Oleh Goenawan Mohamad
Danarto meninggal, malam hari 11 April 2018, beberapa jam setelah sebuah sepeda motor menabraknya di sebuah lalulintas yang ruwet di Tanggerang, ketika ia berjalan kaki. Saya bayangkan ia saat itu— seperti biasa — tengah terpesona kepada yang dilihatnya: lampu jalan, poster politik, nama toko, jajanan kedai. Ia anak-anak berumur 77 tahun: ia selalu senang dengan apa yang ia baru ketahui.
Sejak saya mengenalnya di tahun 1963 saya lihat pada Danarto seraut paras yang bagus dan sosok yang kalem yang dengan luwes berpindah dari ketawa lepas ke percakapan yang serius tentang Tuhan — yang selalu ia sikapi sebagai misteri sehari-hari.
Ia berbeda dari para perupa segenerasi.
Setengah abad yang lalu, untuk beberapa lama saya menumpang di sebuah rumah gedek di daerah Pasar Rumput, Jakarta — rumah bersama yang dikontrak Sanggar Bambu, himpunan sejumlah perupa lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia Yogya. Pemimpin mereka, Sunarto Pr., berlaku sebagai kakak dan bapak bagi anggota sanggar: Danarto, Syahwil, Handogo Sukarno, Mulyadi W., Arif Sudarsono dan lain-lain. Mas Narto bersemangat, pemurah, penuh niat baik. Para perupa itu rukun, kreatif, gemar humor, dengan hidup seadanya. Sesekali Sanggar Bambu sangat royal, dari uang yang mereka dapat setelah mengerjakan interior bioskop, airport, atau rumah resmi pejabat. Selalu ada hasrat berbagi.. Sanggar inilah yang membeayai produksi Oedipus Rex Rendra ketika dipentaskan buat pertama kalinya di Yogya di tahun 1964— sebuah perhelatan mahal. Saya sendiri, tinggal bersama mereka, ikut hidup dari rejeki mereka, tanpa diminta melakukan apa-apa; saya hanya menulis dan sesekali belajar melukis.
Danarto bagian dari peguyuban itu — yang praktis bekerja tanpa rencana masa depan, kecuali menghasilkan karya yang memuaskan hati. Mereka kebanyakan masih dalam usia 20-an, tapi mulai dapat sambutan, dan itu membuat mereka sibuk dan intens. Danarto salah satu yang paling intens. Kanvasnya diisinya dengan bentuk-bentuk yang digarap halus, tapi mengandung narasi yang dramatik, warna panas yang berat — seperti puisi liris yang menyambut keajaiban.
Di pertengahan 1960-an kami berpisah. Saya ke Eropa dan kami tak saling berkabar.
Di tahun 1967, saya kenal Danarto yang lain: ia menulis cerita pendek. Ia mengirimkannya ke Majalah Horison, waktu itu dikelola antara lain oleh Arief Budiman.
Arief selalu mengutamakan karya-karya yang tak konvensional. Dengan segera ia meloloskan “Godlob”, cerita Danarto, meskipun saya kira redaktur lain menolak karena karya ini ganjil: realitas di sini seperti dalam mimpi buruk, atau duna yang tersihir.
Latar “Godlob” adalah padang gundul bekas medan perang yang penuh mayat. Ada seorang ayah yang membawa anaknya yang luka-luka di kereta yang ditarik dua kerbau, sementara “gagak-gagak hitam bertebaran dari angkasa, sebagai gumpalan-gumpalan batu yang dilemparkan”.
Terasa, transisi masih seret dari dunia visual ke dunia verbai: “Godlob” didominasi deskripsi ruang seperti adegan film di alam terbuka. Kalimat Danarto masih mencari pijakan, terkadang melambung untuk membuat efek, tapi berlebihan. Sang pelukis sedang melangkah memasuki fase sebagai sang sastrawan.
Tapi prosa itu mengejutkan di sekitar tahun 1967, tak lama setelah sastra Indonesia nyaris kaku oleh kata dan thema “rakyat” dan “revolusi” yang diagungkan, ketika “realisme” jadi kata sakti. Di masa itulah novel Iwan Simatupang (Merahnya Merah dan Ziarah) mencuat, membawakan dunia “non-realis” — yang mungkin berpengaruh pada Danarto. Juga sajak Sutardji Calzoum Bachri yang seperti mantera tanpa pesan dan petuah, teater Rendra yang hanya disisi bunyi “Bib” dan “Bob”. Sastra memberontak dari pigura ketat untuk “ber-arti”, menolak formula untuk punya makna dan guna. Sastra kembali menyentuh benda dan peristiwa yang sepele dan memberi mereka mana, kekuatan hidup, bukan makna.
“Kau pernah memandang hujan gerimis lewat jendela rumahmu, ‘kan? Nah, suasananya seperti itu, ada campuran antara kehangatan kamar dengan udara yang dingin di bibir jendela, antara keinginan berlari ke luar mengenang masa kanak-kanakmu dan keinginan untuk tetap tinggal di kamar orang tuamu; itu semua aduklah menjadi satu, pekat benar, begitu sesungguhgnya kiasanku setulus-tulusnya..”.
Dalam Adam Ma’rifat, mungkin karya terbaiknya, yang terbit di awal 1980-an, Danarto mengembalikan kepekaan kita kepada elemen alam sehari-hari, yang baginya isyarat “malaikat”:
“Akukah Jibril, yang angin adalah aku, yang embun adalah aku,..”
Danarto merayakan dirinya dalam “Ada”, karunia Tuhan — atau bahkan dalam Tuhan sendiri, “Allah yang ngejawantah”.
Di sini, sastranya bertaut dengan kecenderungan mistik dirinya. Bukan seorang santri, orang kelahiran Sragen ini lebih dekat ke kejawen. Ia pernah memberikan secarik kutipan tembang Jawa yang ingin dibahasnya bersama saya — satu frase dari Kitab Ajimantrawara, saya kira. Ia pernah bertanya: “Saya hanya bisa khusuk jika shalat dalam bahasa Jawa; boleh ya?”. Pengalamannya naik haji ia tulis dalam buku dengan judul Orang Jawa Naik Haji.
Justru dalam mengambil “Jawa” ia hendak menunjukkan iman yang akrab dengan diri, bukan iman sebagai rumus umum yang dikenakan agama. Akidah agama ibaratnya hendak “menjaring malaikat”, memonopoli wahyu. Tapi, tulis Danarto, mustahil menjaring Jibril, malaikat pembawa wahyu Tuhan. Jibril mengaitkan benang ke layang-layang di langit, tinggi, sepanjang masa. Siapa saja boleh mengambilnya jadi milik, atau membiarkannya. “Terserah”, tulis Danarto.
Danarto meninggal, tapi kata “terserah” itu terus bergema, ketika agama-agama kehilangan benang yang menghubungkan manusia dengan Tuhan — bahkan, seperti ditulis Kiai-Penyair A. Mustafa Bisri, juga sahabat Danarto, “kehilangan Tuhan”.
0 komentar: