Pemikiran seseorang mencerminkan jati dirinya, lisan seseorang mencerminkan sikapnya
Indonesia hari ini sibuk dengan pembahasan usang, yaitu wacana klasik yang terus diungkit layaknya issue tahunan seperti PKI dan Syiah dalam momentum politik, Natal dan Tahun baru dalam momentum hari raya. Banyak Ulama yang menurut saya belum pas memberikan fatwa dengan konteks Indonesia yang plural- heterogen. Fatwanya meresahkan hingga membuat renggang hubungan antar umat beragama.
Islam itu metodologis, Indonesia menggunakan metodologi Syafi'iyah terlepas dari Ustadz-ustadz instan yang hanya belajar sebatas memahami Islam sampai tenggorokan seperti Felix Siauw, saya melihat Felix itu sebagai belatung dalam buah. Seperti dikatakan Gurunda Abuya Muhtadi bahwa "HTI bukan musuh Islam tapi musuh pesantren". Islam yang metodologis itu saat ini bertradisi di Pesantren, bukan belajar autodidak dan berguru terhadap yang tak jelas sanad keilmuannya. Ustadz seperti ini tak layak mengeluarkan Fatwa.
Ada juga Ustadz secara metodologis dia memumpuni tapi tidak secara konteks. Ini sebuah keambiguan, dia paham metodologi tapi tak paham konteks. Sedangkan Imam Syafi'i dan Imam Madzhab lainnya itu paham konteks, bagaimana cara berfatwa di Mesir, bagaimana cara berfatwa di Irak, dan bagaimana Wali Songo cara berfatwa di Indonesia waktu itu. Wali Sanga dakwah sampai ke gunung jalan kaki, menyusuri hutan dan diterima lapang dada oleh masyarakat. Saat ini ustadz hanya dakwah lewat YouTube dan mengeluarkan fatwa yang kurang dipertimbangkan sehingga meresahkan ummat, dan bodohnya diviralkan oleh pengikutnya.
Kendati, banyak fatwa yang tidak dipertimbangkan maslahat dan madharatnya. Saya kira pertanyaan-pertanyaan yang kurang penting tidak usah dijawab, seperti permasalahan hidung orang, hari ibu, dan natal, itu semua permasalahan klasik yang sudah dibahas oleh ulama kita dahulu. Tidak usah merasa paling pintar sehingga semua pertanyaan bisa dijawab, Imam Malik Ibn Anas saja diberi 18 pertanyaan hanya dijawab sebagian saja, sebagiannya lagi dipertimbangkan dan perlu didiskusikan ulang.
Ulama, Mufti, dan Qadli Qudlat
Ulama atau cendekiawan mereka berbicara dari A sampai Z, ilmunya bebas nilai dan boleh dikritik seperti perdebatan Ulama Sunni dan Muktazilah, dan seterusnya. Berbeda dengan Mufti (Seorang yang berfatwa), Mufti biasanya mereka adalah ahli fiqh yang fatwanya itu tidak mesti kita ikuti, misalnya Imam Syafi'i berijtihad dan ijtihadnya itu bisa benar bisa salah. Sedangkan Qadli Qudlat itu adalah fatwa yang dilembagakan di sana ada kumpulan para alim ulama yang mempunyai kesepakatan universal dan fatwanya mengikat seluruh elemen masyarakat contoh di Indonesia ada MUI, dan di Iran ada Wilayatul Faqih. Kita harus bisa membedakan antara ketiganya.
Dalam NU biasanya kalau ada permasalahan ummat ada lembaga yang mewadahinya yaitu LBM NU (Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama), ulama NU kalau berfatwa tak sembarang berfatwa, ulama NU memikirkan kemaslahatan ummat dan selalu mempertimbangkan fatwanya. NU sudah biasa dengan perbedaan pendapat, tapi yang tidak hilang dari tradisi ulama NU adalah sikap arif, bijaksana, dan tawadlu dalam menerima perbedaan.
Oleh karenanya kalau ada ustadz dipersekusi dan dideportasi jangan salahkan yang mempeserkusi dan mendeportasinya, apalagi hingga memfitnah orang tertentu atas kasus itu. Selayaknya dan sebaiknya seorang publik figur harus menjaga lisannya, mawas diri, tidak usah playing victim di depan jamaahnya. Ulama itu harus senantiasa menjaga fatwanya kira-kira sederhananya seperti itu, supaya bisa diterima di semua kalangan baik muslim atau non muslim.
Islam Politik
Terlalu lebay jiga Raja Brunei Hasanal Bolkiah ikut campur dalam masalah ini, sehingga membuat kebijakan memboikot seluruh perusahaan Hongkong di Brunei, dan saya kira ini Hoax bukan asli. Mungkin nanti, Erdogan ikut campur juga dalam masalah ini (Hoax juga sih). Tingkatkan IQ-mu, maka Hoax akan menurun begitulah ucapan Rocky Gerung.
Masih beruntung kita di Indonesia banyak civil society yang menopang negara ini, kita punya ormas NU, Muhammadiyah, NW, Perti, al-Washliyah, Jami'at Khair, PERSIS dll. Di Timur Tengah saudara Islam kita tidak punya Ormas seperti ini, yang berlaku di mereka adalah Islam Politik, Islam Partai sehingga mempengaruhi terhadap pandangannya bahwa Islam adalah Politik, Islam adalah Kekuasaan, Islam adalah Khilafah. Sudahlah ini romantisme masa silam. Al-Mawardi sudah membahas lebih jauh masalah kekuasaan dalam Islam.
Tidak adanya civil society di Timur Tengah tidak mampu mengkontrol negara, dan memicu terjadinya konflik di mana-mana. Islam model seperti herannya dipromosikan oleh Ustadz-ustadz alumni Timur Tengah dan dibawa ke Indonesia.
Indonesia itu bukan masyarakat berwatak keras, kasar, dan egois. Indonesia mempunyai watak yang lembut, menerima perbedaan, someah ka semah sehingga Islam dan Agama lainnya mampu diterima dan berdialog dengan masyarakat, proses ini yang kita pahami sebagai strategi dakwah Wali Songo. Yang biasa Ulama NU sebut sebagai Islam kultural, Islam Peradaban bukan Islam Politik untuk menggulingkan rezim kekuasaan pemimpin yang sah.
Selama ini masyarakat Islam yang terlibat simpatik dalam gerakan populisme Islam 212 kemarin, mereka masih memahami bahwa Islam itu adalah Politik, Islam itu adalah kekuasaan, Islam itu adalah Khilafah. Padahal Islam itu adalah ajaran, budaya, dan peradaban terlalu sempit ketika kita menempatkan Islam pada spektrum tertentu. Bassam Tibi menyebutnya sebagai Islamism yaitu pemahaman Islam sebagai ideologi politik yang bersifat totalitarian.
Saya masih menunggu kehadiran Imam Besar Ummat Islam di Tanah Indonesia yang dirindukan
Wallahu al-Muaffiq
Rikal Dikri Muthahhari
0 komentar: