Perkembangan media masa
dari mulai cetak hingga online sangatlah pesat, acap kali kita menemukan berita
atau informasi yang berseliweran di dunia maya atau nyata. Dalam ilmu Islam
definisi berita itu adalah “Maa Ihtamala al-Shidqa wa al-Kadziba lidzaatihi” sesuatu
“informasi” yang mengandung kebenaran dan kebohongan.
Dua sifat terhadap
Ikhbar ini bagaikan mata uang yang mana depan belakangnya sama,bahkan
kebohongan yang diulang-ulang sudah menjadi kebenaran yang qath’i. Di Mesir pada masa pemerintahan seorang diktator yaitu
Husni Mubarak semua media masa dikuasai oleh rezim, sehingga muncul spekulasi
dari masyarakat sipil bahwa yang namanya Surat Kabar itu jangan dipercaya
kebenarannya yang boleh dipercaya hanya lembaran terakhir saja yaitu “Ikhbar
al-Wafatiyah” yaitu berita duka.
Dalam kajian Psikologi Riset
yang dilakukan oleh Robert Feldman, psikolog dari University of Massachusetts
menunjukkan bahwa kebohongan memiliki keterkaitan dengan kepercayaan diri. Saat
kepercayaan diri kita terancam seseorang akan dengan mudah berbohong. Riset
Feldman ini dimuat dalam Journal of basic and Applied Psychology. Istilah
kepercayaan diri ketika berbohong ini sering banget kita jumpai di kalangan
aktivis atau politisi mungkin masyarakat pada umumnya, begitu juga pegiat media
sosial di Indonesia.
Perilaku bohong “Hoax”
juga menjadi candu berat bagi para pegiat medsos, bahkan akun ibu-ibu atau
cewek cantik yang terlalu dramatis menanggapi sebuah gambar. Contoh kecil ada
foto Pakar IT Hermansyah dibacok dan yang diposting itu tangannya buntung kena
bacokan, padahal aslinya tidak seperti itu. Dan yang saya heran para penyebar
berita ini dengan PD dan dramatis mengeshare foto itu dengan caption, “Mudah-mudahan
Ahoker pembacok Hermansyah dilaknat Allah, KETIK AMIN”. Secara spontan
psikologi masa serentak mengetik Amin dan menyebarkan berita Hoax foto Hermansyah
yang jari tangannya buntung.
Kasus seperti itu bisa
dikatakan sebagai euforia terhadap teknologi baru. Ada juga masyarakat yang well
educated, orang berpendidikan, sengaja memanfaatkan. Mereka mampu
memproduksi sebuah informasi baru yang notabene tidak jelas, dan tidak didukung
data, dan biasanya perilaku ini dilakukan oleh orang-orang yang menggerakan masa grass root atas ujaran
kebencian terhadap pemerintah, dan mereka dari pihak oposisi penguasa.
Semua perilaku Hoax
seperti ini sudah terjadi berabad-abad silam. Pada zaman dulu, orang di Timur
Tengah menyebutnya dengan istilah Tahrif “Pelintir” dalam bahasa
Indonesia. Perilaku Tahrif ini biasanya dilakukan pada teks-teks kitab Suci
oleh orang-orang berkepentingan. Karena Agama bisa menjadi alat kekuasaan.
Tahrif atau
pemelintiran sumber asli menjadi palsu, atau redaksi asli menjadi ambigu,
terbagi menjadi dua ada istilah Tahrif
billafdzi ada Tahrif bilma’na. Pertama Tahrif billafdzi adalah
pemelintiran teks berita, misalnya banyak berita yang dipotong-potong atau
video yang dimutilasi sebagiannya, contoh kasus kemarin ada ungkapan Cak Nun
(Emha Ainun Nadjib) yang dipelintir oleh team Muslim Cyber Army (komunitas
syber Islam garis keras) tentang pandangannya terhadap HTI, pemelintiran teks
atau ungkapan ini bisa merubah makna yang amat signifikan. Kedua Tahrif bilma’na, pelintiran ini menyampaikan teks yang sama
namun tafsirnya atau maknanya berbeda, contoh misalnya Ahok mengatakan “Jangan
mau dibodoh-bodohi al-Maidah ayat 51”, secara teks memang benar apa yang
dikatakan Habib Rizieq dan Buni Yani namun secara penafsiran, apa yang
ditafsirkan oleh Ahok dan Buni Yani itu berbeda. Deny Siregar mengatakan
Istilah bagi penebar Hoax atau perilaku Tahrif ini adalah Kaum Bumi Datar.
Seperti biasa saya
tutup dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam karyanya; Iyyakum
wal kadziba fa innal kadziba yahdii ilal fujuri wa innal fujura yahdi ilan
naar.
Artinya; Jauhi perbuatan
bohong (Hoax) karena bohong menuntun pada keburukan dan keburukan menuntun pada
neraka. (HR.Muslim)
0 komentar: