Saya hanya akan bercerita saja tentang fakta dan cerita yang turun temurun dari mulut ke mulut, tapi pake referensi ilmiah juga dong!. Bicara tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jailani al-Bagdadi tak cukup hanya dalam satu Artikel saja, buktinya banyak sekali para ulama yang menuliskan tentang beliau baik dari segi biografinya, sejarahnya, ajarannya, karyanya, bahkan karomahnya.
Saya pernah berdiskusi dari permasalahan “Nama” dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan Kitab karya al-Imam al-Gazali al-Bagdadi. Ada sebuah pertanyaan yang sangat menyegarkan, apakah Syaikh Abdul Qadir pernah bertemu dengan Imam al-Gazali (karena memang sama-sama di Baghdad), dan kenapa orang NU yang menetapkan madzhab Tasawwufnya kepada al-Gazali, tapi dalam tawassul yang sering terucapkan adalah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani?
Dalam diskusi ini, sangat menarik dan menggugah girah atau semangat para santri untuk mengkaji lebih dalam tentang tasawwuf. Di tengah diskusi ada kawan saya bertanya seperti di atas tadi. Saya Jawab dengan sederhana dan standar keilmuan saya, saya bilang seperti ini “Syaikh Abdul Qadir nama aslinya adalah Muhyiddin Abdul Qadir, Syaikh Abdul Qadir pernah berguru terhadap beliau, yang memang dalam sejarah tidak tertuliskan bahwa Syaikh Abdul Qadir Jailani berguru kepada Imam al-Gazali,”. Ketika di Baghdad Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, sempat ingin belajar di Madrasah al-Nidzamiyah yang dipimpin oleh Ahmad al-Gazali saudara dari Imam al-Gazali, namun sayangnya tidak diterima, entah alasan apa. Lantas Syaikh Abdul Qadir Jailani berguru kepada beberapa ulama di bagdad seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al-Muharrimiseim.
Bisa kita lihat dalam nama Kitab Ihya ‘Ulumuddin karya al-Gazali dengan nama asli Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, yang diawalnya ada kata Muhyiddin. Ihya bentuk masdar yang artinya hidup atau yang menghidupkan bisa juga yang dihidupkan, sedangkan Muhyi bentuk isim fail yang artinya menghidupkan, maka Ihya ‘Ulumuddin dan Muhyiddin mengandung arti yang berbeda namun tak bisa dipisahkan, jika Ihya ‘Ulumuddin artinya (Menghidupkan ilmu-ilmu agama), sedangkan Muhyiddin (Yang Menghidupkan Agama). Jadi maknanya, ilmu-ilmu agama (‘ulumuddin) dikembangkan oleh Muhyiddin (yang menghidupkan agama), karena memang Syekh Abdul Qadir Al-Jailani adalah praktisi handal yang mampu memetakan seluruh pemikiran Tarbiyah Ruhiyah Sufiyah konseptor ulung, yaitu Imam Al-Ghazali.
Oh ya, Madrasah al-Nidzamiyah inilah yang menginspirasi KH. Wahid Hasyim membentuk madrasah al-Nidzamiyah di Tebuireng, yang terkenal dengan kajian filsafatnya, oleh karena itu, KH. Wahid Hasyim memasukkan ilmu-ilmu umum di Pondok Pesantren dengan mengadakan madrasah tersebut.
Syaikh Abdul Qadir di Indonesia
Dikisahkan dalam sebuah al-Kisah (cerita), bisa juga sejarah biar agak ilmiah. Diceritakan bahwa Goa Safarwadi yang berada di Pamijahan Tasikmalaya tempat Syaikh Abdul Muhyi adalah bekas Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mendapatkan ijazah ilmu dari Imam Sanusi. Syaikh Abdul Muhyi adalah seorang waliyullah dari tanah mataram yang diutus oleh gurunya Syaikh Abdul Rauf al-Singkili ibn Abdul Jabbar ibn Abdul Qadir al-Jailani untuk mecari Goa di wilayah Jawa bagian Barat tepatnya di Pamijahan. Syaikh Abdul Rauf mendapatkan ilham ketika berada di Mekkah sedang melaksanak ibadah Haji bersama murid-muridnya, dengan seketika ada sebuah cahaya yang menyambar kepada wajah Syaikh Abdul Muhyi, dan Sang Guru pun Syaikh Singkil melihatnya, di situ Syaikh Singkil mendapat ilham bahwa muridnya yang mendapatkan cahaya tadi, harus disegerakan pergi ke Goa di wilayah Jawa bagian Barat, tepatnya Goa bekas Syaikh Abdul Qadir khalwat dan menerima ijazah ilmu dari Imam Sanusi.
Namun, dalam sejarah yang berbeda Goa Safarwadi adalah tempat orang-orang pemuja ilmu hitam dan lain-lain. Tapi, tetap bahwa Goa itu adalah hadiah dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Bagi saya banyak kesamaan kata dalam sebuah nama, seperti tadi Ihya ‘Ulumuddin, Muhyiddin dan ini Abdul Muhyi yang nantinya mempunyai murid KH. Muhyiddin dan ulama-ulama inilah sebagai penerus ajaran Tarekat Sattariyah yang dikemas oleh Abdul Rauf al-Singkili, hasil dari rekonsoliasi antara Tarekat Wujudiyah (Panteisme) Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani dan Tarekan Syuhudiyah Nuruddin al-Raniri, yang tertulis dalam ajaran martabat tujuh yang inti ajarannya adalah “Ketuhanan, Insan Kamil, dan Thariqat”.
Aminuddin Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili (Abdur-Rauf Singkil) dalam sejarah yang lain nama beliau adalah itu. Beliau bersyair;
Sebiji kelapa ibarat sana,
Lafadznya empat satu makna,
Di situ banyak orang terkena,
Sebab pendapat kurang sempurna.
Kulitnya ibarat Syariat,
Tempurungnya ibarat Thariqat
Isinya ibarat Hakikat
Minyaknya Ibarat Makrifat.
Dalam Syair ini Abdul-Rauf menjelaskan Insan Kamil (Manusia Paripurna/Manusia Dewa), yang telah mencapai alam Mulki, Malakut, Jabarut, dan Lahut. Alam lahut adalah alam Hakikat, di mana manusia telah mencapai derajat Manunggal Ing Kawula Lan Gusti (Wihdat al-Wujud), ketika term Wahid menyatu dengan Ahad, maka menjadi term Wahdah, Wahdah/Wihdat al-Wujud.
x
0 komentar: