NU adalah think tank (dapur pemikiran) dari para pendiri Bangsa.
Nahdlatul Ulama
organisasi terbesar, benarkah? Pada masa Gus Dur pernah diadakan survey oleh
beberapa lembaga termasuk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
mempresentasekan data warga NU di Indonesia sebanyak 42% sedangkan Muhammadiyah
15%. Apa makna semua ini?
Penulis bermaksud
meletupkan kembali bahwa NU bukan organisasi sembarang, NU memiliki aset besar
dan tanggung jawab yang sangat besar juga bagi NKRI dan Bangsa ini. Sejak
berdirinya NU 31 Januari 1926, NU tergolong organisasi muda yang lahir setelah
Muhammadiyah dan Persatuan Islam (PERSIS), tapi hebatnya NU mampu memiliki
massa yang lebih banyak dari pada yang lainnya.
Sikap Ulama NU yang
akomodatif dan selalu menyerukan Islam Wasathiyah (moderasi Islam) mampu
membawa bahtera Nahdlatul Ulama di tengah kerumunan bangsa, dari kalangan elit
sampai kalangan alit NU mempunyai aset-aset penting, meskipun berpuluh-puluh
tahun ditindas pada masa Orde Baru.
NU ini besar karena lahir
atas respon internasional, semangat para pendiri NU untuk menjaga tradisi dan
khazanah keislaman yang teramat fundamental ini, membangun mindset warga NU agar senantiasa menjaga agama, dan bangsa. Kenapa
NU dikatakan lahir atas respon internasional? Lha iya, andaikan saja waktu itu Ibn Saud tidak menaklukan Hijaz
(Makkah dan Madinah) tidak mungkin akan berdirinya NU.
Apa hubungan Ibn Saud
dan NU? Ibn Saud adalah Raja Nejed (Najdi) yang berpaham konservatif,
gagasannya adalah purifikasi Islam (pemurnian ajaran). Pemahaman ini yang
menjadi sebuah knowledge yang
dilegitimasi oleh regime of truth
(rezim kebenaran) Kerajaan Saud. Implikasi dari ini, terjadi genosida
besar-besaran pembantaian ulama-ulama Ahlus Sunnah dan eksodus para Ulama yang
menetap di Haramain untuk kembali ke negaranya masing-masing termasuk
Indonesia.
Kejadian yang
memperihatinkan tersebut terjadi pada tahun 1924-1925. Yang penulis heran,
kemana negara-negara muslim waktu itu, apakah telah ditaklukan oleh imperium
Britania dengan kekuatan Inggris pada masa itu, kita ketahuai pada tahun 1922,
Imperium Britania mencakup populasi sekitar 458 juta orang, kurang lebih
seperlima populasi dunia pada waktu itu dan ini dikatakan sebagai imperium
paling besar.
Indonesia waktu itu
masih dalam kondisi terjajah, namun Indonesia berani membentuk komite Hijaz
(panitia kecil) yang dipimpin oleh organisatoris ulung KH. Abdul Wahab
Chasbullah, untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Ibn Saud agar Makam
Rasulullah dan Para Sahabat tidak dibongkar hanya dengan alasa Bid’ah,
Churafat.
Sudah sejak dulu NU
berdakwah dengan cara halus, tidak perlu frontal, sporadis, dan anarkis,
gejolak besar yang merugikan ummat Islam saja NU lalui dengan hubungan
diplomatik, dan ini terjadi ketika Gus Dur jadi Presiden ingin menjalin
hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel, tujuan Gus Dur hanya satu
menghilangkan penjajahan di atas dunia dengan cara yang halus.
Seiring kurun waktu
berjalan, hari ini usia Nahdlatul Ulama hampir menuju satu Abad, di umur yang
cukup tua 92th ini, kiprah NU untuk bangsa tidak bisa disepelekan bahkan tidak
bisa digantikan dengan material apa pun, dan yang paling penting dari NU adalah
menyerahkan dirinya untuk bangsa, berkonsisten sampai hari kiamat untuk menjaga
kebhinekaan dan kesatuan.
Ketika kita bicara NU,
bukan bicara teori Barat tentang Islam, bukan juga bicara gerakan Islam di
Timur Tengah, tapi bicara NU adalah bicara think
tank (dapur pemikiran) dari para pendiri Bangsa. Islam selalu diasumsikan
sebagai pemahaman yang menyatukan agama dan negara seperti dalam definisi umum (al-Din wa al-Daulah) Islam dan Negara,
Islam adalah Negara. Saya kira, seorang Profesor Yahudi Inggris-Amerika bernama
Bernard Lewis telah keliru mengasumsikan negara yang berdaulat dan
masyarakatnya mayoritas muslim, di situ lah Islam sebagai Negara, terkecuali
Republik Turki. Asumsi seperti ini, kiranya keliru betul bagi seorang Profesor
Lewis. Profesor tidak melihat Indonesia dan kebhinekaannya.
NU
dan Islam Kultural
Menjadi “lebih Palestina” ketibang Palestina yang dibelanya. Menimbulkan kesan kejiwaan yang neurotik, seakan menutup diri bahwa ada pihak lainnya yang tebahak-bahak memanfaatkan kondisi tersebut.
Di Indonesia, Islam
tidak dijadikan kesatuan homogen din (agama) yang meliputi semua daulah, bahkan semua suku, bahasa,
budaya, dan lainnya terakomodasi oleh masyarkat Islam itu sendiri. Muncul lah think tank tadi bahwa Islam bukan hanya din al-syari’ah (agama hukum), din al-‘aqidah (agama akidah), din al-daulah (agama negara), din al-siyasah (agama politik), tapi
Islam di Indonesia adalah din al-‘ilmi
(agama ilmu), din al-tsaqafah (agama
budaya), dan din al-hadlarah (agama
peradaban). Alhasil Islam hadir di Indonesia dengan wajah sumringah, relaks dan
penuh senyuman, selalu berinovasi demi kebaikan dan kemajuan bangsa.
Wajah Islam Indonesia
saat ini terasa begitu menegangkan. Sebagian dari kita, negeri ini, saudara
kita menjadi begitu radikal, memberangus sesamanya, memberangus keluarganya,
memberangus sesama anak bangsa. Menjadi “lebih Palestina” ketibang Palestina
yang dibelanya. Menimbulkan kesan kejiwaan yang neurotik, seakan menutup diri bahwa
ada pihak lainnya yang tebahak-bahak memanfaatkan kondisi tersebut.
Gangguan kejiwaan ini,
dihadapi oleh Nahdlatul Ulama dengan relaks, mampu mengatur ritme permainan, alon-alon tapi pasti. Kelekatan Islam
kultural dalam tubuh NU selalu menampilkan Islam dengan pendekatan-pendekatan budaya, tidak dengan kekuasaan, kekuatan, represi, tipuan,
atau koersi senjata. Dalam kasus Indonesia, itulah Islam yang menerobos dunia Jawa, Minang, Melayu, Makassar, dan seterusnya.
Yang diterima karena ia (Islam) mendekati kita dengan menggunakan bahasa,
etika, moral, serta
simbol-simbol yang juga kita punya.
Srategi dakwah NU ini
memiliki objektif merebut hati dan simpati, bukan merebut kuasa dalam arti
kedudukan, uang, senjata, dan melulu politik. NU dulu, kini, dan esok akan
tetap sama. Bukan kah, dengan Islam sebagai agama dan ekspresi budaya lebih
indah?.
Rikal Dikri Muthahhari (Kader NU)
0 komentar: