Oleh Yusuf Tantowi
*Alumni Ponpes Al-Mujahidin, Bagek Nyaka, Aikmel, Lombok Timur
SAYA masih ingat,
memasuki masa kampanye pemilihan gubernur NTB 2008 lalu–tim sukses Tuan Guru
Bajang (TGB) membuat acara yang bertajuk Bincang-Bincang Bersama Tuan Guru
Bajang di Lombok Tv. Acara ini dimaksudkan untuk memperkenalkan visi-misi
sekaligus mendekatkan duet Bajang-Badrul (BARU) kepada masyarakat NTB. Acara
itu dipandu oleh saudara Farid Tolomundu dan Martadinata.
Pada kesempatan tanya
jawab saya mengatakan, ada lima persamaan Tuan Guru Bajang dengan
KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pertama, sama-sama cucu seorang syekh. Gus Dur
cucu Hadratus Syekh KH.Hasyim Asya’ari, pendiri dan Rais Akbar Nahdlatul Ulama
(NU). TGB cucu Maulana Syekh TGH.Zaenudin Abdul Madjid, pendiri Nahdatul Wathan
(NW). Dalam darah Gus Dur dan TGB sama-sama mengalir darah orang alim.
Kedua, sama-sama lahir
dari keluarga Nahdloh (bangkit). Gus Dur lahir dari rahim keluarga Nahdlatul
Ulama (Kebangkitan Ulama). TGB lahir dan besar dalam lingkungan organisasi
Nahdatul Wathan (Kebangkitan Bangsa). Dan bila kita baca kebelakang, Maulana
Syekh pun sebenar kader NU. Ia bahkan pernah menjadi anggota konstituante
mewakili NU wilayah Sunda Kecil (Bali, Lombok, Sumbawa dan NTT). Ia kemudian
mendirikan NW untuk fokus pada dakwah dan pendidikan ketika NU menjadi partai
politik. Istilah NW pun dulunya pernah digunakan oleh tokoh-tokoh NU sebelum
resmi menjadi NU.
Ketiga, sama-sama
pernah menjadi ketua umum Ormas terbesar ditanah air. Gus Dur pernah menjabat
sebagai ketua tanfiz PBNU selama tiga periode. TGB kita tahu sedang menjabat
sebagai ketua tanfiz PBNW dua periode-sampai sekarang. NU dan NW, selain
memiliki pengikut yang sangat besar tapi juga telah berperan besar dalam
mengawal dan membangun bangsa Indonesia. Kehadirannya ikut mewarnai Islam
Nusantara. Bedanya, ada yang sudah berkiprah dari ditingkat nasional dan lokal.
Keduanya ibarat pelita ditengah umat.
Keempat, sama-sama
lahir dan besar dari lingkungan pesantren. Gus Dur lahir dipesantren Tebu
Ireng, Jombang, Jawa Timur. TGB lahir dan besar dipesantren Daarun Nahdatain,
Pancor, Lombok Timur. Kita tahu pasentren menjadi pusat pengkajian dan
penyebaran Islam utama Nusantara. Meski sering dianggap terbelakang dan
tradisional pesantren mampu bertahan hingga hari ini. Kalau beberapa waktu lalu
kita mendengar banyak sekolah negeri yang ditutup pemerintah karena kurang
peminat–hemat saya belum pernah ada pesantren yang bangkrut karena kehabisan
santri.
Kelima, sama-sama
pernah belajar Mesir. Gus Dur dan TGB pernah mengenyam pendidikan di
Universitas Al-Azhar, Mesir. Bagi masyarakat Indonesia, termasuk orang Lombok –
sering kali memberikan penghargaan yang tinggi kepada para sarjana alumni
Mesir. Hal ini berbeda dengan sikap masyarakat terhadap sarjana yang bukan
alumni Mesir. Dengan demikian mereka lebih mudah diterima oleh masyarakat. Ketika
kuliah di Mesir, TGB juga pernah tercatat menjadi pengurus NU cabang istimewa
Mesir.
Setelah menjelaskan
lima persamaan diatas, kepada TGB saya juga mengatakan, “Jika tuan guru Bajang
ditakdirkan oleh Allah menjadi gubernur NTB, saya ragu akan keberanian tuan
guru melawan sesuatu yang tidak benar. Demi sebuah kebenaran Gus Dur bahkan
tidak peduli akan citra dan reputasinya membela kelompok lemah dan marginal ?”.
Mendengar pertanyaan
saya, TGB menjawab, “Saya salah seorang orang yang kagum dengan pemikiran-pemikiran
Gus Dur. Saya juga salut dengan keberanian Gus Dur mengembalikan militer
kebaraknya. Saya rasa itu butuh keberanian dan nyali yang besar” ujarnya.
Jawabanya singkat, karena malam itu banyak sekali pemirsa dirumah yang ingin
bertanya kepadanya. Tentu saja saya tidak puas dengan jawaban itu. Tapi saya
maklum karena keterbatasan waktu. Namun yang pasti saya tidak hanya membutuhkan
jawaban verbal semata. Saya dan 4 juta rakyat NTB tentu menginginkan jawaban
kongkrit dalam bentuk perbuatan bukan sebatas ucapan.
Kalau ada persamaan
tentu ada perbedaan. Bila Gus Dur pernah menjadi Presiden RI ke-6, TGB
dipercaya memimpin 4 juta rakyat NTB. Keduanya bukan hanya sebagai ulama tapi
juga dipercaya oleh ummat sebagai umara’. Mereka pasti bisa membedakan -
menjadi ulama tentu tidak memiliki resiko politik ketimbang ketika menjadi
umara. Saya juga mendegar, TGB juga sangat senang membaca buku-buku sastra
sebagaimana Gus Dur.
Pemimpin Perubahan
Sebelum terpilih
menjadi gubernur - sebagian orang menganggap TGB sebagai tokoh yang cerdas dan
bersih. Bagi masyarakat yang memiliki paradigma kritis, latar belakang yang bersih
dan cerdas merupakan modal yang cukup untuk mendorong sebuah perubahan. Tapi
itu saja tidak cukup. Seorang pemimpin perubahan harus berani bersuara dan
bersikap dalam membela kepentingan ummat. Meski pilihan itu dianggap nyeleneh
dan menyimpang dari logika publik.
Pemimpin perubahan
bukan pemimpin yang nyaman duduk dibelakang meja. Pemimpin perubahan bersedia
dan ikhlas untuk berkorban demi rakyatnya. Tak peduli, rakyatnya beragama atau
memiliki keyakinan yang berbeda dengannya. Perbedaan keyakinan keagamaan tidak
mengurangi keberpihakannya terhadap mereka. Ia sadar ketika menjadi umara’
(pemerintah), ia sudah menjadi pemimpin bagi semua ummat.
Pemimpin yang lahir
oleh pencitraan, ketika berkuasa ia akan selalu sibuk membela dan memperbaiki
citranya. Baginya, citra adalah aset yang harus dipelihara dan dijaga sehingga
rakyat tetap memilihnya. Dengan demikian ia akan sibuk berdandan untuk
perbaikan citra bukan program. Dan yang diuntungkan tentu konsultan pengemasan
bukan konsultan pemberdayaan ummat.
Seorang pemimpin
perubahan tentu harus bersih dan cakap dalam membuat kebijakan. Dia juga harus
berani mengorbankan reputasinya demi kesejahteraan rakyat. Keberanian itu harus
dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan. Bukan sebatas wacana dalam khutbah-khutbah
jum’at dan forum-forum pengajian. Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 135
disebutkan, “Wahai orang-orang yang beriman, tegakkan keadilan dan jadilah
saksi-sanksi bagi Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri”.
Dalam surat An-Nisa itu
ditegaskan, bahwa seorang pemimpin perubahan harus berani menegakkan keadilan
secara universal. Dan tidak menutup kemungkinan upaya penegakan keadilan itu
dapat mencidrai citra diri dan keluarganya. Itulah resiko seorang pemimpin.
Almarhum Pramoedia Ananta Toer dalam novelnya, ‘Anak Semua Bangsa’ mengatakan,
“Kau belum cukup belajar dan berlatih adil sampai adil itu menjadi watakmu”.
Pertanyaannya, beranikah TGB mengorbankan citra dan nama baiknya untuk sebuah
keadilan bagi masyarakat yang terzalimi di NTB ? So, kita lihat saja
kebijakan-kebijakan TGB.
0 komentar: