Sunday, March 18, 2018

TGB DAN GUS DUR





Oleh Yusuf Tantowi
*Alumni Ponpes Al-Mujahidin, Bagek Nyaka, Aikmel, Lombok Timur

SAYA masih ingat, memasuki masa kampanye pemilihan gubernur NTB 2008 lalu–tim sukses Tuan Guru Bajang (TGB) membuat acara yang bertajuk Bincang-Bincang Bersama Tuan Guru Bajang di Lombok Tv. Acara ini dimaksudkan untuk memperkenalkan visi-misi sekaligus mendekatkan duet Bajang-Badrul (BARU) kepada masyarakat NTB. Acara itu dipandu oleh saudara Farid Tolomundu dan Martadinata.

Pada kesempatan tanya jawab saya mengatakan, ada lima persamaan Tuan Guru Bajang dengan KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pertama, sama-sama cucu seorang syekh. Gus Dur cucu Hadratus Syekh KH.Hasyim Asya’ari, pendiri dan Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU). TGB cucu Maulana Syekh TGH.Zaenudin Abdul Madjid, pendiri Nahdatul Wathan (NW). Dalam darah Gus Dur dan TGB sama-sama mengalir darah orang alim.

Kedua, sama-sama lahir dari keluarga Nahdloh (bangkit). Gus Dur lahir dari rahim keluarga Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama). TGB lahir dan besar dalam lingkungan organisasi Nahdatul Wathan (Kebangkitan Bangsa). Dan bila kita baca kebelakang, Maulana Syekh pun sebenar kader NU. Ia bahkan pernah menjadi anggota konstituante mewakili NU wilayah Sunda Kecil (Bali, Lombok, Sumbawa dan NTT). Ia kemudian mendirikan NW untuk fokus pada dakwah dan pendidikan ketika NU menjadi partai politik. Istilah NW pun dulunya pernah digunakan oleh tokoh-tokoh NU sebelum resmi menjadi NU.

Ketiga, sama-sama pernah menjadi ketua umum Ormas terbesar ditanah air. Gus Dur pernah menjabat sebagai ketua tanfiz PBNU selama tiga periode. TGB kita tahu sedang menjabat sebagai ketua tanfiz PBNW dua periode-sampai sekarang. NU dan NW, selain memiliki pengikut yang sangat besar tapi juga telah berperan besar dalam mengawal dan membangun bangsa Indonesia. Kehadirannya ikut mewarnai Islam Nusantara. Bedanya, ada yang sudah berkiprah dari ditingkat nasional dan lokal. Keduanya ibarat pelita ditengah umat.

Keempat, sama-sama lahir dan besar dari lingkungan pesantren. Gus Dur lahir dipesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. TGB lahir dan besar dipesantren Daarun Nahdatain, Pancor, Lombok Timur. Kita tahu pasentren menjadi pusat pengkajian dan penyebaran Islam utama Nusantara. Meski sering dianggap terbelakang dan tradisional pesantren mampu bertahan hingga hari ini. Kalau beberapa waktu lalu kita mendengar banyak sekolah negeri yang ditutup pemerintah karena kurang peminat–hemat saya belum pernah ada pesantren yang bangkrut karena kehabisan santri.

Kelima, sama-sama pernah belajar Mesir. Gus Dur dan TGB pernah mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar, Mesir. Bagi masyarakat Indonesia, termasuk orang Lombok – sering kali memberikan penghargaan yang tinggi kepada para sarjana alumni Mesir. Hal ini berbeda dengan sikap masyarakat terhadap sarjana yang bukan alumni Mesir. Dengan demikian mereka lebih mudah diterima oleh masyarakat. Ketika kuliah di Mesir, TGB juga pernah tercatat menjadi pengurus NU cabang istimewa Mesir.

Setelah menjelaskan lima persamaan diatas, kepada TGB saya juga mengatakan, “Jika tuan guru Bajang ditakdirkan oleh Allah menjadi gubernur NTB, saya ragu akan keberanian tuan guru melawan sesuatu yang tidak benar. Demi sebuah kebenaran Gus Dur bahkan tidak peduli akan citra dan reputasinya membela kelompok lemah dan marginal ?”.

Mendengar pertanyaan saya, TGB menjawab, “Saya salah seorang orang yang kagum dengan pemikiran-pemikiran Gus Dur. Saya juga salut dengan keberanian Gus Dur mengembalikan militer kebaraknya. Saya rasa itu butuh keberanian dan nyali yang besar” ujarnya. Jawabanya singkat, karena malam itu banyak sekali pemirsa dirumah yang ingin bertanya kepadanya. Tentu saja saya tidak puas dengan jawaban itu. Tapi saya maklum karena keterbatasan waktu. Namun yang pasti saya tidak hanya membutuhkan jawaban verbal semata. Saya dan 4 juta rakyat NTB tentu menginginkan jawaban kongkrit dalam bentuk perbuatan bukan sebatas ucapan.

Kalau ada persamaan tentu ada perbedaan. Bila Gus Dur pernah menjadi Presiden RI ke-6, TGB dipercaya memimpin 4 juta rakyat NTB. Keduanya bukan hanya sebagai ulama tapi juga dipercaya oleh ummat sebagai umara’. Mereka pasti bisa membedakan - menjadi ulama tentu tidak memiliki resiko politik ketimbang ketika menjadi umara. Saya juga mendegar, TGB juga sangat senang membaca buku-buku sastra sebagaimana Gus Dur. 

Kata seorang teman, menyamakan atau membanding-bandingkan TGB dengan Gus Dur tidak selalu proporsional. Kedua tokoh ini tentu memiliki kararkter dan pandangan hidup yang berbeda. Karya, kiprah dan pemikirannya pun sangat jauh berbeda. Dan masyarakat pun tentu jauh lebih cerdas ketimbang saya dalam melihat sosok TGB dan Gus Dur. Namun selaku tokoh ummat, saya melihat ada sisi yang sama diantara mereka tanpa menapikan perbedaan keduanya.

Gus Dur dan Maulana Syaikh Zainuddin Abdul Madjid

Pemimpin Perubahan 

Publik sudah tahu, Gus Dur adalah tokoh yang sangat kokoh dan konsisten dengan pendiriannya. Apa lagi itu menyangkut kelompok minoritas (kelompok yang dizalimi) – Gus Dur berani pasang badan untuk mereka. Demi membela kelompok yang dizalimi ia tanpa sadar ‘mengorbankan’ citranya dimata publik. Meski baginya citra itu tidak penting. Citra tak ubahnya hadiah pemberian orang ketika ia suka kepada kita. Bila sudah tidak suka, kemungkinan besar ia akan memintanya kembali.

Sebelum terpilih menjadi gubernur - sebagian orang menganggap TGB sebagai tokoh yang cerdas dan bersih. Bagi masyarakat yang memiliki paradigma kritis, latar belakang yang bersih dan cerdas merupakan modal yang cukup untuk mendorong sebuah perubahan. Tapi itu saja tidak cukup. Seorang pemimpin perubahan harus berani bersuara dan bersikap dalam membela kepentingan ummat. Meski pilihan itu dianggap nyeleneh dan menyimpang dari logika publik.

Pemimpin perubahan bukan pemimpin yang nyaman duduk dibelakang meja. Pemimpin perubahan bersedia dan ikhlas untuk berkorban demi rakyatnya. Tak peduli, rakyatnya beragama atau memiliki keyakinan yang berbeda dengannya. Perbedaan keyakinan keagamaan tidak mengurangi keberpihakannya terhadap mereka. Ia sadar ketika menjadi umara’ (pemerintah), ia sudah menjadi pemimpin bagi semua ummat.

Pemimpin yang lahir oleh pencitraan, ketika berkuasa ia akan selalu sibuk membela dan memperbaiki citranya. Baginya, citra adalah aset yang harus dipelihara dan dijaga sehingga rakyat tetap memilihnya. Dengan demikian ia akan sibuk berdandan untuk perbaikan citra bukan program. Dan yang diuntungkan tentu konsultan pengemasan bukan konsultan pemberdayaan ummat.

Seorang pemimpin perubahan tentu harus bersih dan cakap dalam membuat kebijakan. Dia juga harus berani mengorbankan reputasinya demi kesejahteraan rakyat. Keberanian itu harus dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan. Bukan sebatas wacana dalam khutbah-khutbah jum’at dan forum-forum pengajian. Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 135 disebutkan, “Wahai orang-orang yang beriman, tegakkan keadilan dan jadilah saksi-sanksi bagi Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri”.

Dalam surat An-Nisa itu ditegaskan, bahwa seorang pemimpin perubahan harus berani menegakkan keadilan secara universal. Dan tidak menutup kemungkinan upaya penegakan keadilan itu dapat mencidrai citra diri dan keluarganya. Itulah resiko seorang pemimpin. Almarhum Pramoedia Ananta Toer dalam novelnya, ‘Anak Semua Bangsa’ mengatakan, “Kau belum cukup belajar dan berlatih adil sampai adil itu menjadi watakmu”. Pertanyaannya, beranikah TGB mengorbankan citra dan nama baiknya untuk sebuah keadilan bagi masyarakat yang terzalimi di NTB ? So, kita lihat saja kebijakan-kebijakan TGB.



Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: