Mereka terjebak pada “Lughat” atau “Etimologi”, dan sama sekali tidak memahami “Terminologi” Khilafah atau Imamah (Nasbul Imam).
Akhir-akhir ini marak ummat Islam demam istilah “Khilafah”. Khilafah yang dimaksud merujuk pada istilah Khilafah ‘ala Minhaj al-Nubuwwah, yang mana Khalifahnya digelari sebagai Khalifatullah. Mereka terjebak pada “Lughat” atau “Etimologi”, dan sama sekali tidak memahami “Terminologi” Khilafah atau Imamah (Nasbul Imam).
Proyek ngambang ini dilestarikan dan dikonstruksi oleh kalangan Islam Transnasional seperti HTI, Ikhwanul Muslimin, al-Qaeda, Jabhat al-Nushra, ISIS, dan lain-lain. Indonesia adalah negara berkedaulatan atas dasar demokrasi Pancasila, bukan sebuah sistem yang lahir dari legitimasi Tuhan (devine legitimacy). Pancasila adalah hasil Ijtihadi yang bersifat Ijma’ (konsensus).
Lahirnya Pancasila dijadikanlah sebagai “Democratisch Beginsel” atau dasar demokrasi yang menjadi dasar negara Indonesia (Rechts idiologie).
Pancasila merupakan sebuah falsafah negara Indonesia sebagai mana Bung Karno menyebutnya dalam bahasa Belanda sebagai “Philosofiche grondslag” yang diartikan sebagai pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya, untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi. Pancasila ini juga adalah buah “stenografisch verslag” yaitu hasil dari pidato Bung Karno yang diucapkan dengan tidak tertulis dengan cara spontan (voor de vuist), sehingga atas lahirnya Pancasila dijadikanlah sebagai “Democratisch Beginsel” atau dasar demokrasi yang menjadi dasar negara Indonesia (Rechts idiologie).
Jelas Pancasila sangat bertentangan dengan ide Khilafah HTI dan kawan-kawannya. Terus apa sebenarnya di belakang kepentingan Khilafah mereka itu? Apa hanya sebagai hasutan-hasutan perpecahan ummat Islam di Indonesi, dengan mengangkat seorang Imam besar yang sampai saat ini belum pulang?
Khilafah adalah penyakit dalam Islam kontemporer saat ini, di mana negara Islam sudah memilih Nation State (daulah qaumiyah) istilah kita menyebutnya sebagai Negara Bangsa, sedangkan Khilafah adalah ide non state lahir dari romantisme masa silam tentang Daulah Islamiyah kepemimpinan tunggal. Smith al-Hadar salah seorang pengamat Timur Tengah dari Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) menyebutnya Khilafah sebagai ajaran utopis, hal yang tidak mungkin “mustahil”.
Benalu Khilafah ini memang dibentuk oleh kepentingan-kepentingan asing, sebagaimana Hillary Clinton mencoba memanfaatkan ideologi Islam Wahhabi untuk memecah belah Timur Tengah, sehingga mempermudah mereka untuk menguasai kilang minyak dan sumberdaya alam di Timur Tengah. Karena, sejatinya negara kapitalis berambisi untuk menaklukan negara bangsa dengan berbagai cara dari mulai perang moneter, perang ekonomi, serta budaya hingga tarung senjata yang dapat membahayakan kehidupan dan masa depan dunia.
Indonesia hari ini hampir masuk perangkap itu, dikoyak-koyak melalui internal ummat Islam sendiri. Seperti dikatakan Noam Chomsky bahwa ambisi Amerika Serikat sebenarnya hanya ingin menciptakan ketergantungan abadi seluruh negara terhadapnya.
Khilafah ‘ala Minhaj al-Nubuwwah selalu bersandar pada istilah Khalifatullah sebagai pemimpinnya. Saya merujuk pada kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah yang dikarang oleh Abi al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi pada cetakan Kuwait, yang ditahkik oleh Dr. Ahmad Mubarak al-Baghdadi, menggunakan istilah Khalifatullah ada dua pendapat; Pertama, menggunakan istilah ini tidak apa-apa atas dalil Q.S Al-An’am ayat 165, tentang Khalifah fil Ardli, yang mana pendapat ini dari kalangan minoritas (qil) ulama, dengan mengistilahkan Khalifah fil Ardli berarti mendapatkan hak menjadi Khalifatullah, yakni hak prerogatif Allah bisa dilegitimasi atas dasar ini, sehingga justifikasi "kafir" misalnya, sangan mudah keluar dari lisan yang berpemahaman seperti ini.
Mayoritas ulama ini menentang adanya penggunaan istilah Khalifatullah menisbahkan kepada Allah, hal ini bagi mereka berdosa “fujur” karena, menisbahkan makhluk yang sifatnya Yagibu wa Yamutu (hilang dan mati), terhadap Allah yang Laa Yaghibu wa Laa Yamuutu (tidak hilang dan tidak mati).
Kedua, adalah pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). Mayoritas ulama ini menentang adanya penggunaan istilah Khalifatullah menisbahkan kepada Allah, hal ini bagi mereka berdosa “fujur” karena, menisbahkan makhluk yang sifatnya Yagibu wa Yamutu (hilang dan mati), terhadap Allah yang Laa Yaghibu wa Laa Yamuutu (tidak hilang dan tidak mati). Jelas sekali ditentang atas dasar bahwa Abu Bakr menyebut dirinya Khalifatu Rasulillah (Pengganti Rasulullah).
Banyak orang yang menggunakan dalil al-Quran untuk melegitimasi dirinya atau kelompoknya untuk kepentingan-kepentingan politik.
Dalam arti ini semua, banyak orang yang menggunakan dalil al-Quran untuk melegitimasi dirinya atau kelompoknya untuk kepentingan-kepentingan politik. Seorang Abu Bakr menolak dirinya disebut sebagai Khalifatullah sehingga istilahnya adalah Khalifatu Rasulillah, dan seterusnya Umar Khalifatu Khalifati Abi Bakrin, Utsman Khalifatu Khalifati Khalifati Umar ibn Khattab, begitu juga ‘Ali Khalifatu Khalifati Khalifati Khalifati Utsman ibn Affan, tidak ada para Sahabat yang berani menisbahkan Allah dalam gelar Khalifahnya.
0 komentar: