Saturday, December 30, 2017

MENCARI SIMBOL BARU



Dari berbagai tulisan pendek saya yang mengomentari gerakan Islam, dalam bahasanya Geger Riyanto "Populisme Islam di Indonesia pasca aksi 212", saya mencoba memahami sebuah gerakan besar cukup mengglobal dan transnasional. Gerakan ini tidak luput dari gerakan politik, mereka ummat Islam yang terlibat dalam gerakan ini kerap kali disebut sebagai Islam Politik sehingga muncul antitesis dari Cak Nur yaitu Islam Yes, Partai Islam No!.

Bassam Tibi menyebutnya sebagai Islamism gerakan Islam Politik sifatnya transnasional dan totalitariainisme. Bagaimana tidak totalitarian, toh mereka terobsesi mengurusi yang sifatnya partikular dan private ke dalam undang-undang hukum positif di negara ini? Paradigma Islam fiqh yang ditunggangi oleh paradigma Islam Siyasi (Islam Politik), dalam pemikirannya Dr. Jalaluddin Rakhmat Islam Siyasi ini cenderung syariahisasi hukum, pergeseran dari hukum publik ke hukum partikular dan private yang disebut Tibi sebagai aliran totalitarianisme yaitu terobsesi menguasai seluruh wilayah publik dan private dan selalu berusaha menentukan nilai baik-buruk dari perilaku kepercayaan dan paham masyarakat yang berbeda dengannya.

Dalam bahasa Denny Siregar Islam Politik ini adalah "Kaum Bumi Datar" flat earth, begitu juga Fariz Alniezar menyebutnya "Muslim Pentol Korek". Berbagai istilah dan terminologi bahasa baru muncul menjadi second opinion bagi Islam Politik ini.

Madzhab Tanpa Manhaj dan Benturan Peradaban

Perdebatan klasik Islam dulu adalah perdebatan madzhab, selalu berkutat pada Sunni dan Wahhabi, waktu itu Syiah belum tersentuh. Hari ini muncul publik figur yang saya pun mengakui kehebatannya, daya tangkap dan ingatannya yang kuat, dia sangat pandai dalam bidang Fiqhul Muqaaran (Perbandingan Fiqh), sering kali dia dakwah menggunakan sumber-sumber Turats (kitab klasik Islam) dan dalil-dalil otoritatif dalam Islam. Bisa diakui sisi dia adalah orang NU, meskipun lahir dari pendidikan Jam'iyatul Washliyah yang sama persis Syafi'iyah seperti Nahdlatul Ulama.

Argumentasi-argumentasi yang ia lontarkan dengan lantang tegas dan memukau jamaahnya sehingga muncul rasa simpatik dari sebagian kalangan ummat Islam layaknya orator yang memukau semangat para demonstran. Fenomena ini sangat unik, ada sebuah gerakan baru dalam Islam yang sudah kehilangan simbol atau barang lamanya sudah tak laku dijual. Ada penunggang kuda hitam di situ yang mencoba membenturkan Sunni dengan Sunni atau Sunni dengan Syiah.

Fenomena ini bukan sembarang fenomena, karena aktor-aktor ini sedang berlomba-lomba membangun konstruksi sosial baru di masyarakat muslim untuk membenturkan Negara dan Agama. Setelah runtuhnya fasisme, komunisme, dan monarki lahirlah demokrasi yang dipahami oleh negara adidaya Amerika Serikat sebagai ideologi terakhir dan termutakhir yaitu kapitalisme (kaum pemenang).

Francis Fukuyama dalam buah karya monumentalnya, The End of History and The Last Man, berkata, “…ia (demokrasi) menaklukkan ideologi-ideologi pesaingnya seperti monarki turun-temurun, fasisme dan baru-baru ini komunisme” (Fukuyama, 2004: 1). Begitu pula Samuel P. Huntington dalam The Third Wave yang menegaskan bahwa kejatuhan komunisme dunia sebagai momentum kelahiran kembali demokrasi secara utuh. Prediksi yang dibangun Fukuyama dan Huntington adalah sebuah goncangan besar benturan antarperadaban besar di dunia, sehingga demokrasi adalah jalan terakhir untuk menjadi nation state (negara bangsa).

Di Indonesia masih banyak orang yang menentang komunisme meskipun komunisme dan Islam dalam pandangan Gus Dur mempunyai hubungan diametral, di satu sisi bisa diterima bisa juga ditolak. Banyak dari kalangan masyarakat Indonesia yang menolak secara keseluruhan paham komunisme namun, di sisi lain dia menolak juga demokrasi dan menawarkan Khilafah "Monarki-Teokrasi". Umpamanya negara komunis dia lawan negara kapitalis juga dilawan, tiba-tiba minta supaya ada Khalifah tunggal di dunia.

Mereka tidak paham, bahwa "Khilafah isme" dalam Islam itu tidak ada sistem dan konsep Qath'i-nya, tidak ada Nash yang secara eksplisit menyebutkan sistem Khilafah seperti yang mereka fahami. Dalam Magnum Opusnya al-Mawardi di Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah semua sistem pemerintahan itu sifatnya Ijtihadi, bahkan al-Mawardi menyebutkan ada Istilah Ahlul Ikhtiar (konstituen dan Hakim), ada Ahlul Halli wal 'Aqdi (DPR), ada Ahlu al-Syura (MPR), ada Khalifah/Presiden dan al-Wajir/Menteri (Pelaksana Eksekutif). Sudah selesai lah Indonesia dengan Trias Politica tersebut.

Kembali terhadap benturan antarperadaban tadi, negara adidaya Amerika memanfaatkan sejarah romantisme Khilafah Islamiyah sebagai alat untuk membenturkan negara Timur Tengah yang mempunyai peradaban kuat di dunia untuk memuluskan ekonomi kapitalisme mereka, seperti yang ditulis oleh Hamdan  Zoelva dalam artikel Refleksi Akhir Tahun "Bagi Amerika Serikat, Islam adalah ancaman serius bagi berkembangnya misi kapitalisme yang tak lain berkisar pada imperialisme, kolonialisme, dan penaklukan seluruh bangsa dengan ragam cara mulai dari perang moneter, perang ekonomi, serta budaya hingga tarung senjata yang dapat membahayakan kehidupan dan masa depan dunia".

Menemukan Simbol Baru

Setelah hilangnya popularitas Rizieq Shihab sebagai NU kultural dan Bachtiar Nasir sebagai Muhammadiyah kultural yang ingin membentuk negara Islam dan syariahisasi dengan berbagai gerakan dan manuvernya, muncul sosok Ustadz Abdul Shomad yang dicitrakan sebagai Ulama Pemersatu yang disebut oleh jamaahnya sebagai penganut manhaj ukhuwah.

Issue simpang siur dari mulai Raja Brunei hingga Presiden Turki ingin menjadikan dia sebagai Mufti kerajaan. Ini yang saya khawatirkan, penunggang kuda hitam tersebut memanfaatkan popularitas Shomad untuk menghantam lawan politiknya. Bukan hanya itu Abdul Shomad juga mencoba bermain peta pecah belah NU (Devide et impera), dia mengatakan "Ikutilah NU Garis Lurus" Buya Yahya, Idrus Ramli, dan Luthfi Bashori, Abdul Shomad juga digadang-gadang oleh jamaahnya sebagai pengganti dari Sa'id Aqil Siradj (Ketua Umum PBNU). Sungguh lucu mereka ini, segitunya untuk menggembosi NU. NU bak raksasa besar yang mau diruntuhkan oleh anasir-anasir Islam fundamental yang menunggangi Abdul Shomad.

Fenomena ini yang dimanfaatkan oleh Amerika untuk membenturkan peradaban Islam demi kelancaran cita-citanya yaitu ketergantungan abadi terhadapnya dari mulai ekonomi, politik, dan kemandirian. Seringkali Amerika membentuk musuh rekaan, Isu awal adalah membendung komunisme. Noam Chomsky memberi analisis mengenai hal ini sebagai suatu ambisi Barat, di bawah komando Amerika Serikat untuk mengambil alih seluruh jejak penjajahan masa lalu ke dalam satu persekutuan kaum kapitalis dunia. Kapitalisme dapat berkembang dengan menciptakan musuh, baik ril maupun rekaan.

Musuh rekaan Amerika di Indonesia adalah Komunisme dan Syiah karena kapitalisme sangat takut dengan kebangkitan Komunisme (Leninisme-Marxisme), dan Syiah sebagai representasi dari Negara Islam Iran paling kuat, saat ini musuh nomer Wahid Amerika adalah Iran. Sosok Abdul Shomad lah yang dimanfaatkan mereka untuk menyerang lawan politiknya dengan issue rekaan Amerika, muncullah simbol baru dalam Islam yaitu Madzhab Ukhuwah Islamiyah Fundamentalisme.

Rikal Dikri Muthahhari

Wallahu al-Muaffiq.




Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: