Oleh KH. Jalaluddin Rakhmat
Aku rindukan doamu, ya Rasul Allah
Pada hari-hari terakhirmu
Kau tinggalkan kenangan indah bagi para sahabatmu
Kau bersihkan hati salah seorang sahabatmu
Dengan doa pamungkasmu
Duhai beruntungnya dia. Anugerah apa lagi yang lebih besar daripada doamu, yang tanpamu tidak akan diciptakan alam semesta. Doa yang pasti dikabulkan Tuhan yang Mahakasih. Doa yang menembus alam malakut dan mengubah qadha takwini. Senjata mukmin engkau tawarkan kepada sahabatmu sebelum kau tinggalkan mereka. Kauangkat tanganmu, kaualirkan doamu kau masukkan ke segenap urat nadinya kau bersihkan segenap relung kalbunya, dengan kesejukan pensucian
“Ya Allah, anugerahkan kepadanya ketulusan dan keimanan. Jauhkan dari dirinya segala macam keburukan.”
Duhai beruntungnya sahabatmu, ya Rasul Allah!
Karena aku percaya engkau masih hidup dan doamu menaburkan kasih sayang, bukan hanya pada para sahabatmu yang sezaman denganmu, tetapi dengan seluruh makhluk selama-lamanya, sepanjang terjadi pergiliran siang dan malam; izinkan aku bersimpuh di kakimu, mencium semerbak wewangian rahmatmu, dan membasahi kakimu dengan airmataku. Aku ingin onggokkan beban malu di hadapan kakimu. Beban yang telah aku tanggung sepanjang hidupku.
Engkau tahu semua amalku. Bukankah Tuhan berkata: Allah dan Rasul-Nya akan melihat amal-amalmu. Ya Rasul Allah, pandanglah daku sejenak saja! Nazrah ilayya maa anta illa kanzul ‘athiyyah! Pandanglah daku sejenak saja. Bukankah engkau sumber segala anugerah!
Doakan aku ya Rasul Allah!
Kau berdiri di hadapan para sahabatmu, menyampaikan salam perpisahanmu, dan setelah itu kau kembali kepada Kekasih abadimu pada usia 63 tahun. Usia itu sudah kulewati ya Rasul Allah. Dalam hitungan hijriyah, sudah tujuh tahun aku lewati. Beberapa bulan lagi, usiaku genap 70 tahun. Sebentar lagi aku menyusulmu dan berharap disambut senyummu. Tetapi ke mana aku sembunyikan mukaku, ya Nabi Rahmah? Wahai Nabi Kasihsayang?
dzunuubi mitslu a'daadir rimaali
fahablii taubatan yaa dzaljalaali
wa'umrii naaqishun fii kulliyaumi
wa dzambii zaa-idum kaifahtimali
Dosa-dosaku sebanyak pasir di sahara
Berikan aku ampunan, wahai Yang Mahakuasa
Setiap hari umurku berkurang
Tetapi dalam dosaku aku malah berkubang
Bagaimana aku sanggup memikulnya!
Aku berharap kalau sudah sampai waktuku, ketika aku lepaskan nafas pamungkas, ketika aku dicekik kehausan, aku ingin kiranya engkau ya Rasul Allah, ya Nabiyyar Rahmah, menjulurkan minuman dengan tangan sucimu ke mulutku, sehingga aku tidak akan haus lagi selama-lamanya. Ya Nabiyyar rahmah, tapi bagaimana mungkin mulutku mendapat kehormatan menyentuh cawanmu, kalau mulut itu telah menghamburkan kata-kata yang meracuni kehidupan sesamaku, telah menyakiti umatmu, dan - ma’adzallah - melukai perasaan para pecintamu. Aku takut ketika cawan itu sudah mendekati mulutku, kau campakkan lagi karena kaucium bau ghibah, fitnah, caci maki, dan umpatan
Alangkah beruntungnya Abu Zaid Al-Anshari. Kau panggil anak muda itu ke dekatmu. Kauusap dengan tanganmu yang mulia kepalanya dan janggutnya. Kaudoakan dia: Allahumma jammilhu wa adim jamaalah. Ya Allah, cakapkan dia dan abadikan kecakapannya. Seratus tahun setelah itu, mukanya masih tampak muda, tanpa kerutan kulit dan tanpa kantong di bawah matanya. Tanpa uban pula di kepalanya
Alangkah beruntungnya Jarir. Ia berusaha menjadi penunggang kuda, tetapi selalu tergelincir. Kaujulurkan tanganmu. Kausentuh dadanya. Kautinggalkan serpihan cahaya di situ selama-lamanya. Jarir bangga, karena sentuhan itu. Sentuhan kasih dari Kekasih yang Mahakasih. Kauangkat tanganmu dan kau berdoa: Ya Allah, teguhkan dia, dan jadikan dia pemberi petunjuk yang mendapat petunjuk. Ya Nabiyyar Rahmah, berkat doamu, ia tidak jatuh dari kudanya dan tidak tidak pernah lagi tergelincir hatinya.
Ya Rasul Allah, usapkan tanganmu kepadaku. Doakan aku seperti kaudoakan Abu Zaid. Tapi karena usia lanjutku, doakan aku agar Allah senantiasa mempercantik akhlakku saja. Doakan aku seperti kau doakan Jarir. Doakan aku agar Allah meneguhkan langkah-langkahku, mengokohkan keimananku, dan menjaga ketergelinciran hatiku.
Doakan aku, ya Rasul Allah
Ya Rasul Allah, aku ingin sekali kau letakkan tanganmu yang suci di atas kepalaku, seperti dahulu kauusapkan tanganmu di kepala sahabatmu atau seperti kausentuhkan jemarimu di dada mereka. Tak usah kaubelai aku, ya Nabiyyar Rahmah. Terlalu agung buatku. Satu usapan saja, sehingga ketika ubun-ubunku dihentakkan oleh malakal maut, ruhku berada dalam kehangatan kasihsayangmu. Tapi… aku takut, kaulewatkan kepalaku dan kauusap kepala-kepala yang lain, karena kautahu kepalaku dipenuhi angan-angan hampa, kecintaan kepada dunia, dan kealpaan akan akhirat; karena kautahu dadaku menyimpan rencana-rencana jahat untuk merampas hak orang lain, untuk melepaskan kedengkian kepada sesama, dan memupuk kebanggaan diri dan kesombongan.
Doakan aku, ya Rasul Allah
Di tengah padang sahara, kaulihat sosok, yang berubah dari titik hitam menjadi garis lurus. Ia berjalan terseok-seok, memikul beban di punggungnya seperti Bilal yang ditekan batu besar di perutnya. Sesekali angin gurun menyembunyikannya dalam putaran debu. Jelas bukan Bilal, karena kau sudah hijrah ke Madinah. Ketika matahari mulai naik, kau berkata lembut: Kun Aba Dzar. Mudah-mudahan Abu Dzar. Semua kepala mengangguk.
Abu Dzar tersungkur di hadapan Nabi Rahmah. Bibirnya pecah, tenggorokannya kering, dan nafasnya tersengal. “Beri Abu Dzar minuman. Ia kehausan,” sabdamu. Tapi Abu Dzar mengambil wadah air dari punggungnya, dan mempersembahkannya kepadamu.
“Kamu bawa air dan kamu kehausan, ya Aba Dzar.”
“Benar, ya Rasul Allah. Pada tiga hari perjalanan, aku menemukan bebatuan, di dalamnya ada cekungan yang menampung air hujan. Aku mencicipinya. Air dingin yang sangat menyegarkan. Tapi aku urungkan niatku untuk terus minum. Aku berjanji aku tidak akan meminumnya lagi sampai cintaku, kekasihku, meminumnya.” Kau tersenyum dan aku tidak tahu apakah kau bernubuat atau berdoa:
“Ya Aba Dzar, semoga Allah menyayangimu. Kau akan hidup sendirian, mati sendirian, dibangkitkan sendirian, dan masuk surga sendirian.”
Ia diasingkan dari tempat tinggalnya. Ia dibuang ke tengah sahara. Ia dibakar panas mentari siang dan dibekukan angin malam. Ia hidup sendirian. Dalam kesepian gurun pasir, ia merasa hidup bersamamu dengan segenap jiwa raganya. Dan akhirnya, ia mati sendirian. Ia dihukum penguasa karena satu dosa saja: Ia menjalankan pesanmu. Katakan kebenaran walaupun pahit!
Doakan aku, ya Rasul Allah
Aku ingin kaudoakan aku seperti kaudoakan Abu Dzar. Tetapi sanggupkah aku mencintaimu seperti dia, mengarungi padang pasir kehidupan, menanggung derita kesendirian, karena kecaman, tuduhan, dan hantaman….. dari kerabat dan teman-teman; karena ingin menyampaikan secuil kebenaran, menyorotkan satu serpihan cahaya, menjajakan lilin-lilin kecil di tengah-tengah kegelapan kepalsuan. Pada saat aku menyendiri, ketika musuh-musuhku menusukkan pedang kedengkiannya, ketika karib kerabatku menajamkan pandangan kekecewaannya, aku ingin mengukir mimpi: Aku ingin mempersembahkan sejemput kecil cintaku padamu. Biarkan aku, ya Nabiyyar Rahmah, menyapukan air mata kehinaannku, dalam debu-debu kemuliaanmu!
Doakan aku, ya Rasul Allah.
by Ustadz Jalaluddin Rakhmat
@Haul (Syahadah) Baginda Nabi saw. Imam Hasan as dan Imam Ali Ridha as di Aula Muthahhari, 19 November 2017.
0 komentar: