Oleh Rikal Dikri Muthahhari (Pusat Syi'ar dan Dakwah Al-Mahabbah)
Saya menulis ini atas dasar keresahan hati saya, karena ada sebuah patologi, atau penyakit, bisa juga diartikan sebagai kanker stadium 4 dalam tubuh pesantren. Bagaimana pun globalisasi, westernisasi itu merupakan sebuah penyakit bagi orang yang belum mampu menerimanya, saat ini saya kira kaum tradisional (santri) belum mampu menerima itu.
Oke Fine! Di tengah wacana keberislaman dan pendidikan katakanlah banyak Pesantren yang menggunakan sistem modern seperti Gontor, atau pesantren yang mengedepankan kultur modernitas dan semi modern. Mereka modern dalam tanda kutip. Mereka modern karena basis keilmuan yang dikembangkan bukan spesifikasi ilmu Turats (kitab kuning), sedangkan masyarakat Santri tradisional (NU) masih mengembangkan ilmu Turats dan upgrade perkembangan pengetahuan dan moderasi Islam.
Saya mencatat dua kata kunci yaitu "Upgrade Ilmu Pengetahuan" dan "Moderasi Islam". Kaum santri saat ini disibukkan dengan keberadaannya Media Sosial, dahulu mereka memegang "Matan" sekarang gadget guna "Internetan". Di sisi lain ini adalah kemunduran di sisi lain perkembangan informasi tanpa batas (The borderless word) yang menjadi konsumsi para santri. Dalam teori globalisasi dinamakan sebagai developmentalisme, sebuah negara berkembang namun sifatnya dependensi (ketergantungan). Hal ini perlu kita kaji ulang apakah itu bermanfaat bagi santri yang masih tetap dalam masa pendidikan?
Saya banyak melihat, beberapa kasus pondok pesantren sudah hilang ruhnya yaitu bergeser pada tradisi instan. Instan dalam arti menerima informasi dan dikunyah mentah-mentah bagaikan orang makan kebab tidak tau di dalamnya daging sapi atau babi meskipun notabenenya daging sapi. Permasalah akutnya di sini, dahulu santri, Kiai, banyak mengeluarkan karya, saat ini santri hanya sebatas menikmati karya ulama terdahulu terus meng-posting-nya di Media Sosial. Kira-kira level ini masih mending. Yang lebih parah, saat munculnya medsos kegiatan santri terfokus pada medsos dan perkembangan Arus Informasi Santri yang menurut pribadi saya itu tidak bermanfaat, seakan-akan santri dijauhkan dari genggaman Turats didekatkan dalam genggaman medsos.
Kasus yang sering kita jumpai pertarungan antara NU dan Non NU (dalam gerakan politik). Mereka para santri tidak tahu mana yang NU mana yang FPI, mana yang moderat mana yang radikal. Sehingga mereka (lawan politiknya NU) di gerakan aksi 212 sangat massif, karena bagi mereka ini Islam loh! Itulah sisi resistensinya media sosial. Saya kira AIS Nusantara itu sudah kalah dalam pertarungan medsos, saatnya santri hari ini kembali ke khittah membuka, menghafal, mengupgrade, lagi keilmuan Turats. Gak ada gunanya main medsos, yang ada bikin otak bodoh. Kira-kira seperti itu.
Ketika ilmu pengetahuan tidak dikembangkan lagi, masyarakat akhirnya bodoh moderasi Islam pun mandeg. Karena tadi, tergerusnya kultur tradisional oleh medsos yang modern. Saya yakin, kalau santri sudah menggunakan medsos pasti mereka ketergantungan. Yuk balik lagi ngaji ke pondok.
0 komentar: