Monday, April 23, 2018

IMAM ALI DALAM PUISI RUMI

IMAM ALI DALAM PUISI RUMI
Jalaluddin Rumi

Telah pun ada Ali ketika alam ini mula dibentuk 
Telah pun ada Ali ketika bumi ini dilakar dan masa pun bermula 
Itulah Ali penakluk yang telah mencabut pintu gerbang benteng Khaibar dengan hanya satu pukulan 

Bila saja ku renungi, ku perhatikan ufuk-ufuk alam 
Yakinlah aku bahawa Ali berada pada segala maujudat 
Orang yang wujudnya sejati, 
Ketiadaannya melenyapkan alam maujud, itulah dia Ali 

Sessungguhnya rahsia dua alam zahir dan batin yang tersingkap pada Syamz Tabrez, itulah dia Ali 

(halaman 16, dipetik dari buku Ghazliyyat Syams Tabrezi) 

Nota : Jalaluddin ar-Rumi ialah seorang ahli sufi Farsi (Iran).

Saturday, April 21, 2018

GUS, TANPAMU SEMUA JADI REPOT!

GUS, TANPAMU SEMUA JADI REPOT!
Gus Dur




Teruntuk: Gus Dur

Dunia bagaikan himpitan kursi kekuasaan
Hamparan janji terbentang di padang-padang harapan
Serta dalil yang terselubung diantara ayat
Menggumamkan bahwa hidup tidak sekedar tentang Satu

Ada dua,
Ada tiga,
Ada  empat
Dan banyak sekali sesuatu yang beraneka

Namun, barang sebentar saja, Gus
Tiada yang peduli saat ini
Semua tertundukkan oleh Satu
Tanpa melihat dua, tiga dan bahkan empat
Semua mudah mengatasnamakan Tuhannya untuk sekedar kepentingan

Dan, gus!
Sungguh, tanpamu semuanya jadi repot
Terlalu banyak yang diperjualkan
Terlalu banyak yang diobralkan
Terlalu banyak sakit hati
Terlalu banyak tinggi hati

Semua berdrama menjadi yang paling menyedihkan.
Bukankah itu semua repot, gus?
Sungguh! Tanpamu semua menjadi repot, Gus

Yogyakarta, 19/02/2017

PUISI HURUF

PUISI HURUF
Mim

Huruf... Oh huruf.

Namamu hanya kumpulan huruf-huruf
Huruf itu pun tak mempunyai makna
Punya makna kalau ada kesepakatan
Apakah kau dan aku sudah bersepakat

Huruf... Oh huruf

Kau itu hanya terdiri dari huruf-huruf
Yang kau cintai juga huruf
Yang kau sembah juga huruf
Akhirnya huruf menyembah huruf demi sebuah huruf

Semua huruf itu fana
Dzatnya saja yang baqa (baka) 

Ciputat, 22 April 2018

Tuesday, April 17, 2018

NUQTHAH TANPA MUSIM

Ilustrasi 

Ini gurun pasir, minumlah teh manis khas Mesir atau Kahwa yang menggoyang lidah dari Kashmir.

Sambut lah cuaca yang tanpa musim. Debu beterbangan, langit cerah tanpa awan, terik panas menyusup ke pori-pori terdalam.

Langit gelap berkelabu, ambillah air wudhu, tunaikan shalat hajatmu. Bunga kaktus yang merekah, membantu meng-aminkan do'amu. 

Do'akan lah tetanggamu yang tergulung asap mesiu. Mereka setiap waktunya menghirup darah busuk, suasana pertempuran tanpa ujung perdamaian. 

Do'akan aku juga, semoga nanti bertemu di ayat-ayat cinta-Nya. Jadikanlah aku Nuqthah dari khat huruf-hurufmu. 

Ini cuaca tak ada musim, kecuali panas, jadikanlah aku panas itu karena selain itu tak ada lagi kecuali aku.

Meskipun seperti nuqthah yang tak berarti tanpa ada bentuk hurufnya.


Ciputat, 18 April 2018

Monday, April 16, 2018

KIAI KAMPUNG DAN DOA YANG DIPOLITISIR

Kiai Modern Sudah Baca Google

Setiap kelompok sudah pasti ada yang di-tua-kan. Ada yang jadi pemimpin elit pemerintah, ada yang jadi pemimpin rohani yaitu Kiai. Keberadaannya sangat penting di setiap komunitas masyarakat.

Kiai kampung itu seperti Kiai di Bani Israil, kata Nabi. Setiap qaryah (kampung) ada Kiai. 

Mereka mempunyai kehidupan yang sangat simpel dan sangat sederhana, met of zonder ora neko-neko. Kata orang Sunda, teu loba kahayang. 

Kiai itu tidak punya Pesantren. Kehidupan sehari-harinya hanya bertani, beternak, dan menjaga tajug atau masigit. 

Mereka tidak juga mengenal media sosial, dan tak tercantum dalam grup-grup virtual medsos Gerakan 212 Wiro Sableng. 

Mereka sama sekali buta mengenai politik, kecuali kalau negerinya dalam keadaan dijajah, karena jajahan fisik itu langsung berlawanan depan muka.

Mereka tidak tahu juga konflik di Suriah yang dimanipulasi, jangankan itu, elit pemerintahnya tertangkap saja, mereka tidak tahu menahu. 

Hidupnya adem ayem, makan dengan lauk sambal terasi dan daun jambu monyet dicampur daun pepaya muda (uh, itu enak banget), mereka dengan ikhlas memuji Tuhan-nya di setiap getaran bibir dan hatinya. 

Urusan mereka hanya menasihati ummat dan menjaga ekosistem alam di perkebunan dan ladang. Tidak ada urusan politik apalagi ngintrik amplop penguasa. 

Untuk melihat berita di media aja susah harus memutar balikkan antena di belakang rumah dengan kualitas televisi black and white, apalagi kayak kita nonton film Dilwale dengan gaya mesranya Shah Rukh Khan dan Kajol, atau laganya Salman Khan dan Katrina Kaif di film Tiger Zinda Hai.

Tapi, hidup mereka itu tentram. Gak ribet kayak kita yang tertinggal informasi dikit dibilang kurang update (kudet), tertinggal kemajuan teknologi dikira gaptek, gak pake baju kekinian dibilang gak gaul. Sungguh ribet hidup kita ini. 

Di kampungku masih banyak Kiai seperti ini, padahal ini sudah tahun 2018. Amerika sudah memasang nuklir untuk membombardir Suriah, Kiai kampung itu masih nyaman saja mencangkul sawah.

Kiai kampung itu menggembala sapi, bukan mengorupsi sapi. Kiai kampung itu orang-orang ikhlas yang do'anya mustajab. 

Sebut saja, Ajengan Aep. Suatu hari dalam pengajian malam Jum'at ia bercerita kisah Abu Nawas dalam kitab Alfu Lailah Wa al-Lailah:

Pada suatu ketika Abu Nawas sangat tergila-gila pada seorang wanita.

Wanita itu sungguh cantik, pintar serta termasuk wanita yang ahli ibadah.

Abu Nawas berkeinginan untuk memperistri wanita salihah itu.

Karena cintanya begitu membara, ia pun berdoa dengan khusyuk kepada Allah SWT.

Ya Allah, jika memang gadis itu baik untuk saya, dekatkanlah kepadaku.Tetapi jika memang menurutmu ia tidak baik buatku, tolong Ya Allah, sekali lagi tolong...pertimbangkan lagi ya Allah, ucap doanya dengan menyebut nama gadis itu dan terkesan memaksa kehendak Allah.

Strategi Do'a

Abu Nawas melakukan doa itu setiap selesai shalat lima waktu.

Selama berbulan-bulan ia menunggu tanda-tanda dikabulkan doanya.

Berjalan lebih 3 bulan, Abu Nawas merasa doanya tak dikabulkan Allah.

Ia pun introspeksi diri.

Mungkin Allah tak mengabulkan doaku karena aku kurang pasrah atas pilihan jodohku," katanya dalam hati.

Kemudian Abu Nawas pun bermunajat lagi.

Tapi kali ini ganti strategi, doa itu tidak diembel-embeli spesifik pakai nama si gadis, apalagi berani "maksa" kepada Allah seperti doa sebelumnya.

"Ya Allah berikanlah istri yang terbaik untukku," begitu bunyi doanya.

Berbulan-bulan ia terus memohon kepada Allah, namun Allah tak juga mendekatkan Abu Nawas dengan gadis pujaannya.

Bahkan Allah juga tidak mempertemukan Abu Nawas dengan wanita yang mau diperistri.

Lama-lama ia mulai khawatir juga.
Takut menjadi bujangan tua yang lapuk dimakan usia.

Ia pun memutar otak lagi bagaimana caranya berdoa dan bisa cepat terkabul.

Pakai Nama Ibu

Abu Nawas memang cerdas.
Tak kehabisan akal, ia pun merasa perlu sedikit "diplomatis" dengan Allah.
Ia pun mengubah doanya. 

Ya Allah, kini aku tidak minta lagi untuk diriku. Aku hanya minta wanita sebagai menantu Ibuku yang sudah tua dan sangat aku cintai Ya Allah. Sekali lagi bukan untukku Ya Tuhan. Maka, berikanlah ia menantu, begitu doa Abu Nawas. 

Dasar Abu Nawas, pakai membawa nama ibunya segala, padahal permintaanya itu tetap saja untuk dirinya.
Allah Maha Tahu, tidak perlu dipolitisir segala.

Tapi barangkali karena keikhlasan dan "keluguan" waliyullah Abu Nawas tersebut, Allah pun menjawab doanya.

Akhirnya Allah menakdirkan wanita cantik dan salihah itu menjadi istri Abu Nawas.

Abu Nawas bersyukur sekali bisa mempersunting gadis pujaannya.
Keluarganya pun berjalan mawaddah warahmah.

Kiai itu menyampaikan kisah Abu Nawas dengan sangat renyah, begitulah Kiai kampung menyampaikan nasihat-nasihat dengan joke-joke yang sehat. 

Dengan segala keterbatasan teknologi dan alat komunikasi, Kiai kampung itu adalah mayoritas yang diam. Benar apa kata mantan presiden Amerika Richard Nixon di sebut sebagai “mayoritas yang membisu” (silent majority). 



Sunday, April 15, 2018

SECARIK PESAN HIKMAH

Asrama Puteri al-Tsarwah II Haurkuning

Baitul Hikmah Haurkuning

Di puncak gunung terhampar sajadah panjang, hembusan udara sejuk, sayup-sayup mata memandang lembaran-lembaran matan kitab mulai tertutup tak kuat menahan rasa kantuk. 

Gertakan, suara lantang, pukulan sorban sang kiai membuat kaget seluruh santri yang tertidur. Tiada lain hanya sebuah kasih sayang, agar meraih kesuksesan di masa depan. 

Kun Himmataka Fil Tsuraaya, Wa Laa Takun Himmataka Fil Ardli al-Suflaa. Simpanlah cita-citamu setinggi bintang Suroya, jangan simpan cita-citamu dibawah tanah. Munculkan lah potensi dalam dirimu jangan kau kuburkan dalam rasa malumu. 

Kiai sering berpesan, Ulama itu pikirannya penuh dengan ilmu, hatinya khasyah (takut) kepada Allah. Kiai mengajarkan kasih sayang, dan memberi kasih sayang. Membumikan ajaran, dan melestarikan kebudayaan. 

Kiai itu pendidik, pencerah, Man Yandzuru Ilaa al-Ummah bi 'Aini al-Rahmah. Hamba Allah yang mendidik ummat dengan kacamata Rahmah, kasih sayang dan Cinta. 

Bait-bait Syair Kalam Ulama dilantunkan terdengar kalimat; Wahua Bi sabqin haaizun tafdliila # Mustaujibun Tsanaai-ya al-Jamiila. Anugerah hanya untuk manusia yang lebih terdahulu, wajib untuknya segala pujian yang indah.

Ananda, Adinda, Kanda, para santri jangan merasa paling benar, jangan merasa paling pintar, karena masih ada langit di atas langit. Do'akan Guru kita, Kiai kita, merekalah Mustaujibun Tsanaaii  yang wajib kita puji, kita agungkan, kita sisipkan namanya dalam doa dan sujud kita.

Ciputat, 12 Desember 2017

Friday, April 6, 2018

SAJAK: MAU MU APA?


Masih terngiang ledakan-ledakanmu
Masih terngiang teriak-teriakanmu
Masih terngiang caci dan maki mu
Masih terasa sayatan cabikmu

Terngiang. Kudengar lisan kotormu
Lantang suaramu seakan meruntuhkan langit serta susunan
Namun kau bukan Hamzah yang selalu berada di laga terdepan
Kau juga bukan Bilal yang suaranya lantang disukai orang
Kau juga bukan Umar yang ditakuti kafir Quraisyi
Kau juga bukan Ali yang menyandang gelar Singa Ilahi

Maumu Apa?
Dulu lisan indahmu memuji kiai kami
Dulu badan sehatmu mengawal kiai kami
Dulu lantang takbirmu meneriakkan kawal Fatwa MUI
Sekarang kau caci kiai kami, kau hina kiai kami, kau bully kiai kami
Kami tak kuasa melihatnya, jejak langkah kakinya, lentik jemarinya, keriput dahinya
Mengingatkanku guru-guru sepuh di pesantren

Maumu Apa?
Sudah kau caci simbol organisasi kami
Sudah kau hina ketua tanfidziah kami
Sekarang kau masih belum puas, hina Rais 'Amm kami juga. Keterlaluan.

Maumu Apa?
Hanya gara-gara Puisi Ibu Indonesia
Hanya gara-gara konde dan kidung
Kau harus sejahat itu?

Maumu Apa?
Kau mau penjarakan penista?
Kau mau bui penista?
Penjarakan dan bui dulu hawa nafsumu!

Maumu Apa?
Imam besarmu masih bersembunyi di gorong-gorong kota Mekkah
Imam besarmu juga banyak terjerat kasus penista
Kenapa Imam besarmu tak gentel man menghadapi kasusnya

Maumu Apa?
Untuk meminta maaf penistaan simbol masyarakat Sunda aja susah
Untuk minta maaf penistaan simbol negara saja susah
Imammu dulu bilang Campuracun dan Pantatcina, apakah kau tak sadar itu penistaan?

Maumu Apa?
Maumu Apa?
Maumu Apa Sih!





Wednesday, April 4, 2018

KRITIK SASTRA PUISI IBU SUKMA



A'udzubika min al-Siyasah; Aku berlindung padamu  dari godaan politik.

Tulisan ini untuk menyikapi kontroversi Puisi Ibu Indonesia yang ditulis oleh Ibu Sukmawati Soekarnoputri, saya diminta oleh ba'dl al-ikhwan (sebagian kawan) untuk menyikapinya menggunakan analisis Sastra Arab. Baik!.

Puisi ini menggemparkan seluruh netizen dari pelosok negeri sampai pusat Betawi. Dari mulai kritikus sastra hingga kritikus kelas abal-abal yang suka komentar norak di media sosial, termasuk saya. Mungkin, haha....

Puisi ini menuai kecaman dari FPI hingga MUI, dari politisi hingga warung kopi. Dahsyat sekali publik Indonesia saat ini, menyamakan antara kritik dan mencabik. Mencaci tanpa solusi, hingga tuntutan masuk bui, demo berkeping-keping hingga lupa siapa yang melipat dana umroh dan haji.

Puisi ini harus diserahkan ke pakar puisi atau sastra, tidak bisa puisi dihakimi oleh politisi. Kita serahkan pada ahlinya, entah siapa itu ada Fatin Hamama, Zawawi Imron, Gus Mus, atau Acep Zamzam Noor, dll.

Saya mencoba menganalisis dua bait puisi kontroversial itu.

Pertama, mungkin yang dimaksud adalah konde dan cadar, coba perhatikan penggalan bait ini;

" Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah. Lebih cantik dari cadar dirimu"

Dalam bait ini, sebenarnya adalah kalimat Majaz yang ditegaskan. Maksudnya, kalimat Syariat Islam yang dimaksud adalah cadar. Yang saya pahami, cadar itu bukan Syariat Islam. Makanya kenapa ada kata ganti (dhomir) dalam kalimat "cadar dirimu", dlomir (mu) ini ditunjukkan ke siapa? Sudah pasti untuk sebagian ummat Islam yang beranggapan cadar itu adalah Syariat Islam.

Kedua, yang dimaksud adzan lebih indah dari suara kidung. Coba perhatikan penggalan bait ini;

"Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok. Lebih merdu dari alunan adzan mu"

Lagi-lagi ini bicara kalimat Majaz, dalam jenis Majaz ada istilah Majaz fil Murad atau Majaz al-Lughawi. Majaz ini banyak juga macamnya. Namun, yang dimaksud dalam penggalan itu adalah Kalimatul Jam'i, Yuriidu bihi al-Majmu' (Kalimat Jamak namun yang dimaksud hanya sebagian saja). Mudah-mudahan penafsiran saya jauh dari kata politis.

Kalimat "adzan" bagi saya adalah kalimat mufrad yang bersifat jamak, kenapa? Karena dalam adzan banyak sekali kalimat yang diucapkan tapi lebih dominan kalimat Takbir, karena diawali dan diakhiri dengan Takbir.

Bisa jadi yang dimaksud Ibu Sukmawati adalah "Takbir"nya itu, bukan adzan secara keseluruhan. Oleh karena itu menggunakan kata pengganti lagi (mu) dhomirnya lagi-lagi untuk siapa. Inilah yang disebut Majaz al-Lughawi, Kalimatul Jam'i Yuriidu bihi al-Majmu'.

Puisi itu biasanya disesuaikan dengan konteks sosial dimana puisi harus ditulis. Puisi juga merupakan sebuah kritik sosial. Ya, menurut saya Ibu Sukmawati sedang mengkritik sebagian ummat Islam yang sering menggunakan kalimat Takbir untuk kepentingan politik, benar apa yang dikatakan Pak Haedar Nashir bahwa "Takbir" jangan dipolitisasi.

Terakhir, kita tidak bisa dengan spontan mencaci apalagi sampai keluar bahasa kotor dari lisan seorang mukmin, jangan bakar taman surgamu oleh lisanmu sendiri. Dan bagi saya Puisi tidak bisa dihakimi oleh politisi, kalau Puisi dihakimi oleh politisi atau yang berkepentingan bisa jadi seperti puisi-puisi Abu Nawas yang dihakimi oleh Harun al-Rasyid (seorang politisi), yang berkali-kali ingin menghukum mati Abu Nawas.

Tasikmalaya, 5 April 2018.

Sunday, November 19, 2017

REMAJA DARI KARTA; KARYA TERANYAR BUNG FAI

Karya Sastra Fenomenal

Novel: Remaja dari Karta
Tanggal Terbit: 10 November 2017
Penerbit: Averoiss Famileb

Ana adalah seorang gadis pantura. Dia memiliki cerita tragis dalam hidupnya selepas dia SMA. Di saat gadis-gadis lain menikmati remaja dengan sendirinya, Ana tidak bisa menemukan remaja itu. Remaja baginya adalah sebuah keniscayaan. Mungkin ini juga gamak ditemukan pada gadis-gadis remaja di sekitaran Pantura. Selepas SMA sudah tidak ada lagi cerita tentang cita-cita. Kondisi ekonomi mereka yang membuat mereka terjerat dengan pernikahan yang tak semestinya. Setelah tak lama menikah, si lelaki tak berpenghasilan. Dan si wanita pun kemudian menjanda. Namun, Ana tidak berputus asa, diapun beranjak ke Jakarta untuk buah pelipur laranya. Di sana dia menemukan pemuda bernama Karta. Dari Karta, dia menemukan Remaja. Bung Fai menyajikan kisah klasik ini dengan asik. Dirangkum kedalam novel puisi. Gaya puitikanya membuat indah cerita dan tidak melupakan benang merah dalam cerita. Karya yang langka. Semoga bermanfaat untuk kita semua.

Untuk pemesanan bisa langsung hub: 082112800183 (Rikal Dikri Muthahhari)


Bung Fai Sang Maestro Sastra

Faisal, Am.d, S.Sos atau akrab disapa Bung Fai, seorang pria kelahiran Indramayu Jawa Barat. Bung Fai adalah alumni FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi di jurusan Ilmu Politik.

Dalam dunia sastra dan budaya Bung Fai cukup berkontribusi besar terhadap perkembangan sastra dan budaya di Indonesia. Banyak sekali karya sastra dan musik yang telah ditulis oleh Bung Fai seperti puisi, lagu, dan novel. Di antara lagunya yang terkenal adalah Senja di Pelupuk Mata dan Kupu-kupu Malam, banyak lagu kritik sosial, cinta, dll yang ditulis oleh Bung Fai.

Bukan hanya fokus di bidang musik tertentu, Bung Fai juga rajin menulis novel ada beberapa novel yang fenomenal seperti Remaja dari Karta. Novel ini, dikenal di masyarakat luas karena sebuah alur cerita yang mengandung unsur intrinsik yang sangat indah dan enak dibaca.