KH. Busyrol Karim Zuhri |
Reuni 54th Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning
Setiap zaman ada pemimpinnya, setiap pemimpin ada zamannya, siklus itu berjalan sesuai rotasinya. Kun Ibna Zamaanika! Jadilah anak zamanmu! Kata al-Gazali. Apa yang dimaksud dengan anak zaman? Yaitu manusia yang mampu menguasai ilmu yang berkembang di masanya, tanpa melupakan ilmu yang lama dan mempersiapkan perkembangan keilmuan yang akan datang.
Artikel ini saya tulis hanya sebagai catatan kecil dari ceramah KH. Busyrol Karim Zuhri di acara reuni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning yang ke 54.
Sedikit saya mencatat poin-poin penting isi ceramah dengan papan keyboard HP berbahasa Arab, sambil melihat kawan di sebelah yang terkantuk gara-gara begadang malam, ngobrol, temu-kangen, cerita masa lalu dengan kawan-kawan sebayanya.
Kang Ujang sapaan anak pertama KH. Saepuddin Zuhri telah mencoba meneguhkan kembali Asas Tunggal Pancasila dan eksistensi Pesantren Haurkuning sebagai pesantren yang konsisten membina umat dan persatuan wathaniyah. Dalam ceramahnya, Pesantren Haurkuning tidak diragukan lagi kelamin ke-NU-annya, karena itu merupakan wasiat dari pendiri pesantren dan wasilah untuk tercapainya ghayah yaitu dimensi transendental jalan menuju Tuhan.
Baginya pesantren Haurkuning itu kecil, Lirboyo juga kecil, Tebuireng juga kecil, yang besar adalah Pesantren NU. Tanpa NU pesantren tidak akan besar, dan begitu pula sebaliknya. Kang Ujang percaya bahwa;
الطلبة ورثة العلماء والعلماء ورثة الأنبياء
Santri adalah pewaris para Ulama, dan Ulama adalah pewaris para Nabi.
Untuk mewadahi warisan ini perlu adanya suatu lembaga yaitu NU dan Pondok Pesantren. Seperti yang diungkapkan oleh Imam Ali;
الحقّ بلا نظام سيغلبه الباطل بنظام
Kebenaran yang tidak terorganisir akan kalah oleh kebathilan yang terorganisir.
Dalam bahasa lain كينغ مارتن لوثر (King Martin Luther) seorang pandito Nasrani mengatakan;
المصيبة ليس في ظلم الأشرار بل في صمت الأخيار
Musibah akan terjadi bukan karena banyaknya orang jahat (dzalim) melainkan karena diamnya orang baik.
Dalam bahasa Barat; "The greatest tragedy of this period of social transition was not the strident clamor of the bad people, but the appalling silence of the good people." (Martin Luther King, Jr.)
Beliau juga mengungkapkan sebuah term tentang jamaah dari Ibnu Mas’ud yang dikutip dari kitab Mansyurah Diniyah, jamaah adalah;
الجماعة ماوافق الحق ولو كنت وحدك
Jamaah adalah kebenaran yang telah disepakati meskipun engkau seorang.
Bagi Kang Ujang, NU adalah jamaah suatu kebenaran, meskipun banyak berbagai fitnah menimpanya, karena itu merupakan konsekuensi dari kebenaran pasti banyak cobaan, bagaimana KH. Hasyim Asy’ari dahulu difitnah sebagai antek penjajah, tapi tetap tegar dalam keimanannya dan konsistensi kebangsaannya.
Pesantren Haurkuning ini dinamai oleh ayahnya sepeninggal dari Makkah Al-Mukarramah dengan nama Baitul Hikmah. Apa itu hikmah? Hikmah bukanlah ilmu kebal, hikmah bukan juga ilmu yang mampu berjalan di atas genangan air, atau ilmu untuk terbang seperti burung elang. Hikmah adalah;
حكمة ؛ العلم بأحكام الله التي لم يدرك علمها الا ببيان رسول الله
Hikmah adalah ilmu tentang hukum (kebijakan) Allah yang mana ilmu itu tidak akan diketahui tanpa penjelasan dari Rasulullah.
Term ini dikutip dari Maqalah Abu Ja’far dalam Kitab Karya KH. Syihabuddin Muhsin. Dalam penjelasannya bagaimana mungkin orang memahami Tuhan tanpa penjelasan (Bayan) dari Rasul-Nya, dan bagaimana mungkin mengenal Rasul tanpa mempelajari naskah-naskah para Ulama terutama Aimmatul Madzaahib (Ulama Madzhab) inilah yang dipertanyakan dan dijawab kembali oleh Kiai Haji Saepuddin Zuhri kepada anaknya KH. Busyrol Kariem perihal perbedaan NU, Persis, dan Muhammadiyah.
Pesantren Haurkuning telah lama berpuluh-puluh tahun bergelut di bidang ilmu gramatikal bahasa Arab dengan ijazah sanad Alfiyah ibn Malik dari Raden Utsman Sadang Garut. Dikisahkan waktu itu KH. Saepuddin Zuhri membuka sebuah padepokan kecil di Puncak Haur Tasikmalaya dengan jumlah santri yang masih terhitung jari.
Tepatnya ada seorang santri as-Sabiquna al-Awwalun (generasi old) yang disuruh KH. Saepuddin Zuhri untuk mengikuti pasaran di pesantren Raden Utsman. Menurut hikayat, santri itu tertitip salam dari gurunya KH. Saepuddin Zuhri untuk Raden Utsman. Dikala bertemu dan menyampaikan salam kepada Raden Utsman, santri itu ditanya “Siapa gurumu itu yang namanya Ajengan Saepuddin Zuhri?”, santri itu menjawab “beliau dulu murid Pak Kiai juga”, Raden Utsman terhening, dan tiba-tiba dia bicara “tolong sampaikan ke Gurumu Ajengan Saep, saya tidak merasa memberikan ilmu Alfiyah ibn Malik ke dia, dan suruh dia mondok dan silaturrahim ke sini!”.
Biasanya yang namanya Kiai sepuh kadang sudah lupa dengan nama santrinya, dan itu yang kita alami di pondok pesantren saking banyaknya jumlah santri.
Akhir cerita, pesan dari Raden Utsman disampaikan kepada KH. Saepuddin Zuhri, dan akhirnya pendiri pesantren Haurkuning itu datang sowan ke gurunya. Tiba di Sadang, Raden Utsman nanya “Kapan kamu belajar di sini, dan kapan kamu saya suruh mengajar Alfiyah ibn Malik?”. KH. Saepuddin Zuhri menjawab dengan nada Sunda yang amat halus (bahasa lentong), yang artinya;
“waktu itu Kiai membacakan sebuah bait Alfiyah sebelum saya pamit dari pesantren ini, bait Alfiyah itu berbunyi; Nahwu Halaltu Maa Halaltahu Wa Fii # Jazmin Wa Syibhil Jazmi Takhyiirun Qufi, terus Kiai mengatakan Halaltu Maa Halaltahu, saya telah menghalalkan apa yang dihalalkan olehmu, silahkan bawa Alfiyah ini untuk mempelajari ilmu Allah dan Bayan Rasulullah”.
Raden Utsman pun mengingat kembali ucapannya itu, dan akhirnya ilmu Alfiyah ibn Malik itu telah mendapatkan restunya.
Sekian kisah yang diceritakan oleh KH. Busyrol Kariem di depan para alumni, menurutnya yang terpenting adalah istiqamah (konsistensi) seperti yang diucapkan ibn Malik dalam bait bab Kalam;
كلامنا لفظ مفيد كاستقم
Lafal Istaqim adalah bentuk amar (perintah untuk tetap istiqamah). KH. Busyrol Kariem memberikan tafsir terhadap lafal istaqim dengan maqalah ulama yang berbunyi;
إشارة الا ان العلم لا يحصل الا بالاستقامة
Lafal Istaqim adalah sebuah isyarat bahwa sesungguhnya ilmu tidak bisa diraih tanpa istiqamah.
Sebagai penutup, kurang lebihnya dari tulisan ini mohon maaf jika ada yang keliru. Mudah-mudahkan kita tetap istiqamah menjalankan wasiat dari guru-guru kita.
والله الموفق الى أقوم الطارق
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
0 komentar: