﻊ ﺑﺎﻟﺸﻬﻮﺍﺕ ﻭالملذﺍﺕ، ﻟﻜﻦ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻟﻤن ﻗﺒﻠﺖ ﺗﻮﺑﺘﻪ ﻭﺑﺪﻟﺖ ﺳﻴﺌﺎﺗﻪ ﺣﺴﻨﺎﺕ
"Bukanlah
hari raya bagi orang menyantap makanan yang lezat, bersenang-senang dengan
syahwat dan yang lezat-lezat. Akan tetapi bagi orang yang diterima taubatnya
dan kejelekannya diganti dengan kebaikan".
Ketupat mencerminkan 3 perkara; Pertama,
mencerminkan beragam kesalahan manusia, ini dilambangkan dengan betapa rumitnya
membuat atau menganyam ketupat. Kedua, mencerminkan kesucian hati, ini
disimbolkan ketika ketupat dibelah di dalamnya ada nasi putih seperti lontong,
ini menandakan kesucian hati setelah saling memaafkan. Ketiga, mencerminkan
kesempurnaan, yaitu dengan sempurnanya bentuk ketupat, dan sebuah simbol atas
sempurnyanya berpuasa selam satu bulan di bulan Ramadhan.
0 komentar: