Wednesday, April 4, 2018

KRITIK SASTRA PUISI IBU SUKMA



A'udzubika min al-Siyasah; Aku berlindung padamu  dari godaan politik.

Tulisan ini untuk menyikapi kontroversi Puisi Ibu Indonesia yang ditulis oleh Ibu Sukmawati Soekarnoputri, saya diminta oleh ba'dl al-ikhwan (sebagian kawan) untuk menyikapinya menggunakan analisis Sastra Arab. Baik!.

Puisi ini menggemparkan seluruh netizen dari pelosok negeri sampai pusat Betawi. Dari mulai kritikus sastra hingga kritikus kelas abal-abal yang suka komentar norak di media sosial, termasuk saya. Mungkin, haha....

Puisi ini menuai kecaman dari FPI hingga MUI, dari politisi hingga warung kopi. Dahsyat sekali publik Indonesia saat ini, menyamakan antara kritik dan mencabik. Mencaci tanpa solusi, hingga tuntutan masuk bui, demo berkeping-keping hingga lupa siapa yang melipat dana umroh dan haji.

Puisi ini harus diserahkan ke pakar puisi atau sastra, tidak bisa puisi dihakimi oleh politisi. Kita serahkan pada ahlinya, entah siapa itu ada Fatin Hamama, Zawawi Imron, Gus Mus, atau Acep Zamzam Noor, dll.

Saya mencoba menganalisis dua bait puisi kontroversial itu.

Pertama, mungkin yang dimaksud adalah konde dan cadar, coba perhatikan penggalan bait ini;

" Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah. Lebih cantik dari cadar dirimu"

Dalam bait ini, sebenarnya adalah kalimat Majaz yang ditegaskan. Maksudnya, kalimat Syariat Islam yang dimaksud adalah cadar. Yang saya pahami, cadar itu bukan Syariat Islam. Makanya kenapa ada kata ganti (dhomir) dalam kalimat "cadar dirimu", dlomir (mu) ini ditunjukkan ke siapa? Sudah pasti untuk sebagian ummat Islam yang beranggapan cadar itu adalah Syariat Islam.

Kedua, yang dimaksud adzan lebih indah dari suara kidung. Coba perhatikan penggalan bait ini;

"Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok. Lebih merdu dari alunan adzan mu"

Lagi-lagi ini bicara kalimat Majaz, dalam jenis Majaz ada istilah Majaz fil Murad atau Majaz al-Lughawi. Majaz ini banyak juga macamnya. Namun, yang dimaksud dalam penggalan itu adalah Kalimatul Jam'i, Yuriidu bihi al-Majmu' (Kalimat Jamak namun yang dimaksud hanya sebagian saja). Mudah-mudahan penafsiran saya jauh dari kata politis.

Kalimat "adzan" bagi saya adalah kalimat mufrad yang bersifat jamak, kenapa? Karena dalam adzan banyak sekali kalimat yang diucapkan tapi lebih dominan kalimat Takbir, karena diawali dan diakhiri dengan Takbir.

Bisa jadi yang dimaksud Ibu Sukmawati adalah "Takbir"nya itu, bukan adzan secara keseluruhan. Oleh karena itu menggunakan kata pengganti lagi (mu) dhomirnya lagi-lagi untuk siapa. Inilah yang disebut Majaz al-Lughawi, Kalimatul Jam'i Yuriidu bihi al-Majmu'.

Puisi itu biasanya disesuaikan dengan konteks sosial dimana puisi harus ditulis. Puisi juga merupakan sebuah kritik sosial. Ya, menurut saya Ibu Sukmawati sedang mengkritik sebagian ummat Islam yang sering menggunakan kalimat Takbir untuk kepentingan politik, benar apa yang dikatakan Pak Haedar Nashir bahwa "Takbir" jangan dipolitisasi.

Terakhir, kita tidak bisa dengan spontan mencaci apalagi sampai keluar bahasa kotor dari lisan seorang mukmin, jangan bakar taman surgamu oleh lisanmu sendiri. Dan bagi saya Puisi tidak bisa dihakimi oleh politisi, kalau Puisi dihakimi oleh politisi atau yang berkepentingan bisa jadi seperti puisi-puisi Abu Nawas yang dihakimi oleh Harun al-Rasyid (seorang politisi), yang berkali-kali ingin menghukum mati Abu Nawas.

Tasikmalaya, 5 April 2018.
Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

1 comment: