Friday, April 20, 2018

ABAH ANOM DAN ETIKA FILSAFAT KESUNDAAN


Abah Anom dan Gus Dur

Siapa yang tak kenal dengan Abah Anom (Kiai Muda/Ajengan Ngora) dari Suryalaya Tasikmalaya. Namanya sangat harum di kalangan masyarakat lokal atau international, tak sedikit, orang yang bertamu dan mencari ketenangan, meminta wejangan, baik dari tokoh politik, artis, masyarakat, preman sekalipun, bahkan banyak orang-orang yang sekiranya mau bertaubat dan meminta arahan kepada beliau. Kiai ini menjadi Wali Fenomenal Abad 21, sehingga, ada keunikan-keunikan (karamah) yang beliau miliki yang menjadi buah bibir masyarakat.

Abah Anom (KH. Shohibul Wafa Tajul Arifin), adalah putera kelima dari Abah Sepuh (KH. Abdullah Mubarok ibn Nur Muhammad), beliau lahir pada tanggal 1 Januari 1915 di Suryalaya Tasikmalaya. Tasikmalaya memang sudah terkenal di kalangan masyarakat Jawa Barat bahkan Indonesia sebagai daerah yang dipenuhi dengan Santri dan Pesantren. Tak sedikit para ulama yang lahir dari Tasikmalaya, bukan hanya saja Abah Anom sebagai Ulama masyhur, jauh sebelumnya sudah banyak, seperti KH. Z. Mustafa Sukamanah, KH. Choer Affandy Manonjaya, KH. Zainal Muttaqien Cibeuti dll.

Sebagai insan yang lahir dari culture Pesantren, Abah Anom dari usia belia sudah didik oleh ayahnya agar menjadi manusia yang soleh, dan berbudi pekerti luhur, sebagaimana dalam teori interaksionisme simbolik yang menjadi teori Habitus dalam ilmu Sosiologi bahwasannya "Manusia dibentuk atau diproduksi oleh lingkungannya (habitatnya)". Begitu juga dengan Abah Anom.

Pada usia delapan tahun Abah Anom masuk Sekolah Dasar (Verfolg School) di Ciamis antara tahun 1923-1928. Kemudian ia masuk Sekolah Menengah semacan Tsanawiyah di Ciawi Tasikmalaya. Pada tahun 1930 Abah Anom memulai perjalanan menuntut ilmu agama Islam secara mendalam. Selama mempelajari agama Islam seperti, Fiqh, Tauhid, Tasawwuf, Nahwu, Sharaf, Balaghah, Ma’ani, Bayan, Manthiq dll, beliau adalah santri yang paling tekun dan sederhana, tawadlu’ dan selalu berhati-hati. Cianjur sebagai pusat pembelajaran Agama Islam pada masa itu, sangatlah berpengaruh pada diri Abah Anom, terutama podok pesantren yang berada di daerah Cicariang, Jambu Dipa, dan Gentur.

Namun, ada satu pondok yang sangat berpengaruh dan membentuk karakter Abah Anom sehingga mampu menjadi wakil talqin TQN sebagai penggati Abah Sepuh dimasa muda, yaitu pondok pesantren Cireungas, Cimelati, Sukabumi, yang waktu itu Abah Anom belajar di Sukabumi selama dua tahun (1935-1937). Sebagai ulama yang haus akan ilmu agama dan kegemarannya belajar silat, Abah Anom melanjutkan belajarnya pada H. Junaedi Citengah, Panjalu, Ciamis, yang pada waktu itu terkenal sebagai Ulam Alat, Jago Silat, dan Ahli Hikmat.

Abah Anom menikah pada usia 23th, dengan mempersunting Nyai Euis Ru’yanah. Setelah menikah, Abah Anom berziarah ke Tanah Suci gunan melaksanakan rukun Islam yang kelima, dan bermukim mempelajari ilmu agama selama kurang lebih 7 bulan di Mekah, yang memang pada masa itu banyak Ulama Nusantara yang bermukim dan mempunyai santri di Mekkah dan Madinah. Sepulang dari Mekkah, Abah Anom mampu membangun sebuah lembaga pondok pesantren warisan dari Abah Sebuh dengan berbagai disiplin keilmuan, beliau sangat fasih dalam berbahasa Arab, Indonesia, Jawa, dan Sunda. Sehinggat tak heran jika beliau menguasai ilmu-ilmu dasar dalam Islam seperti Nahwu, Sharaf, Tauhid, Fiqh, Tasawwuf, Kalam, Tafsir dan Hadits. Seringkali beliau berpidato, memberikan nasihat-nasihatnya terhadap murid-muridnya dengan menggunakan bahasa Sunda yang alus dan dimengerti. Sebagai orang Sunda beliau sesalu menerapkan filsafat-filsafat kesundaan, yang tertuangkan dalam sastra paribahasa, pupuh, dan ajaran-ajaran tatakrama dengan mengintegritaskan filsafat kesundaan guna memperkokoh ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah yang beliau anut.

Bukan hanya saja sebagai ulama yang selalu disiplin dalam keilmuan Islam dan kebudayaan dan kesusastraan Sunda, beliau juga sebagai Ulama yang memprioritaskan kebutuhan masyarakatnya. Terbukti dengan didirikannya lembaga-lembaga formal di sekitar pondok pesantren Suryalaya.  Sebagai cendekiawan yang selalu memegang teguh wasiat ayahnya Abah Anom adalah salah satu ulama yang sangat patuh terhadap aturan-aturan agama dan negara, sehingga tak sedikit dari kalangan elite politik yang ingin mendapatkan pengarahan dari beliau.

Sebagai Mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah beliau sangatlah dihormati di kalangan ulama yang telah mencapai derajat Makrifat (mukasyafah), sebagai makhluk Tuhan yang makrifat, baik makrifat terhadap Tuhannya, Makrifat terhadap dirinya, Makrifat terhadap budayanya, Makrifat terhadap lingkungannya, dan Makrifat terhadap negerinya, beliau adalah sosok Resik/Datuk/Ulama/Sultah/Auliya yang mampu mengintegritaskan Trisula (Tri Tangtu Sunda Buwana), yaitu mengintegritaskan dirinya sebagai manusia yang menghormati hukum Agama, Adat (Budaya/Tradisi/Local Wisdom), dan Negara (Buana/Nagara).

Sekiranya Abah Anom adalah sosok Wali Abad 21 yang fenomenal, yang membawa budaya kepada agama, karena pada dasarnya Tasawwuflah yang mengiring dan memasuki budaya ke ranah transendensi Tuhan.

Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: