Friday, December 9, 2016

ORTODOKSI ISLAM: MEMAHAMI KONFLIK SUNNI-SYI'AH


Memahami kondisi Islam masa kini, tak lepas dari sejarah romantisme masa silam, meskipun argumen-argumen abad pertengahan masih dipakai oleh golongan Islam konservatif sampai saat ini. Islam yang sifat fleksibel bisa dilihat dari berbagai dimensi sosial sehingga melahirkan varian-varian dari ortodoksi Islam, sebagai mana sejarah kekhalifahan Islam pasca Rasulullah saw yang dipegang oleh beberapa khalifah, tak sesempurna seperti kepemimpinan Rasulullah saw, sehingga menimbulkan konflik internal dari berbagai kalangan dikarenakan ada pandangan dan pemahaman terhadap teks-teks wahyu dan hadits yang tak sepaham.

Dalam berbagai disiplin ilmu sejarah Islam, Rasulullah saw, Ahlul Bayt, Khulafa ar-Rasyidin, Dinasti, dakwah, ekspansi wilayah, perang dan lain sebagainya tak bisa dipisahkan dari objek sejarah yang ada. Islam pasca Rasulullah saw meninggal sudah mulai muncul beberapa varian dan intervensi dari luar, seperti munculnya golongan Syiah yang meyakini bahwa Rasulullah saw berwasiat kepada Ali Kw untuk menggantikan kepemimpinan pasca Rasulullah saw meninggal, namun ada dari golongan selain Ahlul Bayt Nabi yang tak percaya dengan adanya wasiat itu.

Islam Syiah adalah varian dari ortodoksi Islam, begitu juga Sunni, Mu’tazilah, Jabbariyah dan sebagainya. Dalam tradisi Syiah ada yang namanya peringatan hari raya ‘Ied al-Ghadir  atau Ghadir Khum yaitu sebuah perayaan yang dilangsungkan oleh muslim Syiah untuk memperingati peringatan khotbah terakhir Rasulullah saw yang mana dalam isi khotbahnya Rasulullah saw menegaskan bahwa Ali Kw adalah Khalifah yang sah untuk menggantikan Rasulullah saw, sedangkan dari kalangan Sunni tidak mengakui adanya Ghadir Khum itu, pada masa itu muncul konflik antara orang yang pro terhadap Ali Kw dan pro terhadap Abu Bakar dan yang lainnya hanya dikarenakan prestise merebut posisi kekuasaan, Ali Kw yang pada waktu itu masih muda, mengalah demi tidak terjadinya konflik antar saudara.

Abu Bakar di Bai’at sebagai Khalifah dan terus berlanjut sampai kepada kekhalifahan Ali Kw, sehingga muncul lagi konflik yang lebih luas antara Ali Kw dan pendukung Usman ibn Affan dikarenakan terjadi pembunuhan terhadap Utsman, atas semuanya itu muncullah perang Shiffin antara golongan Ali dan Muawiyah,

Ali tumbas kepemimpinannya setelah dibunuh oleh Abdul Rahman bin Muljam dan digantikan oleh Imam Hasan bin Ali, tak lama Imam Hasan menjabat, kondisi sosial politik yang tak stabil dikarenakan di Iraq dan Syiria banyak pasukan Muawiyah maka al-Hasan mau tak mau harus memberikan kekuasaannya terhadap Muawiyah dikarenakan tidak ingin ada konflik internal yang parah lagi.

Penulis menganalisis konflik seperti Sunni dan Syiah  ini berawal dari momen-momen yang bernuansa politis, seperti kita ketahui adanya, ‘Iedul Ghadir, Hari ‘Asyura, Syahadah Fathimah, dan lain-lain yang berdampak terhadap pemahaman teologis, sebagaimana dinasti Safawiyah cikal bakal Iran masa kini adalah sebagai pusat muslim Syiah.

Dalam teori masuknya Islam ke Indonesia seperti diketahui oleh kita ada teori masuknya Islam dari Persia maka dari itu tak heran ketika di Indonesia ada muslim Syiah yang lumayan cukup besar, di Indonesia sendiri banyak berbagai problem dalam memahami Islam meskipun dalam bingkai kesatuan. Konteks Indonesia yang yang berfalsafah terhadap Pancasila sampai saat ini kurang mampu meredupkan konflik semacam agama. Seperti kasus Syiah di Sampang pada tiga tahun yang lalu, konflik yang berawal dari urusan keluarga dan harta namun ditarik ke dalam masalah teologis, sehingga issue semacam ini bisa langsung menjadi tranding topic di berbagai media. Di situlah ummat muslim Syiah kadang merasa termarjinalkan dikarenakan sebagai komunitas minoritas, namun Syiah selalu bangkit dari momentum-momentum penting seperti kita ketahui revolusi Iran terinspirasi oleh spirit Imam Hussein yang terjadi di Karbala.


Islam Syiah sebenarnya berkontribusi besar terhadap Islam Sunni Indonesia seperti Maulidan, Tahlilan, Haul dan sebagainya, Sunni di Indonesia terlalu banyak yang mengklaim ada NU, Muhammadiyah, Persis dan lain-lain, namun ada yang berpandangan bahwa Sunni itu bukan hanya sebagai madzhab teologi melainkan juga sebagai Manhajul Fikr (Metode berfikir). Ada hal yang menarik jika Sunni dikatakan sebagai Manhajul Fikr sebagai Islam yang moderat, toleransi maka konflik antara Sunni dan Syiah tak akan berlanjut sampai saat ini, dan argument-argumen abad pertengahan pun mulai terekonsoliasi untuk melihat masa depan ummat Islam di dunia sebagai agama yang mayoritas dipengang oleh masyarakat dunia Islam harus menjadi ummatan wasathan (ummat yang moderat)
Share This
Previous Post
First

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: