Friday, April 20, 2018

DILEMA TASAWWUF


Tari Sufi

Hanya satu yang ada, Selain satu tiada, Selain Tuhan, Tak sesuatu pun ada, Tak seorang pun ada. Ali Syari’ati (1933-1977)

Dalam konteks spiritual manusia, baik yang beragama Islam atau non Islam, merasakan sebuah kejadian yang heroik dan menakjubkan dari setiap individu manusia yang tingkat relijiusitasnya tinggi. Thariqah atau sebuah jalan jembatan bagi seorang muslim yang hendak mendalami kajian-kajian ketuhanan, adalah dimensi batin dan isoterik Islam, serupa halnya dengan Syari’ah dalam kajian fiqh atau hukum-hukum taklifi atau wadl’i di dalam Islam.

Sepanjang sejarah para sufi penganut paham kemanunggalan (Wihdat al-Wujud), realitanya selalu ada penolakan dari pihak orang-orang yang berpegang teguh terhadap teks-teks Nushushiyah (al-Qur’an dan al-Sunnah). Di Indonesia sendiri pada pertengahan abad 15 M, terjadi konflik di internal Majelis Wali Sanga tentang beberapa pandangan terhadap ajaran Manunggal ing Kawulo lan Gusti-pen.

Hamzah Fansuri sosok penyair yang lahir di negeri Barus Sumatera Utara pada akhir abad 16 M, adalah sosok yang haus akan ilmu. Beliau pun mengalami perlawanan yang amat dahsyat dari seorang Syuhudiyah yaitu Nuruddin ar-Raniri, karena dalam Syair-syairnya yang amat terpengaruhi oleh pemikiran sosok sufistik Timur yang bernama Ibn ‘Arabi yang masyhur pada akhir abad ke 12 M, awal abad 13 M. Karya-karyanya yang menurut beberapa literatur telah dibumi hanguskan oleh lawannya.

Bukan hanya saja di Indonesia, ulama-ulama Sufi abad 9-10 M di wilayah Timur Tengah juga mengalami penghakiman refresif oleh kalangan yang tak sepaham, Hussein ibn Manshur al-Hallaj, seorang tokoh sufistik Iran yang meninggal dihukum mati dengan alasan justifikasi bid’ah terhadap ajarannya. Hal inilah yang memang menjadi sebuah perdebatan, dikarenakan sebuah pengalaman spiritual yang tak bisa disampaikan rapih, komprehensif terhadap orang awam.

Sosok yang disebutkan tadi seperti al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, Hamzah Fansuri, mengalami sebuah penolakan terhadap paham-pahamnya yang kontroversial dikalangan para ulama yang menolak terhadap validitas tasawwuf, khususnya Wihdat al-Wujud. Penting sekali, untuk memahami khazanah keislaman yang dinamis dan cukup mengalami dimensi perubahan yang signifikan. Karena sampai saat ini masih, bahkan banyak yang mengkaji tentang pengaruh dunia sufistik terhadap realita sosial.

Sangat disayangkan ketika ulama al-Zahir, ahli-ahli hukum, yang kewajibannya menjaga kelangsungan syari’at, dengan seenaknya menjustifikasi para penganut Tasawwuf atau Thariqah dengan priklaku bid’ah. Selama ini, sepanjang sejarah Islam, Islam mampu mempertahankan secara keseluruhan antara kedua dimensinya.

Semakin banyak ulama Islam yang menolak terhadap validitas Tasawwuf atau Thariqah, maka semakin rusaklah keseimbangan antara dimensi esoterik dan eksoterik, seandainya mereka berkuasa atas semua masyarakat muslim di dunia, maka tidak akan ditemukan lagi sebuah khazanah keilmuan Islam yang berorientasi terhadap kajian sufisme dan mistisisme.

Fakta beberapa di berbagai pelosok dunia, Islam hadir dengan senyuman thariqah. Di beberapa daerah India, Asia Tenggara, dan sebagian besar Afrika, Islam mula-mula tersebar melalui contoh pribadi seorang sufi dan berdirinya aliran thariqah. Dan setelah itu syari’ah tersebar dan Islam diterima secara luas.

Apabila thariqah unsur yang terasing dalam Islam, seperti yang dinyatakan oleh banyak kaum orientalis, bagaimana ia menjadi ujung tombak penyebaran syariah? Hubungan antara syariah dan thariqah telah memberikan bukti penyebaran Islam di pelbagai daerah melalui para Sufi dan orang suci yang telah menjadi contoh hidup spiritualitas Islam.

Al-Gazali sebagai seorang ilmuan Islam memberikan sebuah konsep pandangan terhadap para sufi dan al-Zahir, beliau mengatakan “Man Kaana Faaqihan Lam Yakun Shufiyan Fatafassaqa, Wa Man Kaana Shuufiyan Lam Yakun Faaqihan Fatazandaqa”, Barangsiapa yang faqih tidak sufi maka ia telah fasiq, dan barangsiapa yang Sufi tidak faqih maka ia telah Zindiq. Upaya seperti inilah yang dilakukan al-Gazali untuk meredakan konflik antara kaum sufi dan kaum fuqaha (al-Zahir).

Dilema kemanunggalan yang selama ini terjadi di dunia Islam, adalah suatu problem yang kadang tidak bisa diterima oleh ortodoksi Islam sendiri. Karena, pada dasarnya ortodoksi Islam memahami nabi sebagai utusan untuk menyempurnakan akhlak manusia. Jika ada sebuah pertentangan terhadap thariqah itu adalah hal yang salah besar.

Imam Malik ibn Anas sebagai founding madzhab Malikiyah mengatakan: “Yang mempelajari syariat dan menolak thariqah menjadi orang yang berdosa, yang mempelajari thariqah dan menolak syariat menjadi orang yang munkar; dan yang mempelajari keduanya akan mendapatkan kesadaran tentang kebenaran”. Begitu pula dikatakan oleh Syafii: “Ada tiga hal yang berarti bagiku di dunia ini, kejujuran, kelakuan baik, dan mengikuti jejak para sufi”.

Bukan saja al-Gazali, Imam Malik, Imam Syafii, yang menjadi ahli hukum, teolog, dan sufi menganggap jalan sufi sebagai jalan yang terbaik, tetapi juga Fakhruddin al-Razi seorang teolog Asy’ariyah yang bukan Sufi menganggap pengikut thariqah sebagai orang-orang yang melakukan pemurnian jiwa yang melepaskannya dari ikatan kebendaan, ia menyebut mereka sebagai kelompok terbaik di antara manusia.

Begitu halnya dengan Syiah yang mempunyai kesamaan dalam pandangan dunia sufistik. Dalam sumber-sumber Syiah tercatat sebuah penekanan yang lebih besar karena ucapan para Imam, terutama Ali yang menjadi dasar hukum Syiah, adalah juga thariqah. Ali sebagai lambang esoterisisme Islam adalah sumber langsung bagi thariqah sesudah Nabi, baik dalam Islam Sunni maupun Syiah.

Menurut hemat saya upaya rekonsoliasi antara pihak Shufi dan ahli hukum syariat Islam adalah upaya yang sangat penting. Sering kali kaum al-Zahir memandang bahwa sufistik, thariqah, dan mistisme adalah ajaran-ajaran yang lahir dari rahim Syiah, disebabkan pemahaman yang salah ini lah sehingga menimbulkan kekeliruan yang amat patal, karena pada dasarnya Sunni dan Syiah merujuk pada satu Imam Thariqat setelah Nabi yaitu Ali Ra.

Hubungan thariqat dengan Syiah adalah sebuah hubungan yang rumit dan tidak bisa dijelaskan dengan beberapa kata saja. Karena sebuah pengalaman spiritual yang dahsyat, susah diceritakan dengan penjelasan-penjelasan ilmiah yang sifatnya empirik dan rasional. Sebagai sebuah persatuan, ada dikalangan Sunni yang mengikuti Tasawwuf. Karena itu, dapat dikatakan bahwa kesatuan thariqah mengatasi pemisahan (konflik) antara Sunni dan Syiah, dan disesuaikan dengan lingkungan di mana ia tumbuh.
Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: