Nahdlatul Ulama sejak berdiri pada tanggal 31 januari 1926 sudah menyatakan bahwa dirinya adalah organisasi keagamaan yang berlandaskan ajaran Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah yang berpegang teguh terhadap Madzahibul Arba’ah (empat madzhab) dalam fiqh, mengkuti dua Imam besar dalam bertasawuf (al-Gazzali dan al-Junaidi), dua Imam dalam bidang teologi (al-Asy’ari dan al-Maturidi). Islam Ahl al-Sunnah waal-Jamaah yang dianut dan dipahami oleh Nahdlatul Ulama adalah Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah yang berkarakter tawassuth (moderat), tasaamuh (toleran), tawaazun (seimbang), dan I’tidal (adil). Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah secara harfiah adalah golongan orang-orang yang mengikuti sunnah Rasul dan para sahabat-sahabatnya (maa ana ‘alaihi wa ashhabiy).
Dalam sejarah peradaban
Islam tak heran lagi mengenal perang, ekspansi wilayah, dan perluasan strategi
geopolitik kerajaan-kerajaan Islam diabad awal. Pasca Rasulullah saw wafat
Islam berkembang secara luas berkat para sahabat, tabii, atba’ al-tabiin dan
ulama. Namun dalam perkembangan Islam pada masa itu diikuti pula dengan
berkembangnya pemikiran Islam dan melahirkan cendekiawan-cendekiawan baru yang
membawa Islam kedalam masa keemasan. Di sisi lain juga memunculkan semacam
tantangan atau kondisi yang kadang tidak stabil dikarenakan hiruk pikuknya
sosial budaya dan konflik politik saling berebut kekuasaan yang berdampak besar
terhadap pengaruh teologi dalam masyarakat muslim, sehingga muncullah
perpecahan antar ummat Islam yang begitu variatif dan banyak yang
mendefinisikan bahwa manhaj yang dikategorikan al-Firqatu al-Najiyah (golongan
yang selamat) adalah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.
Ahl al-Sunnah wa
al-Jamaah adalah aliran teologi dalam Islam yang mengikuti pemikiran Asy’ariyah
dan Maturidiyah, aliran teologi sendiri berawal dari tradisi kaum Muktazilah
yang mengadopsi pemikiran-pemikiran Yunani, bahkan Abu Hasan Al-Asy’ari sebagai
pembangun pondasi pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah merupakan kader
Muktazilah, lebih jauhnya katakanlah beliau alumni Muktazilah. Sedangkan yang
kita pahami bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah ini adalah sebagai ideology
keislaman ala Nahdlatul Ulama di Indonesia, namun di kalangan pemikir muda NU
terutama yang tergabung dalam organisasi kemahasiswaan yaitu PMII (Pergerkan
Mahasiswa Islam Indonesia), Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah dipahami sebagai Manhaj
al-Fikr (Metode Berpikir), 17 April 1960 PMII lahir atas aspirasi mahasiswa NU
untuk mewadahi semua warga NU yang berada di perguruan tinggi. PMII sebagai
anak kandung, bahkan bisa dikatakan anak biologis dan ideologis NU pasti jelas
tak beda jauh dengan induknya bagaikan buah jauh dari pohonnya, namun melihat kondisi
PMII saat ini sepertinya buah yang jatuh dari pohonnya itu telah tergerus jauh
oleh air sungai.
Terminologyi Ahl
al-Sunnah wa al-Jamaah yang kita pahami dan kita yakini tal lepas dari
sosio-kultural masyarakat dizaman Rasulullah saw karena di negeri Arablah Islam
lahir, Islam lahir di tengah-tengah masyarakat yang fanatisme terhadap Qabilah
(suku) karena pada masa Rasulullah saw sebagai pemimpin agama bahkan negara
ummat itu bersatu tanpa berpecah belah namun pasca Rasulullah saw wafat, bahkan
ketika beliau sedang Syakratul Maut ummat Islam pada masa itu telah berpecah
belah entah ada penyusup atau yang mempropagandakan ummat Islam oleh golongan
lain, tapi lebih jelasnya sosio-kultural masyarakat Arab yang fanatic terhadap
Qabilah (suku), sehingga Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah yang kita pahami saat ini
tak jarang memunculkan paradigm jumud, kaku, dan ekslusif atau menganggap
sebagai sebuah madzhab atau ideology yang qath’i (absolut), bagaimana mungkin
dalam suatu madzhab mengandung beberapa madzhab, dan bagaimana mungkin dalam
satu ideology ada doktrin yang kontradiktif atau doktrin imam satu dengan imam
lain.
Pada tahun 14 Juli 1972
di Malang, Jawa Timur berkumpulah para mahasiswa NU membahas tentang
independensi PMII, pada masa itu PMII sudah berusia satu decade, sudah lebih
dari sepuluh tahun menginjak masa remaja atau pubertas bisa dikatakan juga akil
baligh kalau manusia, mungkin PMII sudah mimpi basah pada waktu itu dan diwaktu
itu PMII bukan lagi sebagai organisasi kecil yang hanya memiliki beberapa cabang
tapi PMII pada waktu itu sudah memiliki ribuan kader, sudah banyak tokoh-tokoh
yang disegani seperti Mahbub Junaidi, Ahmad Zamroni yang mampu menjadi
presidium satu KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dikalangan aktivis 66
PMII sudah disegani. PMII yang semakin besar di tengah situasi politik pada
masa itu yaitu masa orde baru yang semakin menekan dengan konsep NKK
(Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Kordinasi Kemahasiswaan) lalu ada
organisasi Cipayung yang benar-benar menentang terhadap orde baru pada masa
itu, PMII harus menanamkan sikap sementara di sisi lain NU pada waktu itu masih
bergabung dalam PPP setelah ada kebijakan visi partai atau transformasi partai
di Indonesia dari ordebaru pada masa itu, NU, PARMUSI, MASYUMI dan sebagainya
itu tergabung menjadi satu partai Islam berlogo Ka’bah (PPP), nah disini banyak
kaum-kaum muda NU pada waktu itu yaitu PMII yang berpikir bahwa keberadaan NU
di PPP itu adalah sebuah kegelisahan dalam artian NU di situ hanya menjadi
bantalan, menjadi peraut suara di PPP terutama zamannya Naro, sedangkan di situ
NU mempunyai masa yang besar dan hal inilah yang menjadi kegelisahan
intelektual muda NU pada masa itu, intinya dikarenakan NU pada masa itu berada
dalam sebuah partai dan partai lebih dekat dengan rezim sedangkan PMII sebagai
interest group sebagai mahasiswa yang berpikir bebas tidak ingin mengorbankan
NU sebagai induknya yang lebih besar, pada akhirnya diputuskanlah bahwa PMII
memilih jalur independen, independen di sini kalau say ibaratkan sebuah anak
yang sedang merantau jauh.
Jika kita membaca hasil
deklarasi Murnajatim di situ tertulis bahwa PMII berideologikan Pancasila
dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah sebagai Manhaj al-Fikr dan ini jelas tertuang
dalam tujuan PMII pasal 4 yaitu untuk melanjutkan cita-cita kemerdekaan, pada
waktu itu pasca NU menerima azas tunggal yaitu Pancasila, PMII pada masa itu
menekankan bahwa ideology kita itu adalah Pancasila dan Manhaj al-Fikr kita
adalah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah al-Nahdliyah tapi PMII menjadi independen
tidak terikat atau menjadi underbow partai manapun, nah pada waktu itu sudah
terjadi polemic ketika adanya independensi ini, polemic itu yang paling kuat
misalkan antara Sahabat Kholid Mawardi dan Sahabat Mahbub Junaidi, Khalid
Mawardi sebagai salahsatu pendiri PMII tidak setuju untuk PMII itu idenpenden
alasannya adalah ditakutkannya bahwa PMII itu akan hilang nilai-nilai
ke-NU-annya atau ke-ASWAJA-annya dan sebagainya, namun hal itu dibantah oleh
Mahbub Junaidi di satu sisi Mahbub Junaidi itu bilang bahwa tidak bisa seperti
itu, politik itu penting dan untuk berpolitik ya harus independen dalam artian
independen PMII harus bebas, sikap dalam NU itu para orang tua atau kiai-kiai
itu anti kritik konsep tawadlu itu yang didahulukan, sehingga kritik itu di
simpan di kantong belakang, kalau istilahnya Mahbub “nggah,nggih, iya, iya”
atau manut (tawadlu) itu dikantong depan, dan ini tidak bisa ketika PMII itu
ingin menjadi besar, PMII harus besar dan untuk melawan kepemerintahan memang
harus dipersiapkan, dengan independensinya PMII ini akan membantu ketika NU
sudah menjadi organisasi yang besar dan akan menjadi power dibidang politik di
situ anak-anak muda NU yang selama ini gagasan-gagasan NU pada waktu masa PPP
itu sebenarnya tidak tersampaikan secara full karena hanya menjadi vote gather.
Pada akhirnya
independensi di ketuk dan PMII menjadi independen di situ mulai muncul
paradigm-paradigma yang sungguh radikal misalnya paradigm arus balik masyarakan
pinggiran yang lontarkan oleh Sahabat Muhaimin Iskandar di situ bagaimana
masyarakat pinggiran dan sebagainya itu diajak untuk melawan pemeritah dan
sebagainya, dan ini tidak mungkin bisa dilakukan ketika PMII masih dibawah
ketek NU sehingga aka nada benturan-benturan dan banyak hal yang terjadi,
apalagi mengingat tahun 84 NU kembali ke hittah saat NU kembali kehittah dan
melancarkan gerakan-gerakan kultural dan tidak melakukan gerakan-gerakan yang
bebas seperti sat ini. Saya pikir sekiranya jika hanya membahas independensi
PMII sebagai gerakan mahasiswa yang lahir dari Rahim NU tak perlu kembali lagi
ke NU hanya dikarenakan permasalah Aswaja, tapi bagaimana caranya PMII bisa
mencetak kader-kader PMII yang paham betul tentang Aswaja, jika ditahap MAPABA
anggota PMII harus menjadi kader mu’taqid bukan muqallid, jika ditahap PKD
kader PMII harus menjadi kader yang yakin terhadap Aswaja, jika ditahap PKL
kader PMII harus menjadi kader yang ‘Ainul Yaqin terhadap Aswaja, jika
mengambil termnya Imam al-Gazali ada yang namanya iman ilmu, iman yaqin, iman
a’inul yaqin tiga tahap ini yang menjadi perantara menuju hakikan makrifat
terhadap Allah dan makrifat terhadap PMII, dan hal seperti ini tidak perlu lagi
PMII masuk menjadi badan otonom NU lagi, cukup dengan kebijakan-kebijakan dari
PB. PMII sebagai senter kepemimpinannya.
Terlalu jauh jika kita
mengkaji Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah di kalangan PMII, kita harus lagi membuka
kitab-kitab klasik karya-karya ulama Aswaja, kita harus membuka Ihya ‘Ulumuddin
katakanlah, dan ini terlalu berat bagi kader-kader PMII di kampus-kampus yang
bunkan jebolan pondok pesantren, tapi PMII harus bisa mengambil garis besarnya
tentang Aswaja yaitu terjadi gejolak pemikiran di kalangan intelektual muda NU
bahwa cukup saja Aswaja sebagai Manhajul al-Fikr yang berkarakter tawassuth
(moderat), tasamuh (toleran), tawazzun (seimbang) dan ta’addul (keadilan).
Pendapat penulis mengenai masalah pengkaderan PMII ada kesenjangan antara
pengkaderan di universitas Islam dan universitas umum, katakanlah di
universitas Islam PMII bisa menjual nilai ke-islamannya sedangkan di
universitas umum PMII tak mungkin menjual dengan nilai ke-islamannya, saya
ambil contoh di IPB (Institute Pertanian Bogor), di IPB itu PMII hanya sedikit
yang besar malah KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama), jadi ada nilai jual
yang berbeda, namun bagaimana kita bisa membereskan jajaran-jajaran kaderisasi
PMII di kampus Islam dan non Islam (umum).
0 komentar: