Monday, April 16, 2018

KIAI KAMPUNG DAN DOA YANG DIPOLITISIR

Kiai Modern Sudah Baca Google

Setiap kelompok sudah pasti ada yang di-tua-kan. Ada yang jadi pemimpin elit pemerintah, ada yang jadi pemimpin rohani yaitu Kiai. Keberadaannya sangat penting di setiap komunitas masyarakat.

Kiai kampung itu seperti Kiai di Bani Israil, kata Nabi. Setiap qaryah (kampung) ada Kiai. 

Mereka mempunyai kehidupan yang sangat simpel dan sangat sederhana, met of zonder ora neko-neko. Kata orang Sunda, teu loba kahayang. 

Kiai itu tidak punya Pesantren. Kehidupan sehari-harinya hanya bertani, beternak, dan menjaga tajug atau masigit. 

Mereka tidak juga mengenal media sosial, dan tak tercantum dalam grup-grup virtual medsos Gerakan 212 Wiro Sableng. 

Mereka sama sekali buta mengenai politik, kecuali kalau negerinya dalam keadaan dijajah, karena jajahan fisik itu langsung berlawanan depan muka.

Mereka tidak tahu juga konflik di Suriah yang dimanipulasi, jangankan itu, elit pemerintahnya tertangkap saja, mereka tidak tahu menahu. 

Hidupnya adem ayem, makan dengan lauk sambal terasi dan daun jambu monyet dicampur daun pepaya muda (uh, itu enak banget), mereka dengan ikhlas memuji Tuhan-nya di setiap getaran bibir dan hatinya. 

Urusan mereka hanya menasihati ummat dan menjaga ekosistem alam di perkebunan dan ladang. Tidak ada urusan politik apalagi ngintrik amplop penguasa. 

Untuk melihat berita di media aja susah harus memutar balikkan antena di belakang rumah dengan kualitas televisi black and white, apalagi kayak kita nonton film Dilwale dengan gaya mesranya Shah Rukh Khan dan Kajol, atau laganya Salman Khan dan Katrina Kaif di film Tiger Zinda Hai.

Tapi, hidup mereka itu tentram. Gak ribet kayak kita yang tertinggal informasi dikit dibilang kurang update (kudet), tertinggal kemajuan teknologi dikira gaptek, gak pake baju kekinian dibilang gak gaul. Sungguh ribet hidup kita ini. 

Di kampungku masih banyak Kiai seperti ini, padahal ini sudah tahun 2018. Amerika sudah memasang nuklir untuk membombardir Suriah, Kiai kampung itu masih nyaman saja mencangkul sawah.

Kiai kampung itu menggembala sapi, bukan mengorupsi sapi. Kiai kampung itu orang-orang ikhlas yang do'anya mustajab. 

Sebut saja, Ajengan Aep. Suatu hari dalam pengajian malam Jum'at ia bercerita kisah Abu Nawas dalam kitab Alfu Lailah Wa al-Lailah:

Pada suatu ketika Abu Nawas sangat tergila-gila pada seorang wanita.

Wanita itu sungguh cantik, pintar serta termasuk wanita yang ahli ibadah.

Abu Nawas berkeinginan untuk memperistri wanita salihah itu.

Karena cintanya begitu membara, ia pun berdoa dengan khusyuk kepada Allah SWT.

Ya Allah, jika memang gadis itu baik untuk saya, dekatkanlah kepadaku.Tetapi jika memang menurutmu ia tidak baik buatku, tolong Ya Allah, sekali lagi tolong...pertimbangkan lagi ya Allah, ucap doanya dengan menyebut nama gadis itu dan terkesan memaksa kehendak Allah.

Strategi Do'a

Abu Nawas melakukan doa itu setiap selesai shalat lima waktu.

Selama berbulan-bulan ia menunggu tanda-tanda dikabulkan doanya.

Berjalan lebih 3 bulan, Abu Nawas merasa doanya tak dikabulkan Allah.

Ia pun introspeksi diri.

Mungkin Allah tak mengabulkan doaku karena aku kurang pasrah atas pilihan jodohku," katanya dalam hati.

Kemudian Abu Nawas pun bermunajat lagi.

Tapi kali ini ganti strategi, doa itu tidak diembel-embeli spesifik pakai nama si gadis, apalagi berani "maksa" kepada Allah seperti doa sebelumnya.

"Ya Allah berikanlah istri yang terbaik untukku," begitu bunyi doanya.

Berbulan-bulan ia terus memohon kepada Allah, namun Allah tak juga mendekatkan Abu Nawas dengan gadis pujaannya.

Bahkan Allah juga tidak mempertemukan Abu Nawas dengan wanita yang mau diperistri.

Lama-lama ia mulai khawatir juga.
Takut menjadi bujangan tua yang lapuk dimakan usia.

Ia pun memutar otak lagi bagaimana caranya berdoa dan bisa cepat terkabul.

Pakai Nama Ibu

Abu Nawas memang cerdas.
Tak kehabisan akal, ia pun merasa perlu sedikit "diplomatis" dengan Allah.
Ia pun mengubah doanya. 

Ya Allah, kini aku tidak minta lagi untuk diriku. Aku hanya minta wanita sebagai menantu Ibuku yang sudah tua dan sangat aku cintai Ya Allah. Sekali lagi bukan untukku Ya Tuhan. Maka, berikanlah ia menantu, begitu doa Abu Nawas. 

Dasar Abu Nawas, pakai membawa nama ibunya segala, padahal permintaanya itu tetap saja untuk dirinya.
Allah Maha Tahu, tidak perlu dipolitisir segala.

Tapi barangkali karena keikhlasan dan "keluguan" waliyullah Abu Nawas tersebut, Allah pun menjawab doanya.

Akhirnya Allah menakdirkan wanita cantik dan salihah itu menjadi istri Abu Nawas.

Abu Nawas bersyukur sekali bisa mempersunting gadis pujaannya.
Keluarganya pun berjalan mawaddah warahmah.

Kiai itu menyampaikan kisah Abu Nawas dengan sangat renyah, begitulah Kiai kampung menyampaikan nasihat-nasihat dengan joke-joke yang sehat. 

Dengan segala keterbatasan teknologi dan alat komunikasi, Kiai kampung itu adalah mayoritas yang diam. Benar apa kata mantan presiden Amerika Richard Nixon di sebut sebagai “mayoritas yang membisu” (silent majority). 



Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: