Tulisan ini bukan resensi film "Bid'ah Cinta" yang tersebar di layar lebar seluruh penjuru tanah air. Tulisan ini saya sampaikan atas dasar cinta, bukan atas dasar hukum, hukum akan lebur ketika ada cinta. Sebagai contoh ketika Adam dikeluarkan dari surga dia bertaubat bersujud di atas batu, dalam sujudnya Adam memohon ampunan beribu-ribu kali mengucapkan "Rabbanaa Dzalamnaa Anfusanaa wa In Lam Taghfir Lanaa Wa Tarhamanaa Lanaakunanna min al-Khaasiriin". Tak kunjung Tuhan memberi pengampunan kepadanya, Adam menengadah ke atas langit, di langit tertulis "Tulisan Suci" berlafal "Asyhadu an Laa Ilaaha illallah, Wa Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah", Adam dengan seketika mengucapkan kalimat; "Innii Atawassalu Bihaadzal Asmaa' an Taghfira Lii" artinya Aku bertawassul dengan Nama yang tertulis itu (Muhammad), wahai Tuhan ampunilah dosaku. Kendati Allah pun mengampuni Adam atas segala dosa-dosanya.
Maulid Nabi adalah sebuah peringatan dan perayaan. Peringatan untuk mengingat kembali sejarah agung mulia Rasulullah Saw, perayaan adalah merayakan kebahagiaan kita atas lahirnya sosok mulia Baginda Nabi dan rasa Syukur yang tiada tara. Aku katakan al-Madad Ya Rasulullah (sungguh rasa cinta ini pada mu Wahai utusan Allah).
Seorang 'Arif Tuan Guru Ijay (Guru Sekumpul) berkata; Idzaa dzakarta Muhammadan bil Shalaat, Fa Ataahu ’Indaka. Artinya, ketika engkau mengatakan Nama Mulia "Muhammad" dengan bershalawat maka Rasulullah datang dan duduk di sampingmu.
Maulid tidak bisa dijustifikasi dengan hukum, karena Maulid adalah persoalan rasa dan cinta. Bid'ah juga bukan hukum, Bid'ah itu inovasi yang nantinya bisa dihukumi atau diberi label, apakah hukumnya wajib, sunnah, makruh, mubah, atau haram. Apakah kita mencintai seorang Nabi itu salah? Dan dihukumi sebagai pendusta, bahkan lebih berdosa ketimbang orang zina Muhson.
Saya punya teman dulu satu pondok, dia pintar daya ingatnya lumayan tajam, hafalannya juga lumayan banyak. Seketika keluar dari pondok dan dia pindah ke salah satu Yayasan penghafal Al-Qur'an dia berubah drastis, awal-awal dia membid'ahkan maulid nabi, selanjutnya menyesatkan kaum sufi, seterusnya mengkafirkan Syi'ah, dan seterusnya bersemangat menegakkan Khilafah Islamiyyah ala Minhajin Nubuwwah yang dia pahami dari Ustadznya dan dari kitab-kitab terjemahannya.
Saya sampaikan kepada dia, "Saya masih istiqamah dalam ajaran dan wasiat KH. Saepuddin Zuhri Rahimahullah", jika anda mau berbeda ya silahkan sah-sah saja itu hak anda cuma saya hanya berpesan, "Jangan mudah menyesatkan dan mengkafirkan orang!". Dalam Ahlussunah yang saya pahami seperti dalam kitab Jauhar al-Tauhid, Ahlussunah tidak mudah mengkafirkan orang, baik itu Syiah, Muktazilah, Wahhabi atau yang lainnya.
Dalam tradisi Ahlussunah ada sebuah ijtihad Ulama yang berbunyi; Maa Jaraa Baina al-Shahaabi Naskutu (kita lebih baik diam atas segala hal "huru-hara" yang terjadi pada masa Sahabat), argumentasi ini untuk mengcounter satu golongan yang sering mencaci Sahabat dan mereka susah move on. Dalil satunya lagi; "Nahnu Laa Nukaffiru Ahlal Qiblat", (Kami tidak mengkafirkan Ahli Kiblat), selagi dia mengucapkan Syahadatain dan shalat menghadap kiblat itu bukan kafir dan dia adalah saudara sesama muslim, dalil ini untuk menyerang kaum Wahhabi yang selalu arogan dan merasa benar sendiri.
Ibadahlah dengan cinta, jadilah hamba yang 'arif dan bijaksana dalam bersikap. Jagalah lisanmu sebagaimana dalam pasal 3 bait ke 3 Gurindam Raja Ali Haji mengatakan; "Apabila terpelihara lidah,
Niscaya dapat daripadanya paedah."
Wallahul Muaffiq.!
0 komentar: