Jumat 27, April 2007
seorang Ayatollah dari Jombang mengkritik pedas Islam ala Arab di depan
Mahasiswa Pergerakan "Saya tidak
suka yang 'Islam-Islam' itu. Ini Indonesia. NU menolak yang 'Islam-Islam' itu.
Pada tahun 1934, NU telah mengeluarkan keputusan untuk menolak negara Islam,"
cetus mantan Presiden itu. Jangan mengira bahwa Ayatollah itu hanya ada di
negeri Mullah, dia ada dimana-mana layaknya alat transportasi atau media massa.
Ayatollah dari Jombang tidak berpenampilan seperti Ayatollah dari Qum, Tehran,
atau Najf Irak. Ayatollah ini terlihat biasa saja, met of zonder, namun pemikirannya melampaui batas zamannya.
Baiklah.
Saya seorang yang
berangkat dari tradisi klasik Islam Indonesia yaitu pondok pesantren, namun
saya lahir dari keluarga yang mempunyai dominasi kultur Islam modernis. Dulu
cara berpikir saya sangat dipengaruhi oleh tradisi ushul fiqh dalam kitab al-Waraqat
dan tradisi linguistiknya Ibnu Malik. Saya sama sekali tidak mengenal siapa itu
Gus Dur, Cak Nur, Jalaluddin Rakhmat dll. Ayah saya hanya mengenalkan Buya
Hamka, dan Kiayi dari pelosok Tasik yang mempunyai pemikiran modernis ala
Muhammad Abduh yaitu Kiai Shihabuddin Muhsin penulis Kitab Mansyurah Diniyyah.
Nah, kita sebagai
Mahasiswa Pergerakan sebenarnya apa tugas kita dalam dunia sosial
kemasyarakatan dan konstelasi politik? Sering orang menyebut Mahasiswa itu agent of change, tapi ini bagi saya kata
yang sangat menyebalkan. Seringkali kalimat ini hanya dijadikan bahan buat
orasi saja di kampus-kampus. Menyebalkan dalam kata bukan berarti tidak
menyukai subtansi kata. Oke. Semua saya kira sepakat bahwa Mahasiswa adalah agent of change, social control dan iron stock. Tapi saya tidak sepakat
kalau tiga istilah ini hanya disematkan pada mahasiswa semata untuk saat ini.
Ada seorang Inggris W.
Trotter mengatakan ‘orang Jerman itu bak serigala, sukanya main keroyokan.
Kalau sendirian nyalinya nihil’. Perumpamaan yang sangat “hina” dilontarkan
dari mulut si Inggris, tapi G.J. Renier seorang non-inggris menyanjung Inggris
dengan istilah, ‘mungkin benar seorang Inggris garang di negeri-negeri jajahan,
tapi tidak di kampung halaman’. Saat ini kita seperti apa, seperti Jerman atau
Inggris? Atau lebih parah dari Jerman? Atau di antara ke duanya dengan alasan
orang NU itu moderat? It’s Okay, No problem.
Mahasiswa Pergerakan
istilah yang disematkan terhadap PMII. Saya tidak bisa melepaskan istilah
“Islam” dalam kajian ini. Karena, itu adalah dasar kerangka berpikir kita untuk
membawa amanah perubahan dan pembaharuan. Kita harus bisa membedakan antara al-Taghyir (perubahan) dan al-Tajdid (pembaharuan), kita sering
memahami dua istilah ini mengandung makna yang sama, padahal jauh berbeda
contoh Syiria sebelum digempur ISIS dan setelah di bom ISIS, itu perubahan atau
pembaharuan? Saya kira sepakat perubahan. Atau Iran pra revolusi dan Iran pasca
revolusi? Dan ini semua sepakat pembaharuan.
Saya memandang
pembaharuan adalah perubahan yang positif. Terus apa arti Muhammadiyah sebagai
Islam Pembaharu, jika NU ikut-ikutan menjadi pembaharu. Kita sering terjebak
dalam simbol. Misal, saya sepakat dengan pandangan Ibn Taimiyah yang mengatakan
bahwa pemimpin kafir yang adil lebih baik dari pada pemimpin Muslim yang
dzalim, ini adalah sebuah pandangan yang sangat progresif dan transformatif.
Saya juga sepakat dengan pendapat Abduh yang mengatakan Aku melihat ada Islam
di Barat tapi tak ada Muslim, dan ada Muslim di Arab tapi tak ada Islam.
Kemudian, Islam yang
sifatnya progresif seperti yang ada digenggaman PMII, itu harus ditradisikan
dalam forum-forum diskusi ilmiah atau pendidikan formal di kampus-kampus,
jangan dikembangkan melalui politik, karena bertolak belakang dengan idealisme
dan realitas. Politik itu banyak kebohongan, sedangkan Islam itu bukan alat
untuk membohongi seperti yang terjadi saat ini, yaitu gelombang polpulisme
Islam dalam aksi 212 efek dominonya adalah kampanye SARA merambak ke
daerah-daerah dan menjadi sebuah penyakit demokrasi, oleh karena itu Abduh
selalu mengatakan A’udzubillahi min
al-Siyasah (aku berlindung pada Allah dari politik).
Tugas kita adalah
merubah pemikiran masyarakat dari pemikiran konservatif ke pemikiran modern,
dari pemikiran feodal-aristokratik ke pemikiran demokratik, dari
tradisionalitas ke progresifitas. Tradisi pemikiran NU sampai saat ini yang
kita warisi adalah tradisi feodalistik, Mahbub seringkali mengkritik ini,
menurutnya orang tua atau kiai-kiai itu anti kritik. Konsep tawadlu itu yang
didahulukan, sehingga kritik itu di simpan di kantong belakang, istilahnya “nggah, nggih, iya, iya” atau manut (tawadlu) itu dikantong depan. Hal ini
sangat mustahil dipakai lagi ketika PMII itu ingin menjadi besar.
Nahj al-Balaghah
“Sebuah Pesan Politik Modern”
Lagi-lagi saya tertarik
membahas teks untuk direalisasikan dalam konteks. Baru kali ini, ada seorang
Tokoh mengatakan Indonesia bubar tahun 2030 dengan referensi novel fiktif bukan
hasil dari riset ilmiah. Saya kira penting membahas Nahj al-Balaghah, kenapa? Supaya Indonesia tak bubar tahun 2030.
Sebenarnya bubar atau tidak bubar tergantung manusia Indonesia itu sendiri, dan
tergantung elit pemerintah sendiri. Jika pemerintahnya mirip orde baru
‘otoriter’, yang dimaksud adalah otoriter tanpa batas. Bisa jadi negara itu revolusi,
reformasi, bubar, atau menjadi negara dependen dalam lingkup penjajahan modern.
Politik membunuh, otoriter, anti demokrasi, dibahasakan dalam al-Qur’an sebagai
Politik Yudzabbihuuna Abna’akum.
Seorang penulis Kristiani
Lebanon dan juga seorang Romo Katholik bernama George Jordac menulis riwayat
Sayyidina Ali dengan tulisan yang sangat indah dengan judul Shaut al-‘Adalah al-Insaniyah atau The voice of human justice. Imam Ali
menurutnya adalah suara keadilan insani, bukan lagi islami. Begitu juga seorang
penyanyi Kristen terkenal Lebanon bernama Julia Boutros menulis syair lagu
berjudul “’Aaba Majdaka (Muqawamah), dan Ahibba’i” untuk mengapresiasi Gerakan Muqawamah (Perlawanan)
Hizbullah Lebanon yang dipimpin oleh Syed Hassan Nasrollah karena telah
berjuang keras mealawan ketidakadilan Zionist Israel di Tanah Lebanon dan
negara-negara tetangga seperti Syiria, Irak, dan Palestina.
Jika di negeri Timur
Tengah sana mereka memperjuangkan tanah kelahirannya, mengambil hak
nasionalismenya lantas tugas kita apa? Apakah kita akan terprovokasi oleh
konflik di sana, terprovokasi oleh ISIS yang jelas-jelas pemberontak, atau
terprovokasi oleh anasir Ikhwanul Muslimin di Indonesia, seperti PKS dan
organisasi Islam Transnasional lainnya Hizbut Tahrir, Thaliban, Jama’ah
Islamiyah dll? Atau kita terlena ingin menegakkan Syari’at Islam
(Syari’ahisasi) seperti di Aceh, yang ternyata dilansir dalam kompas.com
pengakuan seorang mucikari bahwa yang paling banyak memesan pantek, jablay,
atau dongdot itu adalah pejabat Aceh?
Semua problem adalah
tanggung jawab kita bersama. Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan
kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan,
qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi
lokal partikular Islam di Arab. Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal
yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian
yang memenuhi standar kepantasan umum (public
decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai
perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya. Memperluas syariat Islam
dari wilayah-wilayah yang partikular kepada wilayah publik, itu sudah bisa dikategorikan
ke dalam Islam Siyasi yang tertuju pada Syari’ahisasi.
Meninjau Nahj al-Balaghah, sebuah kitab yang
jarang sekali ditemukan di kalangan Islam Sunni, kitab ini familiar di kalangan
Syi’ah. Saya mengenal kitab ini ketika sekian lama belajar bersama Dr.
Jalaluddin Rakhmat. Tapi sebelumnya di pesantren saya sudah membaca kitab al-Minah al-Saniyah ‘ala Washiyyat
al-Mushthofa li ‘Aliyyi ibn Abi Thalib, kitab ini adalah kitab wasiyat Nabi
Muhammad kepada Sayyidina Ali Kw, yang ditulis oleh Ulama Sunni. Sedangkan Nahj al-Balaghah adalah kitab yang
banyak membahas riwayat Sayyidina Ali
dan wasiat kepada para Sahabatnya, terutama yang akan saya bahas adalah Surat
dari Imam Ali kepada Malik ibn Harits al-Asytar (Gubernur Mesir).
Surat ini adalah manual for the rules, panduan kekuasaan.
Imam Ali dikenal sebagai seorang peletak Ilmu Nahwu sehingga ia menguasai
sastra Arab, julukan yang melekat padanya adalah “Babul ‘ilmi”, oleh karena itu surat ini bukan surat biasa,
melainkan surat yang sangat indah “monument
of belles-lettres”, monumen keindahan literer. Surat ini mengandung dua
level, ketinggian moral (pesan moralistik yang sangat bijak), dan ketinggian literer
(keindahan ilmu dan sastra yang sangat menyentuh).
Dalam pembukaan surat
itu Imam Ali menulis dengan kalimat sangat indah ditujukan kepada Malik
al-Asytar;
"Wahai Malik al-Asytar, aku mengirim kamu ke sebuah negeri yang pernah mengalami silih-bergantinya keadilan dan tirani. Orang-orang di negeri itu akan menilaimu sebagaimana engkau menilai para penguasa sebelum kamu. Mereka juga akan berpendapat mengenai dirimu sebagaimana engkau berpendapat mengenai para penguasa itu”.
Kalimat pembuka itu
seakan-akan mengingatkan al-Asytar kepada negeri Mesir yang mempunyai peradabat
yang sangat panjang. Negara yang pernah dibawah kekuasaan Romawi dalam kurun
waktu yang cukup lama dan juga secara religious berada di bawah kekuasaan
Gereja yang berpusat di Bezantium. Negeri yang pernah mengalami tirani dan
penindasan cukup lama dikarenakan perbedaan pemahaman antara Kristen di pusat
dan di Alexandria Mesir. Sehingga dijustifikasi sebagai aliran Kristen Heterodox dan menyimpang.
Surat Imam Ali tersebut
mengingatkan: “jangan mengulangi
ketidakadilan kembali, meskipun berbeda paham, engkau harus mempraktekan jenis
kekuasaan yang lain, yang adil dan diterima masyarakat”. Ini pesan yang
sangat mulia.
Yang paling ‘menusuk
hati’ dalah kalimat berikut ini; “wa laa
takuunanna ‘alaihim sabu’an dariyan taghtanimu aklahum.” Janganlah engkau
menjadi binatang buas yang memangsa rakyatnya. Dalam nomeklatur politik modern,
Imam Ali tidak menghendaki al-Asytar dan kekuasannyaseperti monster Leviathan
yang menakutkan. Hal inilah yang dalam pandangan al-Qur’an seperti Fir’aun
yaitu politik Yudzabbihuuna Abna’akum.
Imam Ali memberikan
alasan yang sangat humanis kenapa penguasa tidak boleh seperti hewan buas yang
menerkam rakyatnya sendiri; “Karena
manusia terbagi ke dalam dua bagian, mereka yang merupakan saudaramu karena
kesamaan agama dan mereka yang menjadi saudaramu karena sesama manusia”.
Kalimat ini menjadi Quotes besar tertulis di ruang rapat PP. GP. Ansor dengan
nada yang mirip; “Dia yang bukan
saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan”.
Nasihat Imam Ali
selanjutnya; “wa laa tusri’anna ilaa
badiratin wajadta minhaa manduuhatan”. Jangan terburu-buru mengambil
kebijakan tertentu jika ada alternatif yang lebih baik. Bangsa Arab memang
tidak mempunyai pengalaman bernegara yang baik kecuali Arab perbatasan borders of civilization yaitu Irak dan
Siria. Di masa jahiliyah tidak ada judiciousness
(pertimbangan yang matang) dalam menentukan perkara. Imam Ali menawarkan etos
yang sangat menarik dalam state formation
ini.
Selanjutnya, Indonesia
bubar jika pengaturan pajak tidak jelas. Menurut Imam Ali; “wa tafaqqad amra al-kharaji bi-maa yushlihu ahlahu”.
Berhati-hatilah dalam persoalan pajak sehingga pajak itu membawa kebaikan bagi
para pembayarnya. Sebab, li anna al-naasa
‘iyalun ‘ala al-kharaji wa ahlihi, rakyat di sebuah negara tergantung pada
para pembayar pajak. Nasihat ini mengingatkan pada filosofi modern tentang
pajak, no taxation without
representation, pajak tak bisa dibayar secara gratis begitu saja melainkan
harus ada timbal baliknya untuk pembayar pajak, dalam istilah Imam Ali adalah al-Shala atau public goods (kemaslahatan).
Kesadaran yang
mengagumkan ketika Imam Ali mengingatkan kita tentang wajibnya membayar pajak
dan mengelola pajak. Kata Imam Ali; “wa man thalaba al-kharaja bighairi
‘imaaratin akhraba al-bilada, wa ahlaka al-‘ibad”. Penguasa yang hanya peduli
dengan urusan naik pajak belaka, tanpa membangun, maka dia akan pelan-pelan
menghancurkan negara dan rakyat sekaligus.
Yang sangat menarik
adalah nasihat Imam Ali tentang kesadaran stratifikasi sosial atau kesadaran
kelas sosial. Dalam marxism kelas sosial selalu diletakan sebagai objek yang
terus menerus mengalami konflik vertikal. Namun, Imam Ali menekankan terhadap
harmonisasi kelompok bukan konflik sosial, lebih tepatnya Imam Ali
mengedepankan teori fungsionalisme struktural dalam pandangan Talcott Parsons.
Kata Imam Ali; “wa’lam anna al-ra’iyyata
thabaqaatun laa yashluhu ba’dluhaa illa biba’dlin wa laa ghinaa biba’dlihaa ‘an
ba’dlin.” Ketahuilah, rakyat itu terdiri dari berbagai tingkatan yang
masing-masing tidak bisa sempurna kecuali dengan bekerjasama dengan tingkatan
yang lain dan masing-masing saling membutuhkan.
Imam Ali juga membahas
kelas pedangan yang saat ini mungkin kita sebut sebagai kapitalisme. Pesan
penting bagi al-Asytar adalah memberikan perhatian khusus untuk kelas pedangang
ini, karena; “mawadda al-manaafi’i wa
asbab al-maraafiqi wa jullabuhaa min al-mabaa’idi wal mathaarihi”. Kaum
pedagang adalah sumber kekayaan (devisa?) negeri. Dan merekalah yang membawa
barang-barang dagangan dari negeri-negeri jauh yang tak bisa dijangkau oleh
semua orang.
Perhatikan penggalan
yang menakjubkan dari Imam Ali ini; “fa
innahum silmun laa tukhaafu baa’iqatuhu wa shulhun laa tukhsyaa ghaa’ilatuhu”.
Mereka, kaum pedagang itu adalah orang-orang yang damai dan tak ada hal yang
perlu dikhawatirkan dari mereka. Kecuali, mungkin, praktek-praktek penipuan
dalam perdagangan mereka. Pandangan ini ratusan tahun lebih jauh dari pada
pandangan Montesquieu yang tertulis dalam magnum opusnya The Spirit of Law, ia mengatakan perdagangan adalah sumber
perdamaian. Dua bangsa yang terikat dalam negosiasi perdagangan, mereka akan
saling tergantung satu terhadap yang lain. Pandangan Montesquieu ini hampir sama
persis dengan pandangan Imam Ali perdagangan adalah sumber perdamaian, baik
domestik (Imam Ali) atau antar negara (Montesquieu).
Surat wasiyat politik
Imam Ali kepada Malik al-Asytar ini mengandung banyak kesadaran politik yang
beretika, pertama pentingnya state
formation, pentingnya membangun sebuah negara, dan membangun ikatan sosial
supra-etnik atau multi etnik dalam arti lintas etnis, suku, budaya yang bisa
menopang lahirnya sosial cultural
ventures, penjelajahan menuju sebuah peradaban.
Oleh karena itu, kita
bukan seorang yang mengusung ide non-state
seperti Ikhawanul Muslimin dll, tapi kita dalah sebuah gerakan yang tetap
mentradisikan dan menjaga nation state dengan
kesepakatan-kesepakatan universal yang sudah final dalam mufakkat para pendiri
bangsa.
Ciputat, 27 Maret 2018.
Rikal Dikri Muthahhari
*Kajian Sosial Politik PMII Universitas Pamulang
0 komentar: