Gus Mus |
Manusia itu mempunyai budaya sendiri-sendiri. Orang-orang yang tidak mengerti mengira Islam Nusantara itu bukan Islam yang dibawa oleh Kanjeng Nabi. Dia mengira Islam Nusantara itu menyaingi Islam Arab. Kok menyaingi? Islam Nusantara itu adalah cara beragama Islamnya orang Nusantara. Ya kalau tidak pernah ngaji nahwu memang tidak akan paham. Yang disebut idhofah, idhofah bi makna, dia tidak paham. Dikiranya Islam Nusantara itu Islam baru. Padahal yang dimaksud adalah budaya orang Nusantara ketika menjalankan Islam. Ada halal bihalal. Misalnya berjubah dan bersurban – ini saya katakan berulang-ulang supaya kita semua mengerti – adalah budaya Arab. Jadi yang berjubah dan bersurban itu bukan hanya Kanjeng Nabi Muhammad saw saja. Tetapi Abu Jahal juga. Abu Lahab pun berjubah dan bersurban, karena itu pakaian daerah di sana.
Kanjeng Nabi saw bisa saja – karena beliau adalah kekasih Allah, utusan Gusti Allah – kalau beliau mau membuat sendiri model pakaian “Islami”, tetapi beliau tidak mau. Jadi beliau mengikuti saja budaya lokal yang ada. Yaitu berjubah dan bersurban. (Pertanyaannya), bagaimana kalau sama dengan Abu Jahal? Tidak akan, dan nyatanya memang tidak sama. Meskipun pakaiannya sama, orang bisa membedakan. Meski sama-sama berjubah dan bersurban, wajah Kanjeng Nabi “sumeh” (selalu dihiasi senyuman). Jadi kalau ada orang berjubah dan bersurban, serta wajahnya tersenyum, itu Kanjeng Nabi. Ada yang berjubah dan bersurban, tapi wajahnya sangar, itu Abu Jahal. Mudah membedakannya.
Kalau Anda mau meniru berpakai Arab berjubah dan bersurban, terserah. Tetapi kalau wajah Anda sangar, jangan salahkan orang kalau Anda dikira pengikut atau golongan Abu Jahal. Kalau golongan Kanjeng Nabi, pakaian jubah dan surban, ya (tiru) wajahnya sekalian. Kanjeng Nabi dijuluki “bassam” karena raut wajahnya selalu tersenyum. Bukan hanya karena garis bibir tertarik ke atas lalu disebut tersenyum, (melainkan) seluruh raut wajahnya tersenyum. Karena itu kalau ada orang yang ingin curhat kepada Kanjeng Nabi, baru memandang raut wajah beliau saja sudah hilang semua perasaan "sumpek" di hatinya. Karena wajahnya tersenyum, menyembuhkan duka lara. Nah ini (ada orang) yang sakit pun tidak, tapi memandang wajahnya malah membuat orang merasa “senep” (sebal). Begitu kok ingin disebut golongan Kanjeng Nabi?
Karena itu Gus Dur, ingin disebut sebagai golongan Kanjeng Nabi, ke mana-mana memakai peci dan mengenakan baju batik. Itu golongan Kanjeng Nabi dalam berpakaian. Artinya sesuai dengan kebudayaan lokalnya. Seperti Kanjeng Nabi yang berpakaian jubah dan surban seperti pakaiannya orang Arab, maka pakai batik dan peci hitam seperti pakaiannya orang Indonesia.
(Selesai)
0 komentar: