Friday, December 9, 2016

PMII DARI MADZHAB KE MANHAJ: REFLEKSI GERAKAN AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH


Nahdlatul Ulama sejak berdiri pada tanggal 31 januari 1926 sudah menyatakan bahwa dirinya adalah organisasi keagamaan yang berlandaskan ajaran Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah yang berpegang teguh terhadap Madzahibul Arba’ah (empat madzhab) dalam fiqh, mengkuti dua Imam besar dalam bertasawuf (al-Gazzali dan al-Junaidi), dua Imam dalam bidang teologi (al-Asy’ari dan al-Maturidi). Islam Ahl al-Sunnah waal-Jamaah yang dianut dan dipahami oleh Nahdlatul Ulama adalah Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah yang berkarakter tawassuth (moderat), tasaamuh (toleran), tawaazun (seimbang), dan I’tidal (adil). Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah secara harfiah adalah golongan orang-orang yang mengikuti sunnah Rasul dan para sahabat-sahabatnya (maa ana ‘alaihi wa ashhabiy).

Dalam sejarah peradaban Islam tak heran lagi mengenal perang, ekspansi wilayah, dan perluasan strategi geopolitik kerajaan-kerajaan Islam diabad awal. Pasca Rasulullah saw wafat Islam berkembang secara luas berkat para sahabat, tabii, atba’ al-tabiin dan ulama. Namun dalam perkembangan Islam pada masa itu diikuti pula dengan berkembangnya pemikiran Islam dan melahirkan cendekiawan-cendekiawan baru yang membawa Islam kedalam masa keemasan. Di sisi lain juga memunculkan semacam tantangan atau kondisi yang kadang tidak stabil dikarenakan hiruk pikuknya sosial budaya dan konflik politik saling berebut kekuasaan yang berdampak besar terhadap pengaruh teologi dalam masyarakat muslim, sehingga muncullah perpecahan antar ummat Islam yang begitu variatif dan banyak yang mendefinisikan bahwa manhaj yang dikategorikan al-Firqatu al-Najiyah (golongan yang selamat) adalah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.

Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah adalah aliran teologi dalam Islam yang mengikuti pemikiran Asy’ariyah dan Maturidiyah, aliran teologi sendiri berawal dari tradisi kaum Muktazilah yang mengadopsi pemikiran-pemikiran Yunani, bahkan Abu Hasan Al-Asy’ari sebagai pembangun pondasi pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah merupakan kader Muktazilah, lebih jauhnya katakanlah beliau alumni Muktazilah. Sedangkan yang kita pahami bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah ini adalah sebagai ideology keislaman ala Nahdlatul Ulama di Indonesia, namun di kalangan pemikir muda NU terutama yang tergabung dalam organisasi kemahasiswaan yaitu PMII (Pergerkan Mahasiswa Islam Indonesia), Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah dipahami sebagai Manhaj al-Fikr (Metode Berpikir), 17 April 1960 PMII lahir atas aspirasi mahasiswa NU untuk mewadahi semua warga NU yang berada di perguruan tinggi. PMII sebagai anak kandung, bahkan bisa dikatakan anak biologis dan ideologis NU pasti jelas tak beda jauh dengan induknya bagaikan buah jauh dari pohonnya, namun melihat kondisi PMII saat ini sepertinya buah yang jatuh dari pohonnya itu telah tergerus jauh oleh air sungai.

Terminologyi Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah yang kita pahami dan kita yakini tal lepas dari sosio-kultural masyarakat dizaman Rasulullah saw karena di negeri Arablah Islam lahir, Islam lahir di tengah-tengah masyarakat yang fanatisme terhadap Qabilah (suku) karena pada masa Rasulullah saw sebagai pemimpin agama bahkan negara ummat itu bersatu tanpa berpecah belah namun pasca Rasulullah saw wafat, bahkan ketika beliau sedang Syakratul Maut ummat Islam pada masa itu telah berpecah belah entah ada penyusup atau yang mempropagandakan ummat Islam oleh golongan lain, tapi lebih jelasnya sosio-kultural masyarakat Arab yang fanatic terhadap Qabilah (suku), sehingga Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah yang kita pahami saat ini tak jarang memunculkan paradigm jumud, kaku, dan ekslusif atau menganggap sebagai sebuah madzhab atau ideology yang qath’i (absolut), bagaimana mungkin dalam suatu madzhab mengandung beberapa madzhab, dan bagaimana mungkin dalam satu ideology ada doktrin yang kontradiktif atau doktrin imam satu dengan imam lain.

Pada tahun 14 Juli 1972 di Malang, Jawa Timur berkumpulah para mahasiswa NU membahas tentang independensi PMII, pada masa itu PMII sudah berusia satu decade, sudah lebih dari sepuluh tahun menginjak masa remaja atau pubertas bisa dikatakan juga akil baligh kalau manusia, mungkin PMII sudah mimpi basah pada waktu itu dan diwaktu itu PMII bukan lagi sebagai organisasi kecil yang hanya memiliki beberapa cabang tapi PMII pada waktu itu sudah memiliki ribuan kader, sudah banyak tokoh-tokoh yang disegani seperti Mahbub Junaidi, Ahmad Zamroni yang mampu menjadi presidium satu KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dikalangan aktivis 66 PMII sudah disegani. PMII yang semakin besar di tengah situasi politik pada masa itu yaitu masa orde baru yang semakin menekan dengan konsep NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Kordinasi Kemahasiswaan) lalu ada organisasi Cipayung yang benar-benar menentang terhadap orde baru pada masa itu, PMII harus menanamkan sikap sementara di sisi lain NU pada waktu itu masih bergabung dalam PPP setelah ada kebijakan visi partai atau transformasi partai di Indonesia dari ordebaru pada masa itu, NU, PARMUSI, MASYUMI dan sebagainya itu tergabung menjadi satu partai Islam berlogo Ka’bah (PPP), nah disini banyak kaum-kaum muda NU pada waktu itu yaitu PMII yang berpikir bahwa keberadaan NU di PPP itu adalah sebuah kegelisahan dalam artian NU di situ hanya menjadi bantalan, menjadi peraut suara di PPP terutama zamannya Naro, sedangkan di situ NU mempunyai masa yang besar dan hal inilah yang menjadi kegelisahan intelektual muda NU pada masa itu, intinya dikarenakan NU pada masa itu berada dalam sebuah partai dan partai lebih dekat dengan rezim sedangkan PMII sebagai interest group sebagai mahasiswa yang berpikir bebas tidak ingin mengorbankan NU sebagai induknya yang lebih besar, pada akhirnya diputuskanlah bahwa PMII memilih jalur independen, independen di sini kalau say ibaratkan sebuah anak yang sedang merantau jauh.

Jika kita membaca hasil deklarasi Murnajatim di situ tertulis bahwa PMII berideologikan Pancasila dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah sebagai Manhaj al-Fikr dan ini jelas tertuang dalam tujuan PMII pasal 4 yaitu untuk melanjutkan cita-cita kemerdekaan, pada waktu itu pasca NU menerima azas tunggal yaitu Pancasila, PMII pada masa itu menekankan bahwa ideology kita itu adalah Pancasila dan Manhaj al-Fikr kita adalah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah al-Nahdliyah tapi PMII menjadi independen tidak terikat atau menjadi underbow partai manapun, nah pada waktu itu sudah terjadi polemic ketika adanya independensi ini, polemic itu yang paling kuat misalkan antara Sahabat Kholid Mawardi dan Sahabat Mahbub Junaidi, Khalid Mawardi sebagai salahsatu pendiri PMII tidak setuju untuk PMII itu idenpenden alasannya adalah ditakutkannya bahwa PMII itu akan hilang nilai-nilai ke-NU-annya atau ke-ASWAJA-annya dan sebagainya, namun hal itu dibantah oleh Mahbub Junaidi di satu sisi Mahbub Junaidi itu bilang bahwa tidak bisa seperti itu, politik itu penting dan untuk berpolitik ya harus independen dalam artian independen PMII harus bebas, sikap dalam NU itu para orang tua atau kiai-kiai itu anti kritik konsep tawadlu itu yang didahulukan, sehingga kritik itu di simpan di kantong belakang, kalau istilahnya Mahbub “nggah,nggih, iya, iya” atau manut (tawadlu) itu dikantong depan, dan ini tidak bisa ketika PMII itu ingin menjadi besar, PMII harus besar dan untuk melawan kepemerintahan memang harus dipersiapkan, dengan independensinya PMII ini akan membantu ketika NU sudah menjadi organisasi yang besar dan akan menjadi power dibidang politik di situ anak-anak muda NU yang selama ini gagasan-gagasan NU pada waktu masa PPP itu sebenarnya tidak tersampaikan secara full karena hanya menjadi vote gather.

Pada akhirnya independensi di ketuk dan PMII menjadi independen di situ mulai muncul paradigm-paradigma yang sungguh radikal misalnya paradigm arus balik masyarakan pinggiran yang lontarkan oleh Sahabat Muhaimin Iskandar di situ bagaimana masyarakat pinggiran dan sebagainya itu diajak untuk melawan pemeritah dan sebagainya, dan ini tidak mungkin bisa dilakukan ketika PMII masih dibawah ketek NU sehingga aka nada benturan-benturan dan banyak hal yang terjadi, apalagi mengingat tahun 84 NU kembali ke hittah saat NU kembali kehittah dan melancarkan gerakan-gerakan kultural dan tidak melakukan gerakan-gerakan yang bebas seperti sat ini. Saya pikir sekiranya jika hanya membahas independensi PMII sebagai gerakan mahasiswa yang lahir dari Rahim NU tak perlu kembali lagi ke NU hanya dikarenakan permasalah Aswaja, tapi bagaimana caranya PMII bisa mencetak kader-kader PMII yang paham betul tentang Aswaja, jika ditahap MAPABA anggota PMII harus menjadi kader mu’taqid bukan muqallid, jika ditahap PKD kader PMII harus menjadi kader yang yakin terhadap Aswaja, jika ditahap PKL kader PMII harus menjadi kader yang ‘Ainul Yaqin terhadap Aswaja, jika mengambil termnya Imam al-Gazali ada yang namanya iman ilmu, iman yaqin, iman a’inul yaqin tiga tahap ini yang menjadi perantara menuju hakikan makrifat terhadap Allah dan makrifat terhadap PMII, dan hal seperti ini tidak perlu lagi PMII masuk menjadi badan otonom NU lagi, cukup dengan kebijakan-kebijakan dari PB. PMII sebagai senter kepemimpinannya.


Terlalu jauh jika kita mengkaji Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah di kalangan PMII, kita harus lagi membuka kitab-kitab klasik karya-karya ulama Aswaja, kita harus membuka Ihya ‘Ulumuddin katakanlah, dan ini terlalu berat bagi kader-kader PMII di kampus-kampus yang bunkan jebolan pondok pesantren, tapi PMII harus bisa mengambil garis besarnya tentang Aswaja yaitu terjadi gejolak pemikiran di kalangan intelektual muda NU bahwa cukup saja Aswaja sebagai Manhajul al-Fikr yang berkarakter tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazzun (seimbang) dan ta’addul (keadilan). Pendapat penulis mengenai masalah pengkaderan PMII ada kesenjangan antara pengkaderan di universitas Islam dan universitas umum, katakanlah di universitas Islam PMII bisa menjual nilai ke-islamannya sedangkan di universitas umum PMII tak mungkin menjual dengan nilai ke-islamannya, saya ambil contoh di IPB (Institute Pertanian Bogor), di IPB itu PMII hanya sedikit yang besar malah KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama), jadi ada nilai jual yang berbeda, namun bagaimana kita bisa membereskan jajaran-jajaran kaderisasi PMII di kampus Islam dan non Islam (umum).
Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: