Habib Anis Sholeh Ba'asyin |
Oleh Habib Anis Sholeh Ba’asyin
Konon, Imam Ali pernah berpesan agar sepeninggalnya kelompok Khawarij tidak lagi diperangi. Alasannya: mereka sekedar pencari kebenaran yang tersesat. Seperti diketahui, Khawarij adalah pengikut Imam Ali yang berbalik memerangi beliau.
Ada dua sisi yang harus dipertimbangkan untuk memahami pesan ini. Pertama, pesan ini mesti dibaca sebagai ucapan khalifah (pemimpin pemerintahan) yang punya legalitas memerangi pemberontak.
Kedua, pesan ini sekaligus juga menyiratkan kekhawatiran: jangan-jangan setelah beliau, para pengikutnya salah mempersepsikan peperangan ini dan mengangkatnya menjadi persoalan keagamaan.
Sejak awal, perang tersebut memang bertujuan menumpas pemberontakan. Sama seperti perang Jamal di Shiffin -yang diotaki Thalhah dan Zubair dengan ‘Aisyah, janda Rasulullah, sebagai simbolnya- dan perang terhadap Mu’awiyah. Semua perang ini tidak bisa dibaca sebagai upaya menumpas paham keagamaan yang dianggap sesat.
Persoalan yang sama, sebelumnya juga ditunjukkan oleh khalifah pertama, Abubakar Ash-Shidiq, saat memerangi Musailamah yang mendakwakan dirinya sebagai nabi.
Perang ini juga bukan karena Musailamah -yang kemudian dijuluki al-kadzab, pendusta- mendakwakan dirinya sebagai nabi; tapi lebih karena Musailamah menyabot pajak yang harus diserahkan pada pemerintah pusat.
Sekedar catatan: selain Musailamah di Yamamah, ada juga Aswad bin Ka’ab al-‘Unsi di Yaman yang juga mengaku sebagai nabi. Mereka berdua sudah mengaku sebagai nabi bahkan di masa hidup nabi; dan tidak pernah kita dengar reaksi berlebihan Nabi Muhammad terhadap klaim kenabian mereka.
Yang kita tahu, Musailamah ditindak ketika mulai memberontak terhadap pemerintah pusat, sementara Aswad al-‘Unsi ditindak oleh gubernur Yaman dengan alasan yang sama, dan terbunuh tepat sehari sebelum wafatnya Rasul.
Contoh lebih telanjang bahkan bisa dilihat pada gradasi penyikapan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasalam terhadap kaum Yahudi yang tinggal di Madinah. Peperangan yang dilakukan Nabi terhadap mereka, jelas bukan karena ke-Yahudi-an mereka; karena sebelumnya mereka diterima sebagai warga yang terikat dalam pakta hidup bersama di Madinah, tapi karena mereka terang-terangan mengkhianati pakta ini dan membantu musuh memerangi Nabi.
Artinya, klaim keagamaan tidak pernah dipakai menjadi landasan permusuhan apalagi peperangan, paling tidak bagi generasi-generasi awal kaum muslimin. Catatan tentang peristiwa semacam ini sesungguhnya berlimpah dalam sejarah awal Islam.
Agama dan Negara
Benang merah yang bisa ditarik dari sedikit ilustrasi ini adalah kenyataan diakuinya garis batas yang tegas antara apa yang kita sebut sebagai klaim keagamaan dengan apa yang kita namakan sebagai klaim kenegaraan. Secara sederhana, klaim negara lebih didasarkan pada konsensus-konsensus. Konsensus yang secara kategoris meliputi pengertian ma’ruf, yang sudah diketahui atau diterima bersama; dan pengertian munkar, yang diingkari bersama.
Nah, semua tindakan hukum dan militer yang kita contohkan diatas, bisa diasumsikan diambil berdasar pertimbangan-pertimbangan kenegaraan, dan bukan berdasar pertimbangan keagamaan. Karena secara keagamaan, ada doktrin yang jelas tentang ‘tak ada paksaan dalam beragama’ (QS 2: 256); dan “Kebenaran itu dari Tuhanmu; maka siapa ingin, silahkan percaya (beriman), dan siapa ingin, silahkan juga menolak (kafir)” (QS 18: 29).
Pada dasarnya kekafiran terhadap klaim kebenaran yang dibawa agama sekalipun, tidak pernah bisa menjadi argumen untuk memusuhi apalagi memerangi seseorang atau suatu kelompok.
Kekafiran hanya bisa dijadikan landasan permusuhan dan peperangan, bila pengertiannya diterjemahkan sebagai praksis sosial-politik, berupa pembelotan atau pemberontakan pada konsensus kenegaraan. Karena itu, gejala seperti ini sebenarnya akan lebih mudah dipahami bila dibaca sebagai semacam ‘kekafiran sosial politik’, dan bukan dibaca secara eksklusif sebagai ‘kekafiran agama’.
Kalau kita lebih teliti, bahkan penyataan perang terhadap kaum kafir yang disebut Al-Qur’an sekalipun, sebenarnya juga harus ditafsirkan dengan merujuk pada pengertian gejala ‘kekafiran sosial politik’ seperti ini, dan bukan kekafiran ideologis atau keagamaan seperti selama ini sangat mungkin banyak disalah pahami.
Karena kalau yang dimaksud adalah kekafiran ideologis atau keagamaan, maka jelas ini akan bertentangan dengan penyataan tentang kebebasan beragama yang sejak awal justru sudah dimaklumkan Al-Qur’an sendiri.
Semua contoh ini bertentangan secara diametral dengan argumen yang pernah dicoba kembangkan oleh kelompok Khawarij yang disebut di awal tulisan ini. Merekalah kelompok yang sejak awal justru secara eksklusif mencoba mengembangkan argumen keagamaan untuk melakukan permusuhan atau peperangan dengan pihak lain. Mereka mencoba mengeksplorasi batas mukmin-kafir dan mengkonstruksi wilayah eksklusif, lantas memerangi siapapun yang menolak pandangan mereka ini.
Lebih jauh, dengan cara yang salah, mereka bahkan mencoba menarik realitas historis -dalam hal ini upaya perdamaian yang dilakukan pihak Imam Ali dengan Mu’awiyah- ke tingkat meta-historis dengan kampanyenya ‘tiada hukum kecuali bagi Allah’ (la hukma illa lillah).
Dengan sikap ini, mereka dengan sengaja menjumbuhkan pengertian agama dengan negara, dan memandang negara semata-mata sebagai ekstensi agama. Sementara pengertian agama sendiri dirumuskan secara sangat general dan abstrak, sehingga sulit dilacak aplikasi dan otorisasinya dalam realitas sejarah.
Tanggapan Imam Ali terhadap klaim ini, mungkin bisa dipakai untuk menggambarkan sikap generasi muslim awal terhadap substansi polemik hubungan agama dengan negara.
Terhadap klaim ini, beliau berargumen: “Memang benar ‘tiada hukum kecuali bagi Allah’. Tapi dengan kalimat ini, orang-orang itu bermaksud mengatakan ‘tiada pemerintahan kecuali bagi Allah’. Padahal masyarakat harus punya pemerintahan, apakah baik atau buruk!”
Apa yang diungkapkan Imam Ali ini secara substansial membongkar pandangan yang mencoba memberi stempel universalitas atau keabadian pada kekuasaan duniawi. Kekuasaan duniawi selalu akan berwajah parsial, partikular dan rapuh. Mengingkari watak ini hanya akan menggiring orang untuk tergoda membangun rezim otoritarian.
Sayangnya, polemik ini terhenti bersamaan dengan wafatnya Imam Ali dan berkuasanya Mu’awiyah. Munculnya kerajaan menggantikan kekhalifahan, dianggap tidak lagi merepresentasikan Islam; dan mengubur dalam-dalam (mungkin sampai sekarang) upaya untuk mengeksplorasi wacana ini.
Belakangan, para ‘ulama bahkan hanya mengakui empat khalifah pertama (khulafaur rasyidun, para pemimpin yang mendapat petunjuk) sebagai representasi kepemimpinan Islam, tanpa perumusan yang jelas tentang keniscayaan format hubungan antara agama dan negara.
Sementara kepemimpinan sultan-sultan dalam sejarah kaum muslim -meski sering menyandang gelar amirul mukminin (pemimpin orang-orang beriman)- tidak pernah diakui sebagai representasi sahih dari Islam.
Ulama dan Kekuasaan
Tidak diakuinya sultan-sultan sebagai representasi Islam, tentu saja menjadikan peran ulama sangat penting. Kenyataan ini diam-diam menciptakan ketegangan baru antara kalangan ulama, yang dianggap sebagai pemangku otoritas keagamaan; dengan kalangan pemerintah, yang dianggap sebagai pemangku otoritas kenegaraan.
Ketegangan yang dikutub ekstrimnya bahkan memunculkan -sebagaimana diungkapkan Imam Al-Ghazali- idiom ulama su’ (busuk) bagi ulama yang membina hubungan dengan kekuasaan. Ketegangan yang secara laten cenderung bersifat oposisional semacam ini, terus mengalami pengerasan atau pelunakan sepanjang sejarah dan cenderung menjadi arus utama tradisi keulamaan.
Tapi, meski demikian, pada akhirnya tradisi ini terasa makin luntur dan cenderung tersisihkan. Keniscayaan hubungan ulama dan kekuasaan pun tak bisa dihindari. Betapa pun, kekuasaan butuh ulama untuk menjustifikasi kekuasaannya; sementara ulama butuh kekuasaan untuk mengefektifkan pemberlakuan pendapatnya.
Ini sering menyebabkan terjadinya kompromi-kompromi -atau bahkan identifikasi- ulama dengan kekuasaan. Dan pola hubungan semacam ini tidak selalu menghasilkan hal-hal yang positif. Mereka yang tetap mencoba bertahan pada sikap oposisional sering diberangus, atau setidaknya harus menyingkir dari percaturan. Banyak tokohnya yang dibunuh atau dipenjarakan.
Tentu ini tidak menguntungkan perkembangan pemikiran Islam. Karena versi-versi pemikiran yang berkembang kemudian hanyalah versi-versi yang relatif akomodatif terhadap kekuasaan. Versi yang lahir dari hasil perkawinan ulama dan kekuasan. Sesuatu yang sempat dikritik oleh Hassan Hanafi sebagai menifestasi ‘Islam Kanan’.
Dibalik semua ini, satu catatan penting yang sepertinya sering dilupakan adalah: meski dicoba kawinkan dengan kekuasaan negara, peran ulama tetap tidak pernah bisa disejajarkan dengan peran khalifah.
Oleh sebab itu, mereka tidak pernah boleh dan tidak pernah bisa berperan seolah sedang memimpin atau menjaga suatu wilayah atau suatu komunitas atau suatu konsensus, karena untuk peran ini dibutuhkan prasyarat-prasyarat lain yang berada di luar kapasitas keulamaan itu sendiri.
Bukan kebetulan bila pendapat ulama kemudian disebut sebagai fatwa, yang secara kategoris berarti pendapat hukum yang tidak mengikat, yang dikeluarkan untuk menanggapi persoalan hukum yang muncul di masyarakat.
Tanpa sokongan kekuasaan yang mengangkatnya menjadi hukum positif (yang justru menghasilkan komplikasi sejarah seperti disebut diatas), pendapat mereka hanya mungkin berlaku efektif pada orang atau kelompok yang mengakui otoritas mereka tanpa boleh memaksakan pemberlakuannya secara umum.
Nah, kalau seorang khalifah saja tidak bisa secara eksklusif memusuhi atau memerangi suatu kelompok berdasar klaim keagamaan seperti dicontohkan di muka; apalagi kalangan ulama yang nota bene tak pernah memiliki mandat kenegaraan.
Kalau kebiasaan semacam ini tetap diteruskan, ada kekhawatiran lembaga keulamaan akan terdegradasi menjadi lembaga kekuasaan. Dan kalau sudah begitu, biasanya yang mengemuka adalah semangat konservatifnya dalam mengusung klaim sebagai para penjaga kebenaran. Ini terjadi karena fokus utama mereka rawan tergelincir menjadi mempertahankan kekuasaan.
Al Qur’an memberi contoh, lewat kisah Isa AS, betapa pada kutubnya yang paling ekstrim semangat semacam ini justru potensial menjegal realisasi kebenaran itu sendiri. Para penentang Isa alaihi salam adalah para ulama pengusung bendera konservativisme keagamaan, yang dengan satu dan lain cara merasa sedang menjadi wakil paling sah dari suara Tuhan.
Tak heran mereka begitu bersemangat ‘membunuh’ kebenaran Isa alaihi salam, atas nama ‘kebenaran’ yang mereka yakini. Paling tidak, karena dalam perspektif mereka, suara Isa alaihi salam adalah suara Iblis. Sementara bagi Isa alaihi salam sendiri, kehadiran mereka justru bersemangat Iblis yang tak berhenti menjegal tiap realisasi kreatif dari kebenaran.
Sungguh sebuah ironi yang menyakitkan: pertarungannya selalu atas nama Allah dan kebenaranNya.
0 komentar: