Oleh Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat
Kita tidak bisa mengandalkan agama yang berbeda-beda yang dianut oleh warga negara, yakni agama-agama seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha atau Konghucu. Agama-agama seperti itu adalah agama partikular, yang hanya berfungsi sebagai acuan doktrinal bagi para pemeluknya. Agama-agama partikular hanya mampu memberikan kesetiaan partikular yang tertutup, bukan kesetiaan terbuka yang bersifat civic terhadap negara.
Sebagai contoh, jika DI/TII berhasil mengukuhkan Negara Indonesia menjadi Negara Islam karena pikiran bahwa orang Islam harus lebih setia pada agamanya ketimbang pada negaranya, maka hanya kepentingan-kepentingan Islam saja yang akan didahulukan, sementara kepentingan agama lain akan diabaikan. Pikiran seperti ini tentu bersifat destruktif terhadap Negara Indonesia yang ingin memperlakukan pemeluk agama apapun secara sederajad. Jadi, inilah risiko jika kita membuat kesetiaan agama menjadi bersifat dikotomis.
Kesetiaan partikular yang bersifat dikotomis itu harus ditransformasi menjadi kesetiaan sipil yang bersifat terbuka. Karena itulah yang diperlukan adalah sebuah agama sipil, agama madani yang bisa memberikan kesetiaan tunggal pada Indonesia sebagai rumah bersama bagi semua agama. Inilah arti pentingnya agama sipil itu.
Watak Islam sesungguhnya berorientasi keluar, ke dunia sosial; bukan hanya ke dalam batin manusia sebagai pribadi. Dunia itu penting bagi Islam. Karena itu, persoalan-persoalan duniawi, termasuk bagaimana memikirkan penyelenggaraan kekuasaan negara, juga merupakan concern Islam. Salah satu argumen mengapa Islam menolak sekulerisme adalah karena paham ini menjadikan agama hanya boleh berada di ruang privasi individu-individu. Islam harus memberikan sumbangan pada dunia, karena itu harus aktif dalam berbagai kehidupan nyata yang bersifat duniawi.
Namun demikian, bagaimana jawaban Islam menyangkut persoalan penyelenggaraan negara, di sinilah terjadi silang pendapat yang rumit. Sekarang ini saya berada pada posisi bahwa Islam harus mampu memberikan basis argumen etis dan moral untuk membela eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa. Posisi saya ini memang mencerminkan perkembangan paham saya sebagai Muslim vis a vis Negara Indonesia.
Dulu saya menganut gagasan bahwa Negara Indonesia yang didasarkan pada Pancasila bertentangan dengan Islam. Saya melakukan pemberontakan terhadap Indonesia karena paham keagamaan saya ketika itu mengajarkan bahwa Pancasila bertentangan dengan Islam. Sebuah negara Islam harus ditegakkan dengan mengeliminasi Indonesia.
Sekarang saya berada pada pilihan evaluatif, bahwa tidak ada satupun dari nilai-nilai Pancasila yang bertentangan dengan Islam. Mengapa saya harus melakukan pemberontakan? Mengapa saya tidak beralih untuk mendukungnya saja karena kerangka etis Pancasila sesungguhnya mencerminkan nilai-nilai Islam yang saya yakini?
Dalam Islam Fiqhi, agama tidak merasa perlu membangun hubungan organis dengan negara. Agama hanya minta jaminan agar negara memberikan kebebasan kepada umat beragama untuk beribadah. Dalam paradigma Islam Fiqhi, negara tidak berhak mengatur urusan-urusan partikular, kecuali yang menyangkut kehidupan publik, misalnya Hari Lebaran.
Singkatnya, ada semacam pembagian tugas bahwa negara hanya mengatur urusan publik, dan agama mengatur masalah-masalah privat. Dengan kata lain, dalam Islam Fiqh, agama memiliki wilayah sendiri, di bawah naungan para ulama. Agama hanya sewaktu-waktu saja memerlukan negara, jika itu menyangkut urusan banyak orang.
Dengan concern hanya pada isu privat ini, bagaimana mungkin mereka memiliki perhatian pada etika sosial dan keadaban di tingkat publik? Secara teoritis, mereka tidak peduli pada dunia publik. Dalam pandangan mereka, itu urusan negara. Tapi pada prakteknya, mereka begitu terobsesi untuk mengatur semua wilayah privat umat, sehingga seringkali menganggap negara perlu memfasilitasi pengaturan legal mengenai isu-isu privat.
Lihatlah gejala Syariahisasi perda-perda belakangan ini. Hampir semua isinya sebagian besar menyangkut urusan privat, misalnya mengenai pemakaian jilbab. Jadi di sini Islam Fiqhi melakukan lompatan untuk mengatur urusan privat umat Muslim melalui hukum positif negara. Ini artinya, menjadikan negara sebagai instrumen politik untuk menyelenggarakan urusan partikular dan privat umat Muslim. Lompatan ini menjadikan Islam Fiqhi satu langkah lebih dekat ke paradigma Islam Siyasi (Islam Politik).
Dalam paradigma Islam Siyasah, agama harus menguasai negara. Bahkan negara harus diatur oleh agama. Seluruh prosedur kenegaraan, perilaku state, tata pemerintahan, semuanya harus ditentukan oleh agama.
Sementara Islam Fiqhi menjadikan hukum-hukum Islam atau Syariat Islam sebagai topik utamanya; pada Islam Siyasi, topik utamanya adalah ideologi. Islam Siyasi pada kenyataannya merupakan kelanjutan dari Islam Fiqhi. Di sini saya harus mengatakan bahwa betapapun heterogennya kelompok-kelompok organisasi di bawah kedua paradigma keagamaan itu, kita bisa mengelompokkan mereka berdasarkan epistemologinya. Artinya, baik mereka yang kecewa maupun yang setuju dengan Islam Fiqhi, kalau mereka kemudian memperluas syariat Islam dari wilayah-wilayah yang partikular kepada wilayah publik, itu sudah bisa dikategorikan ke dalam Islam Siyasi.
Kita melihat banyak sekali varian Islam Siyasi karena perbedaan pandangan mereka dalam melihat bagaimana ajaran Islam harus diterapkan di wilayah publik. Ada yang akomodasionis terhadap tatanan kenegaraan yang berlaku, dan karena itu mereka berintegrasi di dalam sistemnya, misalnya dengan menjadi partai politik Islam. Ada pula yang pendekatannya rejeksionis, bahkan menolak seluruh otoritas politik yang ada, sehingga mereka bergerak di luar sistem, di luar prosedur parlementer, bahkan menjalankan proyek-proyek kekerasan sebagai kelompok-kelompok teroris.
Tapi satu hal yang sebetulnya mempersatukan mereka adalah pandangan bahwa Islam harus mengatur masyarakat secara keseluruhan, mengatur negara secara keseluruhan. Tidak semua mereka bersetuju mengenai bagaimana cara pengaturan masyarakat dan negara, misalnya menyangkut pilihan apakah mereka akan memberlakukan hukum-hukum Islam menjadi hukum positif negara, atau di luar itu, yakni dengan membangun komunitas-komunitas Muslim di luar negara. Untuk memberikan ilustrasi tentang banyaknya macam varian Islam Siyasi, lihatlah perbedaan antara, misalnya PKS, Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, DI, kelompok-kelompok Salafi, juga percabangan gerakan-gerakan Ikhwanul Muslimin.
Contoh lain yang spesifik, dalam konteks yang berbeda, adalah apa yang dipraktekkan di Iran. Mereka menjadikan negara sebagai wilayah-wilayah faqih, wilayah-wilayah kedaulatan hukum agama, dengan kepemimpinan tertinggi di tangan Imam, yakni Imam negara. Mereka memiliki konsep bagaimana parlemen harus dijalankan, agar badan ini mampu merumuskan undang-undang berdasarkan pengalaman empiris masyarakat, tapi yang tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Maka dalam konsep mereka, disamping parlemen, harus ada suatu majelis yang bertugas memeriksa apakah undang-undang yang dibuat oleh parlemen tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Tentang bagaimana mereka melihat negara-bangsa, di situlah masalahnya. Mereka menolak setiap klaim politik sekuler, apalagi menyangkut gagasan mengenai penataan negara dan masyarakat. Bagi mereka, otoritas politik negara harus didasarkan pada dasar legitimasi Syariah. Mereka melakukan interpretasi teologis sedemikian rupa terhadap otoritas negara yang selalu menimbulkan ketegangan politik menyangkut negara, agama, warganegara, dan umat.
Mereka juga mempunyai pandangan yang negatif terhadap sentimen-sentimen nasionalisme. Pada titik inilah persisnya Islam Siyasi berhadapan secara front to front dengan paradigma Islam Madani, Islam Sipil, sekaligus civic-Islam.
Sebagai psikolog, saya mempunyai referensi kajian-kajian psikologis mengenai pengalaman beragama. Kajian-kajian itu juga saya pakai untuk melihat pengalaman keberagamaan saya sendiri secara personal. Psikologi agama membedakan tiga macam model keberagamaan.
Pertama, keberagamaan yang bersifat “intrinsik”, dimana nilai-nilai agama dijadikan pedoman untuk memahami berbagai peristiwa hidup. Yang kedua, keberagamaan “ekstrinsik”, yaitu yang menggunakan agama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Ketiga, adalah keberagamaan yang selalu mencari (searching), mode keberagamaan yang bersifat “inquisitif”, yang biasanya lahir karena tipe keberagamaan intrinsik, untuk hidup berdasarkan agama. Orang yang memiliki keberagamaan secara intrinsik akan mengalami proses pemikiran yang membuat ia terus mencari, karena agama ia ambil sebagai pedoman hidupnya.
Berdasarkan model kajian psikologi agama itu, saya menilai bahwa pencarian saya dalam menemukan Islam sebagai agama madani, pada kenyataannya merupakan tahap logis berikutnya, setelah saya menganut dua jenis paradigma keagamaan sebelumnya, yakni Islam Fiqhi dan Islam Siyasi. Tentu saja tahap pemikiran keagamaan ini muncul dari interaksi berbagai macam pikiran dan pemahaman terhadap konteks sosial politik yang terus berubah di Indonesia.
Referensi kontekstual ini didasarkan pada evaluasi atas pendekatan berbagai macam paham keagamaan terhadap negara. Saya kira Islam tidak bisa terus tampil secara pasif-eksklusif untuk mengurusi urusan-urusan partikular umat saja, sebagaimana selama ini dikerjakan dengan pendekatan Islam Fiqhi.
Demikian pula, Islam tidak mungkin terus menerus melakukan pendekatan politik yang aktif-konfrontatif untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingannya sendiri, sebagaimana selama ini diperlihatkan dari pendekatan Islam Siyasi.
Bagi saya, cara yang terbaik adalah menerapkan pendekatan yang aktif-inklusif, dan bersama kelompok-kelompok lain berpartisipasi membangun sistem sosial-politik Indonesia. Inilah jalan sipil menuju partisipasi yang bersifat civic. Dan inilah jalan Islam Madani, Islam Sipil.
Dengan Islam Madani, kita tidak terobsesi untuk merebut kekuasaan. Sebaliknya, adalah untuk memperjuangkan supaya negara berfungsi seperti yang dipikirkan Rousseau dalam konsep kontrak sosial. Perjuangan seperti ini menggunakan cara-cara demokratis.
Di sini saya ingin menegaskan kembali definisi mengenai agama madani, sebagai agama warga negara yang referensi subjektifnya didasarkan pada doktrin agama masing-masing kelompok agama, tetapi yang kemudian ditarik nilai-nilai obyektifnya sebagai seperangkat norma universal yang bisa di-share bersama. Dengan kata lain, agama sipil atau agama madani merupakan titik temu universal agama-agama, dari mana norma-norma etis yang bersifat general yang berasal dari ajaran masing-masing agama, dirumuskan bersama sebagai common denominator.
Di sini saya harus mengakui bahwa disamping oleh Rousseau, saya juga terilhami oleh Nurcholish Madjid mengenai konsep kalimat al-sawa (titik temu bersama), yakni prinsip tentang perlunya agama-agama bertemu pada suatu kesepakatan nilai bersama untuk berkhidmat pada Tuhan yang sama demi kemaslahatan umat manusia. Inilah inti gagasan agama Madani. Dalam kerangka seperti ini, semua agama memiliki kedudukan yang sama untuk ikut menyumbangkan nilai-nilai dan bersekutu untuk memperjuangkannya di tingkat publik.
Saya juga harus mengakui bahwa pemikiran untuk memperkenalkan Islam dalam paradigma sebagai agama madani didasarkan pula pada kerangka metodologis yang diperkenalkan Kuntowijoyo untuk mengubah umat Islam dari cara berpikir subjektif ke objektif. Dengan kerangka ini, cara berpikir objektif tentang agama tidak memerlukan pertimbangan-pertimbangan teologis tentang benar salahnya agama lain.
Dengan demikian, seperti dikatakan Kuntowijoyo, agama-agama lain tidak memerlukan pembenaran teologis secara Islam untuk menjamin eksistensinya masing-masing di tengah masyarakat Islam. Bahwa agama lain ada secara objektif, cukuplah bagi umat Islam.
Umat tidak perlu repot-repot berpikir tentang kedudukan teologis agama lain dalam Islam. Perubahan cara berpikir subjektif ke objektif di sini berarti pengakuan sepenuhnya bahwa agama yang ada di luar itu ada secara objektif. Dan inilah yang menjadi dasar bagi eksistensi bersama, dasar dari pluralisme agama-agama.
Sebagai orang Islam saya akan memberikan dukungan Islami terhadap agama sipil, dengan menjelaskan reason-nya secara doktrinal dan teologis.
Dengan cara yang seperti itu juga saya akan mengajak tokoh-tokoh agama lain mempromosikan perlunya sebuah agama madani di lingkungan umat masing-masing, dan menjelaskan argumen teologis masing-masing di lingkungan umat mereka secara internal.
Jadi, dengan kata lain, orang-orang Kristen harus memberikan dukungan Kristiani untuk agama sipil, seperti halnya orang Islam akan memberikan dukungan Islami pada gagasan ini. Demikian seterusnya, cara ini harus ditempuh di lingkungan Buddhis, Hindu, Konghucu, dan lain-lain.
Sementara itu, kita perlu mengajak tokoh-tokoh dari kalangan yang menyatakan diri atheis, agnostik, dari kalangan agama-agama tradisional, aliran kepercayaan, dan kalangan non-agama. Meskipun agama sipil memiliki elemen-elemen teologis dari berbagai agama, yang muncul keluar pada dasarnya adalah seperangkat nilai-nilai etis bersama yang bersifat umum dan terbuka, yang bisa diuji oleh siapa pun.
Agama sipil bukan merupakan ideologi nasionalistik, dengan nama Pancasila. Pancasila itu cek kosong, seperti kata Cak Nur, karena semua pihak bisa mengisi makna subjektif terhadapnya sesuai dengan visi ideologis dan kepentingan politik masing-masing. Karena adanya pengisian Pancasila yang bermacam-macam ini, perlu dihadirkan konsep agama madani, dan lebih spesifiknya Islam Madani, karena bangsa kita ini mayoritas beragama Islam.
Sebagai Muslim, saya menginginkan mayoritas umat Islam di negeri ini membela negara berdasarkan nilai-nilai Islam, tapi pada saat yang bersamaan nilai-nilai Islam yang mereka bela itu akan dibela juga oleh pemeluk agama yang lain.
Agama madani berbeda dengan Pancasila, karena dalam agama madani unsur utamanya adalah nilai-nilai agama universal yang ditarik dari masing-masing ajaran agama. Sebagai contoh, jika Pancasila hanya terdiri dari lima prinsip doktrinal, agama madani bisa mengelaborasinya lebih jauh menjadi seperangkat doktrin yang lebih lengkap yang disumbangkan oleh banyak agama.
Pada hakikatnya kita semua menginginkan Pancasila menjadi perwujudan dari seluruh nilai-nilai yang disepakati oleh berbagai pemeluk agama. Ini memang memerlukan revitalisasi, artinya pendefinisian kembali Pancasila dengan dukungan seluruh pemeluk agama. Yang harus dilakukan agama untuk merevitalisasi Pancasila adalah agar Pancasila mendapat dukungan keyakinan internal setiap pemeluk agama. Agama harus mengisi “cek kosong” Pancasila itu.
Nah, dengan Islam Madani untuk orang Islam, Kristen Madani untuk orang Kristen, Hindu Madani untuk umat Hindu, dan seterusnya, kita berpikir bahwa Pancasila akan mendapatkan dukungan agama-agama secara penuh.
Jadi, Pancasila di sini hanya sebagai pijakan, karena inti sebenarnya adalah agama madani di balik Pancasila, yang mampu menyediakan keyakinan bagi, serta memberikan inspirasi kepada para pemeluk semua agama untuk mendukung nilai-nilai universal yang terkandung dalam Pancasila.
Agama madani, sebagaimana Islam Madani, tidaklah bersifat denominasional, tetapi nasional. Ini berarti semua kelompok keagamaan bisa memberi sumbangan untuk pengisiannya. Tapi begini, saya kira Islam Madani merupakan tahap ketiga dari perkembangan pemikiran Islam, setelah tahap Islam Fiqhi dan Islam Siyasi.
Begitu juga agama madani yang berwatak universalistik merupakan evolusi dari doktrin Pancasila yang bersifat nasionalistik. Jadi, dalam kerangka seperti inilah kita tidak bisa membayangkan bahwa di bawah proyek agama madani akan muncul agenda-agenda negara Islam, kekhalifahan, dan sejenisnya.
Gagasan tentang negara Islam, kekhalifahan Islam, atau Syariah Islam, adalah gagasan-gagasan partikularistik yang mencerminkan egosentrisme umat Islam. Kelompok-kelompok yang berjuang menegakkan Syariat Islam untuk, misalnya, pemakaian jilbab, pandai baca tulis Qur’an, dan seterusnya, bukanlah memperjuangkan Islam Madani. Ini karena agenda-agenda seperti itu bersifat partikular dan subjektif; hanya ditujukan untuk kalangan internal Muslim. Agenda Islam Madani bukan seperti itu. Agenda Islam Madani adalah untuk kemaslahatan yang lebih luas.
Jadi saya tidak khawatir Islam Madani akan diserobot oleh kelompok-kelompok pendukung Syariah Islam, negara Islam, dan kekhalifahan Islam. Secara kategoris mereka tidak setuju gagasan Islam Madani yang pluralistik.
Agama madani tidak dimaksudkan untuk ditundukkan di bawah suatu otoritas politik apapun, atau di bawah suatu rezim. Agama madani adalah untuk kepentingan negara, bukan kepentingan penyelenggara negara. Agama madani dirumuskan untuk memberikan justifikasi etis dan rasional untuk perjuangan bersama menyejahterakan bangsa. Ini adalah semacam kerangka politik etis untuk memberantas korupsi yang merusak negeri ini, menentang kapitalisme global yang menyingkirkan pedagang-pedagang kecil, menentang tipu muslihat privatisasi demi kepentingan neo-liberalisme.
Kebanyakan orang menentang kapitalisme global dengan ideologi sosialisme, namun dengan agama madani, mulai sekarang kita bisa melawan globalisasi neolib berdasarkan landasan agama dan negara sekaligus.
Cita-cita agama madani, termasuk di dalamnya Islam Madani, sesungguhnya sederhana saja. Dengan bahasa populer, Islam Madani berarti “ hubbul wathan minal iman”, artinya “mencintai tanah air ialah bagian dari iman”. Agar semua orang merasa bahwa mencintai negara adalah bagian dari iman.
Karena itu, musuh Islam Madani adalah penindasan, setiap bentuk kezhaliman, segala hal yang menyebabkan negara mengalami malfungsi. Pokoknya segala sesuatu yang menyebabkan Indonesia menjadi negara gagal, atau menderita gagal-negara.
0 komentar: