Sunday, August 6, 2017

PENDIDIKAN INDONESIA YANG SALAH KAPRAH


Melihat kondisi pendidikan Indonesia yang carut-marut, saya turut prihatin dengan segala keadaan kondisi saat ini, di mana masyarakat Indonesia sudah terlalu banyak yang kehilangan identitas bangsanya, masyarakat Indonesia hilang budi pekerti dan akhlaknya. Bukan hanya saja di perkotaan arus globalisasi mengkikis keras terhadap budaya bangsa, tapi di daerah-daerah, desa-desa, kampung-kampung ikut terguras oleh arus globalisasi dan glamournya pergaulan kota, sehingga tak sedikit dari akibat seperti itu anak didik bangsa merampas hak orang tuanya dengan memaki-makinya karena ingin suatu hal tertentu, bukan saja itu, sifat hedonis yang telah menjamur, sifat sok modernis yang telah mengakar semuanya telah merubah drastis budaya dan tradisi lokal masyarakat Indonesia. Gak sedikit kok anak-anak didik bangsa yang terkena kasus seperni narkoba, kumpul kebo, hamil duluan, membunuh orang tua, dan kriminalitas lainnya. Ini adalah suatu PR yang besar bagi pemerintah untuk mengembalikan pendidikan Indonesia sebagai pendidikan yang berbudaya, berbudi pekerti yang luhur dan berkarakter Nusantara.

Dengan berbagai kondisi bobroknya pendidikan, ada pula anak bangsa yang menjadi seorang kapitalis di negerinya sendiri, hal inilah yang sangat diprihatinkan ketika kapitalisme semakin menjamur masyarakat miskin pun semakin tertekan bahkan bisa saja tak menghirup udara segar sama sekali. Dalam pandangan sosiologi madzhab pendidikan menurut Fierre Bourdieu yang dikutip oleh Tan Malaka bahwasannya pendidikan secara tidak sadar adalah pengkelasan dalam statifikasi sosial, pendidikan menjadi reproduksi sosial kelas. Saya katakan, ideologi-ideologi dan jati diri kita sudah jauh dari negaranya.

Hal yang penting dalam mengolah bangsa ini yaitu karakternya, tapi bukan hanya diam di situ. Melainkan bangsa kita harus mengolah sumber daya alam yang melimpah dan terbebas dari kepentingan asing. Di negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia seharusnya pemerintah mampu mensejahterakan masyarakatnya, namun apa faktanya (?).

Senyatanya bangsa kita hidup dilumbung yang sangat subur, tapi kenyataannya kita jauh dari kemakmuran. Ini artinya ada yang salah dalam mengelola negara ini.! Kita ini negara maritim dan agraris, tetapi berapa persen lembaga pendidikan yang berpijak pada ilmu kemaritiman dan keagrarisan, belum lagi pertambangan (?), ini besar sekali yang saat ini justeru dikelola oleh bangsa-bangsa asing, bangsa kita yang jadi buruhnya. Sumber tambang yang begitu besar, emas, perak, timah, tembaga, uranium, titanium, batu bara dsb. Nemun coba lihat keadaan nasib bangsa kita yang amat terpuruk di mata dunia.

Pertanian, perkebunan dll, yang ditunjang dengan iklim yang sangat sempurna seolah tidak termanfaatkan dengan baik oleh bangsa kita, tentu ini merupakan tanggung jawab utama dari lembaga pendidikan di negara ini, yang tugasnya adalah membangun watak kecerdasan, kepintaran, kepandaian, kecerdikan serta pembentukan perwatakan bangsa yang punya ciri tersendiri, yang membedakan antara bangsa satu dengan yang lainnya dan ini tiada lain dibentuk oleh lembaga pendidikan. Sebab, banyangkan hampir ¼ umur tiap anak bangsa itu habis dalam dunia pendidikan, hasilnya apa (?). hasil dari dunia pendidikan semakin meningkatnya grafik pengangguran di negara ini, bahkan di samping itu banyak sarjana yang dipekerjakan atau dijadikan budak, atau yang bekerja yang tidak sesuai dengan bidang keilmuannya. Misalnya seseorang yang lulus dari jurusan sosiologi atau ilmu politik, bahkan Hubungan International lalu dia bekerja di Bank dan menjadi teller Bank, ini sangat ironi sekali dan gak nyambung, bahkan hal seperti ini sangatlah banyak bukan hanya satu atau dua orang sarjana, dan itulah yang saya sebut dengan melacurkan diri dari bidang keilmuannya dan keahliannya, lalu buat apa mereka sampai bertahun-tahun membuang-buang waktu dan biaya dll, ternyata di sini nampak jelas bahwasannya dunia pendidikan tidak mampu menjamin mereka atau mensejahterakan mereka.

Ketidak jelasan pendidikan seperti ini perlu dievaluasi secara menyeluruh bila perlu semuanya, supaya bangsa kita tidak lupa akan potensi negaranya, perlu kerjasama yang utuh dari berbagai ilmu pengetahuan untuk kembali melihat kita ini punya apa (?), negeri ini punya apa (?), semua pendidikan yang ada di muka bumi ini dulunya adalah berlandas pada potensi negaranya. Lantas untuk apa negara yang begitu kaya seperti di negara kita malah melahirkan orang-orang yang meninggalkan potensi negaranya, akhirnya apa (?) pendidikan tidak menjawab kebutuhan negara, sehingga jangan heran kalau banyak terjadi pengangguran.

Tentu tidak bisa dipungkiri, bahwasannya saat ini lembaga pendidikan telah berkembang dan menjadi lahan perdagangan atau sering kita sebut sebagai industri pendidikan yang tentu saja orientasinya adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya itu sebabnya biaya pendidikan di negeri ini begitu mahal dan tak sesuai target. Selain mahal, ilmu pengetahuan yang mereka dapat dari anak bangsa ini, tidak dapat dipakai untuk menjawab kebutuhan negeri ini. Namun, apabila ilmu pendidikannya mampu menjawab kebutuhan negara, saya kira setiap lulusan tidak susah-susah mencari tempat kerja.
Ya, tentu saja hal ini merupakan ladang bisnis yang sangat menggiurkan bagi para pemodal dan gilanya, bangsa kita yang sudah tergila-gila dengan gelar-gelar kesarjanaan ini semakin parah, seolah-olah gelar itu adalah segala-galanya. Nah, siapa yang tak tergiur dengan gelar kesarjanaan kalau tidak seperti ini, maka inilah peluang yang sangat luar biasa dari industri pendidikan untuk membangun sebuah perdagangan. Yang didagangkan apa (?) ya ilmu pengetahuan toh!. Ilmu pengetahuan apa (?) ilmu pengetahuan yang gak nyambung dengan potensi negara kita. Ini kan parah !.

Oleh karena itu, tugas lembaga pendidikan yaitu mengembalikan kesenyawaan atau ruh anak bangsa kepada ibu pertiwi (kepada potensi negaranya), agar semua anak bangsa mampu menjawab dan mengelola sumber daya alam yang ada di negeri ini.

Kesalahan orientasi pada dunia pendidikan di negara kita menyebabkan bangsa Indonesia secara langsung pun tidak langsung, itu terbentuk menjadi sosok tenaga kerja (dalam bahasa halusnya), padahal dalam bahasa kasarnya adalah pembentukan mental Jongos, artinya bangsa kita itu bukan menjadi seorang bangsa atau anak bangsa pemilik negara, yang mampu mengelola negeri ini, bekerja untuk negeri ini, hingga mereka mendapatkan kemakmuran.

Anehnya, bekerja di negara ini, tapi kerjanya di perusahaan asing, dan fenomena yang paling mengerikan adalah “ketika anak bangsa merasa bangga bahwa dirinya bekerja di perusahaan asing dengan gaji yang besar” dia lupa bahwa dia bekerja di negaranya sendiri, harusnya bangsa asing itu yang kerja di negara kita, fenomena yang muncul ini perlu kita sikapi. Mohon maaf, banyak saat ini lulusan-lulusan sarjana yang bekerja di perusahaan asing dan bangga dengannya, yang padalahal itu adalah manusia bermental jongos, bermental budak, bermental babu dan yang lebih mengerikan hal yang seperti ini yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, yang mana dalam promosinya bahwasannya “lulusan lembaga ini akan diterima di perusahan A, B, C”, yang padahal semuanya adalah perusahaan asing, ini sangatlah miris. Perlu kita ketahui ribuan tahun lalu bangsa kita adalah bangsa penguasa bukan bangsa yang bermental pembantu.

Negeri yang memiliki kekayaan alam dengan ratusan pegunungan, luasnya lautan bahkan samudra, itu tidak terkelola dengan baik dan tidak dapat mengangkan harkat, martabat, derajat bangsa Indonesia ini, hal ini sangat mengerikan sekali. Ini dikarenakan lembaga pendidikan yang salah kaprah atas orientasi yang salah sasaran dan target bangsa ini. Kenapa bisa demikian (?), yan karena dunia pendidikan dari mulai tingkat SD sampai Perguruan Tinggi tidak berlandas pada ilmu pengetahuan atas sumber daya alam yang ada di negeri ini, tidak menjawab kebutuhan, bagaimana mengelola Sumber Daya Alam yang begitu kaya raya. Sumber-sumber alam dan kebudayaan seharusnya menjadi cikal bakal dibangunnya lembaga pendidikan, ini yang nantinya akan melahirkan sarjana-sarjana yang unik, yang berbeda dengan negara lain. Kenapa harus sama?, toh wilayahnya beda kok!. Maksudnya bukan berarti kita harus menghilangkan pelajaran matematika, bahasa inggris, filsafat dll, bukan, bukan itu! Tapi kurangi bobotnya, atau anggap saja 80% betul-betul berdasarkan pada potensi negara, sedangakan 20% nya untuk menjawab kebutuhan internasional.

Jika potensi bumi Indonesia dikelola oleh tenaga-tenaga yang terampil, yang sesuai dengan bidang keilmuan yang berlandas pada potensi masing-masing wilayah di negeri ini, sudah pasti perkembangan perekonomian di negara kita akan tumbuh secara cepat dan ini akan memicu kemakmuran di mana-mana, dan kita akan mengalahkan bangsa mana pun, kenapa (?) karena, negara kita adalah yang terkaya di dunia. Saya ambil contoh misalnya, Cirebon. Cirebon dengan potensi kelautanya, sumber daya alamnya, budaya dan tradisinya harus menjadi dan melahirkan sebuah lembaga pendidikan yang berorientasi pada potensi daerahnya, apalagi Cirebon masih mempunyai kesultanan yang cukup mempunyai otoritas adatnya, inilah yang harus bisa dibentuk oleh Cirebon yang nantinya akan melahirkan lulusan-lulusan yang militansinya tinggi terhadap bangsa dan negaranya. Seharusnya kesultanan Cirebon itu mampu membuat lembaga pendidikan seni dan budaya, hampir semua keraton di seluruh Indonesia, kesultanan-kesultanan ini hanya menjadi sebuah artefak, yang memperlihatkan hanya sebagai lintas sejarah saja, itu hanya jadi sebuah museum hidup atau menjadi tontonan masyarakat apa bedanya dengan Taman Mini jika seperti itu (?).


Patutlah kita sadari atas kesalah kaprahannya pemerintah yang telah mengelola lembaga pendidikan yang tidak sesuai dengan potensi negaranya sendiri yang tidak mementingkan negeri pertiwi ini, yang nantinya memikan atau memicu keteratarikan bangsa asing untuk menguasai semua sumberdaya alam di negeri ini, dan patut kita akui bahwa negeri kita, bangsa kita, anak-anak kita telah disibukkan oleh bangsa asing dengan produk-produk film yang tak bernilai pendidikan sama sekali. Oleh karena itu, jika kita ingin berdiri sendiri, mandiri, dan berdikari mari kita bangun bangsa ini dengan pendidikan yang berbudaya yang berorientasi pada potensi bangsa ini, agar menjadi bangsa yang subur makmur, dan saya yakin jika seperti itu tak akan ada yang nganggur.
Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: