Sumber foto: www.islamtimes.org |
Oleh: Muhsin Labib
Bukan hanya soal pernyataannya tentang kitab suci, kengawurannya dalam language game sudah menodai filsafat.
Sebagai pengamen kamera, filsuf panggung merasa dituntut memproduksi statement-statement heboh.
Filsuf seleb membuat definisi sendiri untuk setiap terma yang dilontarkannya supaya bisa berkelit saat diminta pertanggungjawaban argumentatif.
Syahwat viralisme mendorong sang filsuf menghipnotis awam dengan borjuisme kata meski ambigu.
Karena merasa sebagai penguasa tunggal jagad premis, filsuf gado-gado mulai menabrak sesuatu yang sakral.
Merangkai kata tanpa makna yang disepakati oleh publik adalah berbunyi, bukan berbicara, atau mencoret-coret, bukan menulis.
Karena ulah para pesulap kata yang mengaku filsuf, filsafat dianggap oleh publik sebagai sesuatu yang njelimet dan tak jelas.
Bergaya mahaguru di singgasana kamera. Maka meracaulah sang filsuf.
Tak mempercayainya sebagai kitab suci adalah hak. Menganggapnya sebagai rekaan atau dongeng adalah agresi.
Kitab suci bukanlah karya manusia. Menganggapnya sebagai fiksi sejarah mencerminkan pandangan anti Tuhan.
Kitab suci semua agama tak patut jadi bahan akrobat kata demi menciptakan opini negatif dalam arena kompetisi politik.
Menurut Wittgenstein, kekacauan bahasa dalam berfilsafat adalah akibat tak adanya tolok ukur suatu ungkapan itu bermakna atau tidak.
Menurut Wittgenstein, penggunaan bahasa logika yang sempurna berarti pemakaian alat-alat bahasa, seperti kata dan kalimat secara tepat, sehingga setiap kata hanya mempunyai suatu fungsi tertentu saja.
Mau jadi marketer capres? Silakan. Mau bergaya mahaguru kebijaksanaan? Tunggu dulu.
0 komentar: