Tuesday, March 27, 2018

MENYEGARKAN WACANA ISLAM KAUM PERGERAKAN



Jumat 27, April 2007 seorang Ayatollah dari Jombang mengkritik pedas Islam ala Arab di depan Mahasiswa Pergerakan  "Saya tidak suka yang 'Islam-Islam' itu. Ini Indonesia. NU menolak yang 'Islam-Islam' itu. Pada tahun 1934, NU telah mengeluarkan keputusan untuk menolak negara Islam," cetus mantan Presiden itu. Jangan mengira bahwa Ayatollah itu hanya ada di negeri Mullah, dia ada dimana-mana layaknya alat transportasi atau media massa. Ayatollah dari Jombang tidak berpenampilan seperti Ayatollah dari Qum, Tehran, atau Najf Irak. Ayatollah ini terlihat biasa saja, met of zonder, namun pemikirannya melampaui batas zamannya. Baiklah.

Saya seorang yang berangkat dari tradisi klasik Islam Indonesia yaitu pondok pesantren, namun saya lahir dari keluarga yang mempunyai dominasi kultur Islam modernis. Dulu cara berpikir saya sangat dipengaruhi oleh tradisi ushul fiqh dalam kitab al-Waraqat dan tradisi linguistiknya Ibnu Malik. Saya sama sekali tidak mengenal siapa itu Gus Dur, Cak Nur, Jalaluddin Rakhmat dll. Ayah saya hanya mengenalkan Buya Hamka, dan Kiayi dari pelosok Tasik yang mempunyai pemikiran modernis ala Muhammad Abduh yaitu Kiai Shihabuddin Muhsin penulis Kitab Mansyurah Diniyyah.

Nah, kita sebagai Mahasiswa Pergerakan sebenarnya apa tugas kita dalam dunia sosial kemasyarakatan dan konstelasi politik? Sering orang menyebut Mahasiswa itu agent of change, tapi ini bagi saya kata yang sangat menyebalkan. Seringkali kalimat ini hanya dijadikan bahan buat orasi saja di kampus-kampus. Menyebalkan dalam kata bukan berarti tidak menyukai subtansi kata. Oke. Semua saya kira sepakat bahwa Mahasiswa adalah agent of change, social control dan iron stock. Tapi saya tidak sepakat kalau tiga istilah ini hanya disematkan pada mahasiswa semata untuk saat ini.

Ada seorang Inggris W. Trotter mengatakan ‘orang Jerman itu bak serigala, sukanya main keroyokan. Kalau sendirian nyalinya nihil’. Perumpamaan yang sangat “hina” dilontarkan dari mulut si Inggris, tapi G.J. Renier seorang non-inggris menyanjung Inggris dengan istilah, ‘mungkin benar seorang Inggris garang di negeri-negeri jajahan, tapi tidak di kampung halaman’. Saat ini kita seperti apa, seperti Jerman atau Inggris? Atau lebih parah dari Jerman? Atau di antara ke duanya dengan alasan orang NU itu moderat? It’s Okay, No problem.

Mahasiswa Pergerakan istilah yang disematkan terhadap PMII. Saya tidak bisa melepaskan istilah “Islam” dalam kajian ini. Karena, itu adalah dasar kerangka berpikir kita untuk membawa amanah perubahan dan pembaharuan. Kita harus bisa membedakan antara al-Taghyir (perubahan) dan al-Tajdid (pembaharuan), kita sering memahami dua istilah ini mengandung makna yang sama, padahal jauh berbeda contoh Syiria sebelum digempur ISIS dan setelah di bom ISIS, itu perubahan atau pembaharuan? Saya kira sepakat perubahan. Atau Iran pra revolusi dan Iran pasca revolusi? Dan ini semua sepakat pembaharuan.

Saya memandang pembaharuan adalah perubahan yang positif. Terus apa arti Muhammadiyah sebagai Islam Pembaharu, jika NU ikut-ikutan menjadi pembaharu. Kita sering terjebak dalam simbol. Misal, saya sepakat dengan pandangan Ibn Taimiyah yang mengatakan bahwa pemimpin kafir yang adil lebih baik dari pada pemimpin Muslim yang dzalim, ini adalah sebuah pandangan yang sangat progresif dan transformatif. Saya juga sepakat dengan pendapat Abduh yang mengatakan Aku melihat ada Islam di Barat tapi tak ada Muslim, dan ada Muslim di Arab tapi tak ada Islam.

Kemudian, Islam yang sifatnya progresif seperti yang ada digenggaman PMII, itu harus ditradisikan dalam forum-forum diskusi ilmiah atau pendidikan formal di kampus-kampus, jangan dikembangkan melalui politik, karena bertolak belakang dengan idealisme dan realitas. Politik itu banyak kebohongan, sedangkan Islam itu bukan alat untuk membohongi seperti yang terjadi saat ini, yaitu gelombang polpulisme Islam dalam aksi 212 efek dominonya adalah kampanye SARA merambak ke daerah-daerah dan menjadi sebuah penyakit demokrasi, oleh karena itu Abduh selalu mengatakan A’udzubillahi min al-Siyasah (aku berlindung pada Allah dari politik).

Tugas kita adalah merubah pemikiran masyarakat dari pemikiran konservatif ke pemikiran modern, dari pemikiran feodal-aristokratik ke pemikiran demokratik, dari tradisionalitas ke progresifitas. Tradisi pemikiran NU sampai saat ini yang kita warisi adalah tradisi feodalistik, Mahbub seringkali mengkritik ini, menurutnya orang tua atau kiai-kiai itu anti kritik. Konsep tawadlu itu yang didahulukan, sehingga kritik itu di simpan di kantong belakang, istilahnya “nggah, nggih, iya, iya” atau manut (tawadlu) itu dikantong depan. Hal ini sangat mustahil dipakai lagi ketika PMII itu ingin menjadi besar.

Nahj al-Balaghah “Sebuah Pesan Politik Modern”

Lagi-lagi saya tertarik membahas teks untuk direalisasikan dalam konteks. Baru kali ini, ada seorang Tokoh mengatakan Indonesia bubar tahun 2030 dengan referensi novel fiktif bukan hasil dari riset ilmiah. Saya kira penting membahas Nahj al-Balaghah, kenapa? Supaya Indonesia tak bubar tahun 2030. Sebenarnya bubar atau tidak bubar tergantung manusia Indonesia itu sendiri, dan tergantung elit pemerintah sendiri. Jika pemerintahnya mirip orde baru ‘otoriter’, yang dimaksud adalah otoriter tanpa batas. Bisa jadi negara itu revolusi, reformasi, bubar, atau menjadi negara dependen dalam lingkup penjajahan modern. Politik membunuh, otoriter, anti demokrasi, dibahasakan dalam al-Qur’an sebagai Politik Yudzabbihuuna Abna’akum.

Seorang penulis Kristiani Lebanon dan juga seorang Romo Katholik bernama George Jordac menulis riwayat Sayyidina Ali dengan tulisan yang sangat indah dengan judul Shaut al-‘Adalah al-Insaniyah atau The voice of human justice. Imam Ali menurutnya adalah suara keadilan insani, bukan lagi islami. Begitu juga seorang penyanyi Kristen terkenal Lebanon bernama Julia Boutros menulis syair lagu berjudul “’Aaba Majdaka (Muqawamah), dan Ahibba’i” untuk mengapresiasi Gerakan Muqawamah (Perlawanan) Hizbullah Lebanon yang dipimpin oleh Syed Hassan Nasrollah karena telah berjuang keras mealawan ketidakadilan Zionist Israel di Tanah Lebanon dan negara-negara tetangga seperti Syiria, Irak, dan Palestina.

Jika di negeri Timur Tengah sana mereka memperjuangkan tanah kelahirannya, mengambil hak nasionalismenya lantas tugas kita apa? Apakah kita akan terprovokasi oleh konflik di sana, terprovokasi oleh ISIS yang jelas-jelas pemberontak, atau terprovokasi oleh anasir Ikhwanul Muslimin di Indonesia, seperti PKS dan organisasi Islam Transnasional lainnya Hizbut Tahrir, Thaliban, Jama’ah Islamiyah dll? Atau kita terlena ingin menegakkan Syari’at Islam (Syari’ahisasi) seperti di Aceh, yang ternyata dilansir dalam kompas.com pengakuan seorang mucikari bahwa yang paling banyak memesan pantek, jablay, atau dongdot itu adalah pejabat Aceh?

Semua problem adalah tanggung jawab kita bersama. Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya. Memperluas syariat Islam dari wilayah-wilayah yang partikular kepada wilayah publik, itu sudah bisa dikategorikan ke dalam Islam Siyasi yang tertuju pada Syari’ahisasi.

Meninjau Nahj al-Balaghah, sebuah kitab yang jarang sekali ditemukan di kalangan Islam Sunni, kitab ini familiar di kalangan Syi’ah. Saya mengenal kitab ini ketika sekian lama belajar bersama Dr. Jalaluddin Rakhmat. Tapi sebelumnya di pesantren saya sudah membaca kitab al-Minah al-Saniyah ‘ala Washiyyat al-Mushthofa li ‘Aliyyi ibn Abi Thalib, kitab ini adalah kitab wasiyat Nabi Muhammad kepada Sayyidina Ali Kw, yang ditulis oleh Ulama Sunni. Sedangkan Nahj al-Balaghah adalah kitab yang banyak membahas  riwayat Sayyidina Ali dan wasiat kepada para Sahabatnya, terutama yang akan saya bahas adalah Surat dari Imam Ali kepada Malik ibn Harits al-Asytar (Gubernur Mesir).

Surat ini adalah manual for the rules, panduan kekuasaan. Imam Ali dikenal sebagai seorang peletak Ilmu Nahwu sehingga ia menguasai sastra Arab, julukan yang melekat padanya adalah “Babul ‘ilmi”, oleh karena itu surat ini bukan surat biasa, melainkan surat yang sangat indah “monument of belles-lettres”, monumen keindahan literer. Surat ini mengandung dua level, ketinggian moral (pesan moralistik yang sangat bijak), dan ketinggian literer (keindahan ilmu dan sastra yang sangat menyentuh).

Dalam pembukaan surat itu Imam Ali menulis dengan kalimat sangat indah ditujukan kepada Malik al-Asytar;
"Wahai Malik al-Asytar, aku mengirim kamu ke sebuah negeri yang pernah mengalami silih-bergantinya keadilan dan tirani. Orang-orang di negeri itu akan menilaimu sebagaimana engkau menilai para penguasa sebelum kamu. Mereka juga akan berpendapat mengenai dirimu sebagaimana engkau berpendapat mengenai para penguasa itu”.

Kalimat pembuka itu seakan-akan mengingatkan al-Asytar kepada negeri Mesir yang mempunyai peradabat yang sangat panjang. Negara yang pernah dibawah kekuasaan Romawi dalam kurun waktu yang cukup lama dan juga secara religious berada di bawah kekuasaan Gereja yang berpusat di Bezantium. Negeri yang pernah mengalami tirani dan penindasan cukup lama dikarenakan perbedaan pemahaman antara Kristen di pusat dan di Alexandria Mesir. Sehingga dijustifikasi sebagai aliran Kristen Heterodox dan menyimpang.

Surat Imam Ali tersebut mengingatkan: “jangan mengulangi ketidakadilan kembali, meskipun berbeda paham, engkau harus mempraktekan jenis kekuasaan yang lain, yang adil dan diterima masyarakat”. Ini pesan yang sangat mulia.

Yang paling ‘menusuk hati’ dalah kalimat berikut ini; “wa laa takuunanna ‘alaihim sabu’an dariyan taghtanimu aklahum.” Janganlah engkau menjadi binatang buas yang memangsa rakyatnya. Dalam nomeklatur politik modern, Imam Ali tidak menghendaki al-Asytar dan kekuasannyaseperti monster Leviathan yang menakutkan. Hal inilah yang dalam pandangan al-Qur’an seperti Fir’aun yaitu politik Yudzabbihuuna Abna’akum.

Imam Ali memberikan alasan yang sangat humanis kenapa penguasa tidak boleh seperti hewan buas yang menerkam rakyatnya sendiri; “Karena manusia terbagi ke dalam dua bagian, mereka yang merupakan saudaramu karena kesamaan agama dan mereka yang menjadi saudaramu karena sesama manusia”. Kalimat ini menjadi Quotes besar tertulis di ruang rapat PP. GP. Ansor dengan nada yang mirip; “Dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan”.

Nasihat Imam Ali selanjutnya; “wa laa tusri’anna ilaa badiratin wajadta minhaa manduuhatan”. Jangan terburu-buru mengambil kebijakan tertentu jika ada alternatif yang lebih baik. Bangsa Arab memang tidak mempunyai pengalaman bernegara yang baik kecuali Arab perbatasan borders of civilization yaitu Irak dan Siria. Di masa jahiliyah tidak ada judiciousness (pertimbangan yang matang) dalam menentukan perkara. Imam Ali menawarkan etos yang sangat menarik dalam state formation ini.

Selanjutnya, Indonesia bubar jika pengaturan pajak tidak jelas. Menurut Imam Ali; “wa tafaqqad amra al-kharaji bi-maa yushlihu ahlahu”. Berhati-hatilah dalam persoalan pajak sehingga pajak itu membawa kebaikan bagi para pembayarnya. Sebab, li anna al-naasa ‘iyalun ‘ala al-kharaji wa ahlihi, rakyat di sebuah negara tergantung pada para pembayar pajak. Nasihat ini mengingatkan pada filosofi modern tentang pajak, no taxation without representation, pajak tak bisa dibayar secara gratis begitu saja melainkan harus ada timbal baliknya untuk pembayar pajak, dalam istilah Imam Ali adalah al-Shala atau public goods (kemaslahatan).

Kesadaran yang mengagumkan ketika Imam Ali mengingatkan kita tentang wajibnya membayar pajak dan mengelola pajak. Kata Imam Ali; “wa man thalaba al-kharaja bighairi ‘imaaratin akhraba al-bilada, wa ahlaka al-‘ibad”. Penguasa yang hanya peduli dengan urusan naik pajak belaka, tanpa membangun, maka dia akan pelan-pelan menghancurkan negara dan rakyat sekaligus.

Yang sangat menarik adalah nasihat Imam Ali tentang kesadaran stratifikasi sosial atau kesadaran kelas sosial. Dalam marxism kelas sosial selalu diletakan sebagai objek yang terus menerus mengalami konflik vertikal. Namun, Imam Ali menekankan terhadap harmonisasi kelompok bukan konflik sosial, lebih tepatnya Imam Ali mengedepankan teori fungsionalisme struktural dalam pandangan Talcott Parsons. Kata Imam Ali; “wa’lam anna al-ra’iyyata thabaqaatun laa yashluhu ba’dluhaa illa biba’dlin wa laa ghinaa biba’dlihaa ‘an ba’dlin.” Ketahuilah, rakyat itu terdiri dari berbagai tingkatan yang masing-masing tidak bisa sempurna kecuali dengan bekerjasama dengan tingkatan yang lain dan masing-masing saling membutuhkan.

Imam Ali juga membahas kelas pedangan yang saat ini mungkin kita sebut sebagai kapitalisme. Pesan penting bagi al-Asytar adalah memberikan perhatian khusus untuk kelas pedangang ini, karena; “mawadda al-manaafi’i wa asbab al-maraafiqi wa jullabuhaa min al-mabaa’idi wal mathaarihi”. Kaum pedagang adalah sumber kekayaan (devisa?) negeri. Dan merekalah yang membawa barang-barang dagangan dari negeri-negeri jauh yang tak bisa dijangkau oleh semua orang.

Perhatikan penggalan yang menakjubkan dari Imam Ali ini; “fa innahum silmun laa tukhaafu baa’iqatuhu wa shulhun laa tukhsyaa ghaa’ilatuhu”. Mereka, kaum pedagang itu adalah orang-orang yang damai dan tak ada hal yang perlu dikhawatirkan dari mereka. Kecuali, mungkin, praktek-praktek penipuan dalam perdagangan mereka. Pandangan ini ratusan tahun lebih jauh dari pada pandangan Montesquieu yang tertulis dalam magnum opusnya The Spirit of Law, ia mengatakan perdagangan adalah sumber perdamaian. Dua bangsa yang terikat dalam negosiasi perdagangan, mereka akan saling tergantung satu terhadap yang lain. Pandangan Montesquieu ini hampir sama persis dengan pandangan Imam Ali perdagangan adalah sumber perdamaian, baik domestik (Imam Ali) atau antar negara (Montesquieu).

Surat wasiyat politik Imam Ali kepada Malik al-Asytar ini mengandung banyak kesadaran politik yang beretika, pertama pentingnya state formation, pentingnya membangun sebuah negara, dan membangun ikatan sosial supra-etnik atau multi etnik dalam arti lintas etnis, suku, budaya yang bisa menopang lahirnya sosial cultural ventures, penjelajahan menuju sebuah peradaban.

Oleh karena itu, kita bukan seorang yang mengusung ide non-state seperti Ikhawanul Muslimin dll, tapi kita dalah sebuah gerakan yang tetap mentradisikan dan menjaga nation state dengan kesepakatan-kesepakatan universal yang sudah final dalam mufakkat para pendiri bangsa.

Ciputat, 27 Maret 2018.

Rikal Dikri Muthahhari

*Kajian Sosial Politik PMII Universitas Pamulang








Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: