Bubuy bulan, bubuy bulan, sangray bentang
Panon poe, panon poe, disasate
Unggal bulan, unggal bulan abdi teang
Unggal poe, unggal poe, oge hade
Situ Ciburuy laukna hese dipancing
Nyeredet hate ningali ngeplak caina
Duh eta saha nu ngalangkung unggal enjing
Nyeredet hate ningali sorot socana
(Benny Korda)
Seni dijadikan sebuah simbol tertentu untuk menggambarkan sebuah kondisi yang terjadi pada situasi yang sesuai dengan waktu dan zaman baik dalam tulisan atau gambar. Seperti yang terjadi akulturasi budaya dan agama di wilayah Nusantara, masuknya Islam ke Nusantara mempengaruhi sastra-sastra di Nusantara seperti Melayu, Jawa, Sunda dll membentuk sebuah integritas antara tradisi sastra Nusantara dan sastra Islam, bahkan Islam diterima sebagai unsur yang memperkaya, mendinamisir dan mengangkat karya sastra Nusantara. (Jurnal e-USU Repository, 2005:3)
Tak sedikit yang kita temukan perkembangan sastra Islam di Tatar Sunda yang menjadi sebuah simbol keragaman warisan budaya yang dimuat dalam tulisan, seperti ajaran martabat tujuh Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan, dangding Haji Hasan Mustopa, puisi Ajip Rosyidi, tembang bubuy bulan Benny Korda, lagu-lagu Doel Sumbang dan lain-lain.
Sastra di Tatar Sunda sering dikaitkan dengan hal-hal mistis baik dalam puisi, pantun dan lain-lain. Seperti Jangjawokan atau Jampe-jampe yang melekat pada masyarakat Baduy Kanekes, Banten seperti Jampe Asihan;
“Nu bogoh paboro-boro
Nu hayang paheula-heula
Nu beuki pagiling-giling
Nu banyu pagulung-gulung
Nu atma paheula-heula
Mangka reujeung satineung
Da tungkul geusan jeung sukma
Mangka lebur ucus rumangga
Bayahna mangka rug-rug
Sagalana mangka asih ka awaking
Da urang reujeung satineung
Da urang reujeung sabayu
Da urang reujeung sarasa saiya
Iku asihan sang ulet jati.”
Jangjawokan merupakan bentuk sastra mistis dari masyarakat Sunda yang menganut alirat Sunda Wiwitan, namun pasca masuknya Islam ke Nusantara banyak perubahan yang signifikan terhadap sastra-sastra klasik Sunda seperti yang terjadi pada jampe Sahadat Sunda;
“Ashadu sahadat Sunda, sahadat kaula ngan sahiji, raden santri kuncung putih nu calik di Cirebon Girang nu Rebo tanpa wekasan, hurip Gusti, waras abdi (…..), hurip teu keuna ku gingsir, waras teu keuna ku owah, hurip ku kersaning Allah Ta’ala, Laa Ilaaha Illallah, Muhammadur Rasulullah”
Sayyidina Ali Kw dan Rakeyan Sancang
Islam masuk ke wilayah Nusantara diperkirakan sejak pada masa Rasulullah saw abad ke-1 Hijriah, dalam beberapa teori masuknya Islam ke Nusantara mengatakan bahwa Islam pertama masuk ke daerah Barus dan Aceh (Swarnadwipa), dikarenakan ketertarikannya para pedagang Arab dengan kekayaan alam Nusantara yang melimpah. Bahkan tak sedikit dari para pedagang Arab yang menikah dengan masyarakat pribumi dan putera-puteri raja-raja di Nusantara.
Dalam bukunya Futher India and Indo-Malay Archipelago, Sejarawan asal Italia yang bernama G. E. Gerini, mencatat bahwa telah banyak masyarakat Arab bermukim di Nusantara sekitar tahun 606-699M. Mereka masuk melalui Barus dan Aceh di Swarnabumi utara. Dari sana menyebar ke seluruh Nusantara hingga ke China selatan. Sekitar tahun 615M, sahabat Rasulullah Ibnu Masud bersama kabilah Thoiyk, datang dan bermukim diSumatera. Di dalam catatan Nusantara, Thoiyk disebut sebagai Ta Ce atau Taceh (sekarangAceh). (Sumber : Kesultanan Majapahit, Realitas Sejarah Yang Disembunyikan [Hermanus Sinung Janutama]).
Di dalam buku Arkeologi Budaya Indonesia, karangan Jakob Sumardjo, diperoleh informasi, berdasarkan catatan kekaisaran Cina, diberitakan tentang adanya hubungan diplomatik dengan sebuah kerajaan Islam Ta Shi di Nusantara. Bahasa Cina menyebut muslim sebagai Ta Shi. Ia berasal dari kata Parsi Tajik atau kata Arab untuk Kabilah Thayk (Thoiyk). Kabilah Thoiyk ini adalah kabilahnya Ibnu Masud r.a, salah seorang sahabat Nabi, seorang pakar ilmu Alquran (Sumber : Arkeologi Semiotik Sejarah Kebudayaan Nuswantara).
Pada sekitar awal abad ke 8, orang-orang Persia Muslim mulai berdomisili di Sriwijaya akibat mengungsi dari kerusuhan Kanton. Dalam perkembang selanjutnya, pada sekitar tahun 717 M, diberitakan ada sebanyak 35 kapal perang dari dinasti Umayyah dengan hadir di Sriwijaya, dan semakin mempercepat perkembangan Islam di Sriwijaya (Sumber : Sejarah Umat Islam; Karangan Prof. Dr. HAMKA). Ditenggarai karena pengaruh kehadiran bangsa Persia muslim, dan orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja Srivijaya yang bernama Sri Indravarman masuk Islam pada tahun 718M (Sumber : Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang; Karangan H Zainal Abidin Ahmad, Bulan Bintang, 1979). Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Buddha dan Muslim sekaligus.
Dari beberapa pandangan para pakar, bahwasannya Islam masuk ke Nusantara sudak sejak lama bahkan sejak masa permulaan adanya Islam di tanah Arab yaitu zaman Rasulullah Saw, namun Islam di Tanah Jawa dan Tatar Pasundan berawal dari seorang Pangeran Jay Sima di Jepara dan Rakeyan Sancang di Garut.
Hubungan komunikasi antara tanah Jawa dan Jazirah Arab, sudah terjalin cukup lama. Bahkan di awal Perkembangan Islam, telah ada utusan-utusan Khalifah, untuk menemui Para Penguasa di Pulau Jawa. Pada tahun 674M semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bin Affan, beliau mengirimkan utusannya Muawiyah bin Abu Sufyan ke tanah Jawa, yakni ke Jepara (pada saat itu namanyaKalingga). Kalingga pada saat itu, di pimpin oleh seorang wanita, yang bernama Ratu Sima. Dan hasil kunjunganduta Islam ini adalah, Pangeran Jay Sima, putra Ratu Sima dari Kalingga, masuk Islam (Sumber : Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang; Karangan H Zainal Abidin Ahmad, Bulan Bintang, 1979). ( Sumber : Islam di Indonesia dan Jemaah Haji, Tempo Doeloe)
Mengenai siapa pemeluk Islam pertama di tataran Sunda, menurut Pengamat sejarah Deddy Effendie, adalah seorang Pangeran dari Tarumanegara, yang bernama Rakeyan Sancang. Rakeyan Sancang disebutkan hidup pada masa Imam Ali bin Abi Thalib. Rakeyan Sancang diceritakan, turut serta membantu Imam Ali dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta ikut membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) (Sumber : Islam masuk ke Garut sejak abad 1 Hijriah dan Jemaah Haji, Tempo Doeloe).
Seorang Rakeyan Sancang yang pernah ikut tempur bersama Sayyidina Ali Kw, dan masuk Islam seringkali cerita ini disamakan dengan cerita Kiansantang/Rakean Santang Putera Prabu Siliwangi yang mengejar dan memaksa Prabu Siliwangi untuk masuk Islam, inilah yang menjadi problem di kalangan masyarakat yang bersumber dari mulut kemulut.
Sumber lainnya menyebutkan (640 M) Rakeyan Sancang tidak sempat berkelahi dengan Syaidina Ali namun menyatakan kalah akibat tidak mampu mencabut tongkat Syaidina Ali yang hanya menancap di tanah berpasir. Sejak itulah Rakeyan Sancang menyatakan dirinya masuk Islam kemudian meneruskan berguru kepada Syaidina Ali. Ada beberapa sumber yang menyatakan bahwa Sayidina Ali dan Ahlul Bait keluarga Rasul SAW pernah beberapa tahun menetap di Pulau Jawa dan ada yang menetap menikah dengan orang Indonesia hingga sekarang tersebar keturunannya.
Bubuy Bulan, Imam Hussein dan Ahlul Bayt Nabi
Tembang Bubuy Bulan adalah sebuah warisan sastra yang mengandung nilai sejarah dan dakwah Islam dalam bait-baitnya, tembang yang diciptakan oleh Benny Korda ini tak lepas dari nilai-nilai agama dan sejarahnya yang telah termusnahkan dan terbumi hanguskan oleh musuh-musuhnya. Tembang ini bukan hanya sebagai tembang biasa yang dinyanyikan oleh mayoritas masyarakat Sunda sebagai lagu khas Sunda, namun tembang ini mengandung makna yang unik dalam perkembangan sejarah Islam.
Mari kita simak tembangnya;
Bubuy Bulan; Bubuy adalah sebuah peminjaman kata untuk menggantikan kata “Membumi hanguskan”, kata “bubuy” biasanya dipakai untuk membakar singkong atau ubi-ubian dengan cara dikubur di dalam bara. Bulan adalah peminjaman kata untuk menggantikan kata “Rasulullah Saw”, sebagaimana kita ketahui bahwasannya kata “Bulan” sering dijadikan sebuah metafora dari Rasulullah saw dalam beberapa Shalawat, seperti lagu Thala’a al-Badru ‘Alaina (Telah datang Rembulan kepa kita), jadi makna dari kata “Bubuy Bulan” adalah ajaran Rasulullah yang telah hilang terbumi hanguskan.
Sangray Bentang; Sangray seringkali digunakan untuk memasak kacang tanah dengan cara digoreng tapi tidak menggunakan minyak goreng, sangray di sini mengandung makna “dikhianati dengan cara yang kejam”. Bentang adalah peminjaman kata untuk kata Ahlul Bayt (Keluarga Nabi), sebagai mana keluarga Nabi sering disamakan dengan Bintang seperti di dalam sebuah hadis Nabi saw yang berbunyi; “Bintang-bintang adalah penunjuk bagi para pelaut agar tidak tersesat, dan Ahlul Bayt-ku adalah bintang-bintang bagi ummatku yang bila berpegang pada mereka niscahya akan selamat dunia akhirat”, hadis ini senada dengan hadis tsaqalain yang berbunyi;
يا اَيُّهَا النَّاسُ اِنِّي تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا اِنْ اَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا كِتَابَ اللهِ وَعِطْرَتِي أهْلَ بَيْتِي
“Wahai manusia, sungguh kutinggalkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya kalian tidak akan tersesat: ‘Kitabullah dan Itrahku Ahlu baitku’ ”. Jadi makna dari kata “Sangray Bentang”, adalah pengkhianatan secara keji terhadap Ahlul Bayt Rasulullah Saw, seperti ketika terbunuhnya Syahidnya Imam Hussein di Karbala.
Panon Poe, Panon Poe disasate; Matahari disate berkali-kali, Matahari diartikan sebagai lambang dari para Ulama yang menyampaikan ajaran Rasulullah saw dan Ahlul Baytnya, cahaya memancar kemana-mana ke seluruh ummat memberikan penerangan-penerangan yang dengan cahayanya manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi kehidupan mereka di dunia dan di akhirat. Namun, matahari-matahari ini disasate yang mengandung makna bahwa para ulama dan Ahlul Bayt dibunuh dengan cara licik, sadis, dan kejam tidak berprikemanusiaan, agar ajarannya hilang terluluh lantahkan dari muka bumi, tujuan pembantaian para ulama ini adalah demi langgengnya kekuasaan atau demi tujuan politik, yang berlangsung sejak wafatnya Rasulullah Saw, dengan puncak kesadisan yang tidak ada bandingnya dalam sejarah peradaban manusia, ketika cucu Rasulullah Saw dan keluarga yang lainnya dibantai dengan sadis. Peristiwa Karbala dan peristiwa-peristiwa pembantaian terhadap keluarga Nabi dan para pecinta keluarga Nabi, menyebabkan hijrah besar-besaran demi menyelamatkan agamanya, dan Nusantara adalah salahsatu tempat hijrah mereka. Oleh karena itu, sudah sekitar 600 tahun ajaran Rasulullah dan Ahlul Baytnya berkembang pesat di Nusantara, sehingga bermunculan manusia musuh Allah yang berkedok Ulama, karena hasadnya mereka membumi hanguskan ajaran rasul serta membakar kitab-kitab karye ulama dan para pecinta Ahlul Bayt guna ajarannya sirna dari muka bumi ini.
Pesan inilah yang disampaikan pada tiga baris bait tembang Bubuy Bulan, sedangkan di baris ke tiga lebih menekankan kepada Syahidnya para ulama pecinta Ahlul Bayt yang terbantai oleh golongan-golongan munafik, sehingga ulama ini mendapat gelar Syamsuddin (Mataharinya agama).
Kesedihan inilah yang melanda ummat Islam di seluruh belahan dunia terutama ummat Islam Syiah dan Sunni, sehingga penyair menulis kesedihannnya dengan bait yang berbunyi; Unggal bulan, unggal bulan, abdi teang. Unggal poe, unggal poe oge hade (setiap bulan, saya mencari-cari, dan setiap hari saya juga mencari-cari, pencarian tersebut sama bagusnya). Kegiatan mencari dan pencarian di sini adalah ikhtiar dan do’a melindungi sisa-sisa dari pembantaian dan usahanya mencari pengganti gurunya yang syahid tersebut.
Situ Ciburuy laukna hese dipancing; bait ini lebih kepada penerangan tempat dan waktu, ditekankan pada kata “Ciburuy” (tempat), dan lauk (ikan) yang berarti sengkalan, (sistem penanggalan yang diajarkan oleh para wali), jadi ikan di sini adalah Tahun, bagian-bagian ikan dibaca dari atas ke bawah (dari kepala ke ekor). Kepala 1, badan 1, sirip 2, ekor 1, berarti 1121, kejadian ini terjadi pada tahun 1121 di situ Ciburuy, atau puncak pembantaian terjadi pada 1121, 600 tahun setelah pemerintahan Ahlul Bayt yang adil dan makmur, merata di Nusantara.
Nyeredet hate; sedih, pilu, sakit, rindu yang luarbiasa tapi tak ada yang bisa diperbuat. Ningali ngeplak caina; melihat darah (ulama), ditumpahkan dengan sengaja. Duh, eta saha nu ngalangkung unggal enjing; siapakah itu yang hadir/datang disetiap pagi. Nyeredet hate; mengiris hati (melihat yang datang setiap pagi itu, mengingat kejadian di atas ketika gurunya syahid dalam kejadian pembantaian itu). Ningali sorot socana; melihat sorot matanya yang tegas (mengingatkan terhadap pencarian gurunya itu).
x
Hmm
ReplyDelete