Melihat kondisi pendidikan Indonesia yang carut-marut, saya turut prihatin dengan segala keadaan kondisi saat ini, di mana masyarakat Indonesia sudah terlalu banyak yang kehilangan identitas bangsanya, masyarakat Indonesia hilang budi pekerti dan akhlaknya. Bukan hanya saja di perkotaan arus globalisasi mengkikis keras terhadap budaya bangsa, tapi di daerah-daerah, desa-desa, kampung-kampung ikut terguras oleh arus globalisasi dan glamournya pergaulan kota, sehingga tak sedikit dari akibat seperti itu anak didik bangsa merampas hak orang tuanya dengan memaki-makinya karena ingin suatu hal tertentu, bukan saja itu, sifat hedonis yang telah menjamur, sifat sok modernis yang telah mengakar semuanya telah merubah drastis budaya dan tradisi lokal masyarakat Indonesia. Gak sedikit kok anak-anak didik bangsa yang terkena kasus seperni narkoba, kumpul kebo, hamil duluan, membunuh orang tua, dan kriminalitas lainnya. Ini adalah suatu PR yang besar bagi pemerintah untuk mengembalikan pendidikan Indonesia sebagai pendidikan yang berbudaya, berbudi pekerti yang luhur dan berkarakter Nusantara.
Dengan berbagai kondisi
bobroknya pendidikan, ada pula anak bangsa yang menjadi seorang kapitalis di
negerinya sendiri, hal inilah yang sangat diprihatinkan ketika kapitalisme
semakin menjamur masyarakat miskin pun semakin tertekan bahkan bisa saja tak
menghirup udara segar sama sekali. Dalam pandangan sosiologi madzhab pendidikan
menurut Fierre Bourdieu yang dikutip oleh Tan Malaka bahwasannya pendidikan
secara tidak sadar adalah pengkelasan dalam statifikasi sosial, pendidikan
menjadi reproduksi sosial kelas. Saya katakan, ideologi-ideologi dan jati diri
kita sudah jauh dari negaranya.
Hal yang penting dalam
mengolah bangsa ini yaitu karakternya, tapi bukan hanya diam di situ. Melainkan
bangsa kita harus mengolah sumber daya alam yang melimpah dan terbebas dari
kepentingan asing. Di negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya
manusia seharusnya pemerintah mampu mensejahterakan masyarakatnya, namun apa
faktanya (?).
Senyatanya bangsa kita
hidup dilumbung yang sangat subur, tapi kenyataannya kita jauh dari kemakmuran.
Ini artinya ada yang salah dalam mengelola negara ini.! Kita ini negara maritim
dan agraris, tetapi berapa persen lembaga pendidikan yang berpijak pada ilmu kemaritiman
dan keagrarisan, belum lagi pertambangan (?), ini besar sekali yang saat ini
justeru dikelola oleh bangsa-bangsa asing, bangsa kita yang jadi buruhnya.
Sumber tambang yang begitu besar, emas, perak, timah, tembaga, uranium,
titanium, batu bara dsb. Nemun coba lihat keadaan nasib bangsa kita yang amat
terpuruk di mata dunia.
Pertanian, perkebunan
dll, yang ditunjang dengan iklim yang sangat sempurna seolah tidak
termanfaatkan dengan baik oleh bangsa kita, tentu ini merupakan tanggung jawab
utama dari lembaga pendidikan di negara ini, yang tugasnya adalah membangun
watak kecerdasan, kepintaran, kepandaian, kecerdikan serta pembentukan
perwatakan bangsa yang punya ciri tersendiri, yang membedakan antara bangsa
satu dengan yang lainnya dan ini tiada lain dibentuk oleh lembaga pendidikan.
Sebab, banyangkan hampir ¼ umur tiap anak bangsa itu habis dalam dunia
pendidikan, hasilnya apa (?). hasil dari dunia pendidikan semakin meningkatnya
grafik pengangguran di negara ini, bahkan di samping itu banyak sarjana yang
dipekerjakan atau dijadikan budak, atau yang bekerja yang tidak sesuai dengan
bidang keilmuannya. Misalnya seseorang yang lulus dari jurusan sosiologi atau
ilmu politik, bahkan Hubungan International lalu dia bekerja di Bank dan
menjadi teller Bank, ini sangat ironi sekali dan gak nyambung, bahkan hal
seperti ini sangatlah banyak bukan hanya satu atau dua orang sarjana, dan
itulah yang saya sebut dengan melacurkan diri dari bidang keilmuannya dan
keahliannya, lalu buat apa mereka sampai bertahun-tahun membuang-buang waktu
dan biaya dll, ternyata di sini nampak jelas bahwasannya dunia pendidikan tidak
mampu menjamin mereka atau mensejahterakan mereka.
Ketidak jelasan
pendidikan seperti ini perlu dievaluasi secara menyeluruh bila perlu semuanya,
supaya bangsa kita tidak lupa akan potensi negaranya, perlu kerjasama yang utuh
dari berbagai ilmu pengetahuan untuk kembali melihat kita ini punya apa (?),
negeri ini punya apa (?), semua pendidikan yang ada di muka bumi ini dulunya
adalah berlandas pada potensi negaranya. Lantas untuk apa negara yang begitu
kaya seperti di negara kita malah melahirkan orang-orang yang meninggalkan
potensi negaranya, akhirnya apa (?) pendidikan tidak menjawab kebutuhan negara,
sehingga jangan heran kalau banyak terjadi pengangguran.
Tentu tidak bisa
dipungkiri, bahwasannya saat ini lembaga pendidikan telah berkembang dan
menjadi lahan perdagangan atau sering kita sebut sebagai industri pendidikan
yang tentu saja orientasinya adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya
itu sebabnya biaya pendidikan di negeri ini begitu mahal dan tak sesuai target.
Selain mahal, ilmu pengetahuan yang mereka dapat dari anak bangsa ini, tidak
dapat dipakai untuk menjawab kebutuhan negeri ini. Namun, apabila ilmu
pendidikannya mampu menjawab kebutuhan negara, saya kira setiap lulusan tidak
susah-susah mencari tempat kerja.
Ya, tentu saja hal ini
merupakan ladang bisnis yang sangat menggiurkan bagi para pemodal dan gilanya,
bangsa kita yang sudah tergila-gila dengan gelar-gelar kesarjanaan ini semakin
parah, seolah-olah gelar itu adalah segala-galanya. Nah, siapa yang tak tergiur
dengan gelar kesarjanaan kalau tidak seperti ini, maka inilah peluang yang
sangat luar biasa dari industri pendidikan untuk membangun sebuah perdagangan.
Yang didagangkan apa (?) ya ilmu pengetahuan toh!. Ilmu pengetahuan apa (?)
ilmu pengetahuan yang gak nyambung dengan potensi negara kita. Ini kan parah !.
Oleh karena itu, tugas
lembaga pendidikan yaitu mengembalikan kesenyawaan atau ruh anak bangsa kepada
ibu pertiwi (kepada potensi negaranya), agar semua anak bangsa mampu menjawab
dan mengelola sumber daya alam yang ada di negeri ini.
Kesalahan orientasi
pada dunia pendidikan di negara kita menyebabkan bangsa Indonesia secara
langsung pun tidak langsung, itu terbentuk menjadi sosok tenaga kerja (dalam
bahasa halusnya), padahal dalam bahasa kasarnya adalah pembentukan mental
Jongos, artinya bangsa kita itu bukan menjadi seorang bangsa atau anak bangsa
pemilik negara, yang mampu mengelola negeri ini, bekerja untuk negeri ini, hingga
mereka mendapatkan kemakmuran.
Anehnya, bekerja di
negara ini, tapi kerjanya di perusahaan asing, dan fenomena yang paling
mengerikan adalah “ketika anak bangsa merasa bangga bahwa dirinya bekerja di
perusahaan asing dengan gaji yang besar” dia lupa bahwa dia bekerja di
negaranya sendiri, harusnya bangsa asing itu yang kerja di negara kita,
fenomena yang muncul ini perlu kita sikapi. Mohon maaf, banyak saat ini
lulusan-lulusan sarjana yang bekerja di perusahaan asing dan bangga dengannya,
yang padalahal itu adalah manusia bermental jongos, bermental budak, bermental
babu dan yang lebih mengerikan hal yang seperti ini yang dipromosikan oleh
lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, yang mana dalam promosinya bahwasannya
“lulusan lembaga ini akan diterima di perusahan A, B, C”, yang padahal semuanya
adalah perusahaan asing, ini sangatlah miris. Perlu kita ketahui ribuan tahun
lalu bangsa kita adalah bangsa penguasa bukan bangsa yang bermental pembantu.
Negeri yang memiliki
kekayaan alam dengan ratusan pegunungan, luasnya lautan bahkan samudra, itu
tidak terkelola dengan baik dan tidak dapat mengangkan harkat, martabat,
derajat bangsa Indonesia ini, hal ini sangat mengerikan sekali. Ini dikarenakan
lembaga pendidikan yang salah kaprah atas orientasi yang salah sasaran dan
target bangsa ini. Kenapa bisa demikian (?), yan karena dunia pendidikan dari
mulai tingkat SD sampai Perguruan Tinggi tidak berlandas pada ilmu pengetahuan
atas sumber daya alam yang ada di negeri ini, tidak menjawab kebutuhan,
bagaimana mengelola Sumber Daya Alam yang begitu kaya raya. Sumber-sumber alam
dan kebudayaan seharusnya menjadi cikal bakal dibangunnya lembaga pendidikan,
ini yang nantinya akan melahirkan sarjana-sarjana yang unik, yang berbeda
dengan negara lain. Kenapa harus sama?, toh wilayahnya beda kok!. Maksudnya
bukan berarti kita harus menghilangkan pelajaran matematika, bahasa inggris,
filsafat dll, bukan, bukan itu! Tapi kurangi bobotnya, atau anggap saja 80%
betul-betul berdasarkan pada potensi negara, sedangakan 20% nya untuk menjawab
kebutuhan internasional.
Jika potensi bumi
Indonesia dikelola oleh tenaga-tenaga yang terampil, yang sesuai dengan bidang
keilmuan yang berlandas pada potensi masing-masing wilayah di negeri ini, sudah
pasti perkembangan perekonomian di negara kita akan tumbuh secara cepat dan ini
akan memicu kemakmuran di mana-mana, dan kita akan mengalahkan bangsa mana pun,
kenapa (?) karena, negara kita adalah yang terkaya di dunia. Saya ambil contoh
misalnya, Cirebon. Cirebon dengan potensi kelautanya, sumber daya alamnya,
budaya dan tradisinya harus menjadi dan melahirkan sebuah lembaga pendidikan
yang berorientasi pada potensi daerahnya, apalagi Cirebon masih mempunyai
kesultanan yang cukup mempunyai otoritas adatnya, inilah yang harus bisa
dibentuk oleh Cirebon yang nantinya akan melahirkan lulusan-lulusan yang
militansinya tinggi terhadap bangsa dan negaranya. Seharusnya kesultanan
Cirebon itu mampu membuat lembaga pendidikan seni dan budaya, hampir semua
keraton di seluruh Indonesia, kesultanan-kesultanan ini hanya menjadi sebuah
artefak, yang memperlihatkan hanya sebagai lintas sejarah saja, itu hanya jadi
sebuah museum hidup atau menjadi tontonan masyarakat apa bedanya dengan Taman
Mini jika seperti itu (?).
Patutlah kita sadari
atas kesalah kaprahannya pemerintah yang telah mengelola lembaga pendidikan
yang tidak sesuai dengan potensi negaranya sendiri yang tidak mementingkan
negeri pertiwi ini, yang nantinya memikan atau memicu keteratarikan bangsa
asing untuk menguasai semua sumberdaya alam di negeri ini, dan patut kita akui
bahwa negeri kita, bangsa kita, anak-anak kita telah disibukkan oleh bangsa
asing dengan produk-produk film yang tak bernilai pendidikan sama sekali. Oleh
karena itu, jika kita ingin berdiri sendiri, mandiri, dan berdikari mari kita
bangun bangsa ini dengan pendidikan yang berbudaya yang berorientasi pada
potensi bangsa ini, agar menjadi bangsa yang subur makmur, dan saya yakin jika
seperti itu tak akan ada yang nganggur.
0 komentar: