Thursday, April 19, 2018

KRITIK MODERNISME HINGGA POST MODERNISME

Tokoh-tokoh Filsafat


Nietzsche pernah mengatakan “Tuhan telah mati”, yang artinya Hak/Kebenaran telah tiada pada masa itu. Gagasan menghilangnya Tuhan dalam seluruh aspek kehidupan telah merubah peta sejarah Peradaban Barat Modern. Pertama, dunia telah dinegasikan menjadi sebuah dunia evolutif dan impersonalisme (Kebetulan dan Keniscayaan) bahwa setiap penciptaan ada dengan sendirinya. Setiap makhluk hidup berproses menuju tahapan-tahapan evolusionis. Manusia memiliki kehendak bebas dan Tuhan tidak pernah hadir dalam realitas, maupun Realitasnya sendiri. Karena yang hadir dalam realitas adalah materi. Kedua, seluruh makhluk diukur berdasar kualitas-kualitasnya. Terdapat jenjang kualitas, yaitu primer, sekunder dan tersier. Kualitas primer bersifat obyektif, kuantitatif, impersonal. Kualitas sekunder dilihat dari warna, rasa, suara, bau, dll. Kualitas tersier dilihat sebagai kesadaran makna, emosi, kebajikan, baik jahat, benar salah, indah jelek (Griffin 2005, 30-31). Fromm (1990, 83-103) seorang Barat (Orientalis), pernah berpandangan tentang gagasan cinta pada Allah Swt, menurutnya cinta kepada Tuhan (Allah) adalah suatu pengalaman perasaan yang hebat akan kesatuan, yang dihubungkan secara tak terpisahkan dengan ungkapan cinta ini dalam setiap tindakan hidup. Menjadi cinta yang secara hakiki adalah pengalaman pikiran. Dari perjalanan sejarah cinta kepada Allah tersebut, dapat dilihat bahwa dari awal cinta terhadap Allah sebagai keterikatan yang tak berdaya kepada Allah seperti ibu, melalui keterikatan yang taat kepada Allah yang kebapakan, sampai pada suatu kematangan di mana Allah berhenti sebagai kekuatan luar, dan manusia memasukkan prinsip-prinsip cinta dan keadilan dalam diri, menjadi satu dengan Allah, dan akhirnya sampai pada titik dimana ia berbicara tentang Allah hanya dalam arti simbolik. Artinya Allah telah hilang, yang ada adalah cinta atas realitas itu sendiri.

Modernisme Hingga Post Modernisme

Kesalahan modernisme di atas sebagaimana dijelaskan diakibatkan oleh fundamental epistemologi Barat yang menurut Schumacher (1981, 3-5) dihasilkan oleh scientism materialistik modern yang menegasikan masalah yang tak dapat dibuktikan secara empiris, masalah yang berhubungan dengan nilai artistik/seni dan nilai spiritual dan kebenaran mutlak. Hal tersebut diperparah dengan penerapan metode ilmiah yang semakin ketat, atas nama obyektifitas ilmiah, bahwa nilai-nilai dan makna-makna tidak lain daripada mekanisme-mekanisme pertahanan serta bentukan-bentukan reaksi. Bahwa manusia tak lain daripada suatu mekanisme biokimia pelik yang dimotori oleh suatu system pembakaran yang memberi tenaga kepada Komputer-komputer dengan fasilitas-fasilitas penyimpanan yang luar biasa guna memelihara informasi bersandi. Pandangan fisafat modern ini menurut Schumacher dilihat telah sangat mereduksi banyak wilayah perhatian manusia yang telah dilakukan masa-masa sebelumnya. Di samping itu juga telah melakukan reduksi kearifan tradisional yang memiliki tiga dimensi, dimana setiap sesuatu tidak hanya memiliki ukuran kualitatif, penuh makna, tetapi juga tidak dapat dilepaskan dari dimensi vertikal. Reduksi telah menghasilkan pandangan satu sisi parsial yang kuantitatif, artifisial dan materialistik, yang dengan itu semua dapat dimatematisasi.

Atas kesalahan epistemologis itulah, beberapa ilmuwan Barat yang merasa gundah mencoba menengok kembali pada pentingnya nilai-nilai yang selama ini terabaikan. Seperti misalnya Capra dalam bukunya yang sangat fenomenal The Tao of Physics (1999), menggagas perlunya disusun paradigma baru ilmu pengetahuan yang memiliki dua nilai komplementer, nilai-nilai Sains Barat dan Mistik Timur. Karena, berdasarkan pada penelusurannya, sebenarnya terdapat kesejajaran antara ilmuwan Barat dan mistikus Timur. Menurutnya, pandangan dunia modern sebenarnya disamping rasionalisme dan aktivitas intelektual yang terkonsentrasi memiliki gagasan-gagasan yang berasal dari intuisi yang mewujud dalam bentuk rumusan kerangka matematis sebagai bentuk abstraksi metode ilmiah. Abstraksi tersebut sebenarnya adalah bentuk hampiran (aproksimasi) dari pengetahuan empiris yang dituntun oleh intuisi. Tetapi intuisi yang melandasi sains barat masih dalam taraf spontan. Berbeda dengan pandangan dunia mistik Timur yang telah menggali intuisi secara rutin dan dalam jangka waktu lama sehingga akhirnya muncul intuisi dalam bentuk kesadaran tetap. Artinya, sebenarnya dalam tesisnya, Capra (1999) ingin menegaskan terdapat kesamaan apa yang dilakukan oleh ilmuwan Barat dalam menggali kedalaman materi dengan mistikus Timur yang menggali kedalaman kesadaran manusia. Materi yang digali ilmuwan Barat adalah materi yang tak dapat diindera oleh penglihatan langsung, sedangkan yang digali mistikus Timur adalah kesadaran ataupun intuisi yang juga tak dapat diindera oleh penglihatan langsung. Dengan demikian, yang diperlukan sebenarnya adalah dibutuhkannya sains ilmiah yang juga memiliki nilai kesadaran. Seperti ditegaskan dalam penutupnya Capra (1999) menegaskan:

….sains dan mistisisme sebagai dua manifestasi komplementer dari pikiran manusia; dari pikiran rasional dan intuitif …. apa yang kita butuhkan bukanlah sebuah sintesis, namun sebuah pengaruh timbal balik yang dinamis antara mistis Timur dan analisis ilmiah.

…..spiritualitas terbatas pada pengalaman akan hidupnya pikiran dan jasad sebagai suatu kesatuan. Selanjutnya pengalaman kesatuan ini melampaui bukan saja antara pikiran dan abadan, tetapi juga antara diri dan dunia. Pusat kesadaran dalam momen spiritual adalah perasaan yang menyatu yang mendalam dengan segala sesuatu, perasaaan kebersamaan dengan seluruh alam semesta.
Spiritualitas yang terkait dengan visi baru realitas yang telah saya uraikan secara garis besar di sini kemungkinan besar merupakan suatu spiritualitas yang ekologis, berorientasi kebumian, dan postpatriarkal.

Seperti telah ditelusuri Capra dalam tulisan-tulisan lanjutannya seperti The Turning Point dan The Web of Life, nilai-nilai baru yang perlu diterjemahkan untuk melengkapi kekurangan sains modern haruslah memiliki nilai-nilai selain materi (matter), yaitu bentuk (form) dan proses (process) serta terakhir dalam bukunya The Hidden Connections, yaitu makna (meaning). Khusus makna, sebenarnya Capra telah dekat dengan apa yang disebutnya sebagai Makna Spiritualitas (2003,59). Tetapi ternyata, seperti dijelaskan sendiri olehnya, bahwa:

Artinya yang dimaksud dengan spiritualitas disini adalah dinamika swa-organisasi keseluruhan kosmos, bukannya Tuhan Transendental. Bahkan dia sendiri tidak percaya terhadap ’hukum yang deterministik’ atau ’fundamental’ sebagai ’pekerjaan Tuhan’ yang masih aktif di alam semesta yang sebenarnya masih diakui oleh Newton sebagai ketika menjelaskan anomali teori Gravitasi Alam Semesta (hal yang sebenarnya juga diakui oleh Einstein dalam Teori Relativitas).

Capra sendiri lebih setuju dengan Hipotesis Bootstrap dari Geoffrey Chew yang memiliki kesamaan dan kesejajaran dengan Mistisisme Timur (yang dalam penjelajahan spiritualnya diwakili oleh Hinduisme, Buddhisme, Taoisme, Confusionasme dan Zen mengenai alam semesta). Pandangan Mistik Timur mengenai alam semesta menurutnya merupakan jaring dinamis dari peristiwa-peristiwa yang saling terkait (konsep Avatamsuka Sutra dari Hinduisme), tidak ada sifat bagian manapun dari jaring yang ’fundamental’, semuanya yang sangat beragam mengikuti sifat-sifat bagian yang lain (konsep Brahman dari Budhisme), dan konsistensi keseluruhan dari kesalinghubungannya satu sama lain yang spontan dan alamiah menentukan struktur keseluruhan jaring (konsep Yin-Yang dari Taoisme). Dalam Appendiks edisi keempat The Tao of Physics tahun 1999 (setelah dua puluh lima tahun terbitnya buku tersebut pertama kali), Capra memberikan penegasan kembali mengenai Makna Spiritualitas dari Paradigma Baru yang digagasnya untuk mengganti Sains Modern:


Meskipun, kemudian gagasan modernitas ini dikritik dalam gagasan apa yang dinamakan dengan Postmodernisme. Tuhan yang hilang dari cakrawala Agama dan akomodasionis, tidak menciptakan secara sepihak, melainkan mengajak dan memberi inspirasi kepada makhluk agar menciptakan diri mereka sendiri dengan menanamkan perasaan yang berkembang terus secara bertahap. Kualitas pribadi menjadi puncak kualitas alam semesta, menjadi Imago Dei (wahdatul wujud). Seluruh makhluk sama kedudukannya, dunia tersusun dari benda-benda yang mengandung energi (Panenergysm) serta setiap makhluk yang membentuk dunia berdasar pengalaman (Paneksperienalisme); Kualitas primer (kesadaran makna, emosi, kebajikan, baik jahat, benar salah, indah jelek) , sekunder (warna, rasa, suara, bau, dll) dan tersier (obyektif, kuantitatif, impersonal). Orientasi Kehidupan Dunia Siklik (Kehidupan setelah kematian naturalistik) dan Reinkarnasi. Singkatnya, pandangan modern yang evolusionis-ateistik, anti apiritualitas dan animisme berubah dalam pandangan postmodernisme yang evolusions-teistik, spiritualitas-empiris dan animisme baru (Griffin 2005, 101-153). Konsep Spiritualitas Baru dari ranah Postmodernisme akhirnya berhasil menegasikan kekuatan Agama menjadi Spiritualitas tanpa Agama. Gagasan seperti ini dapat terlihat dalam bentuk Spiritual Quotient-nya Danah Zohar dan Ian Marshall yang terkenal. Spiritual dalam bentuknya yang baru adalah spiritualitas yang tidak mengenal Tuhan, tetapi spiritualitas yang ada dalam diri manusia secara neurologis-biologis dan sifat altruistiknya (lihat misalnya gagasan Spiritual Capital dalam Zohar dan Marshall 2005). Atau gagasan mengenai makna sebagai perspektif keempat dari trilogi ’materi-proses-bentuk’-nya dalam bukunya The Hidden Connections yang terkenal itu (lihat Capra 2004) . Baik Capra maupun Zohar-Marshall adalah simbol dari Spiritualitas Baru yang Aristotelian, yang menegasikan Causa Prima Alam Semesta. Kritik menarik dari Mahzar (2005), yang melihat Capra maupun Zohar-Marshall yang belum mengenal kategori kelima, yaitu Transendensi.

Barat menurut Kartanegara (2003,31) selalu menolak status ontologis obyek-obyek metafisika, dan lebih memusatkan perhatiannya pada obyek-obyek fisik. Qadir (1989, 5) menyebutnya sebagai wawasan Yang Kudus yang telah menghilang dari konsepsi Barat tentang pengetahuan. Teori pengetahuan gaya barat, lanjut Qadir (1989, 3) tidak dapat merumuskan visinya mengenai kebenaran dan realitas berdasarkan pengetahuan yang diwahyukan, tetapi mengandalkan pemikiran yang lahir dari tradisi-tradisi rasional dan sekular Yunani dan Roma, dan juga dari spekulasi metafisis para pemikir yang menganut paham evolusi kehidupan dan penjelasan psikoanalitik kodrat manusia. Hasilnya adalah desakralisasi pengetahuan.

Al-Attas menyebut desakralisasi sebagai sekularisasi (1981). Sekularisasi adalah bentuk penegasian Allah yang sangat akut dari seluruh realitas pengetahuan peradaban Barat. Al Attas melihat bahwa proses sekularisasi berjalan melalui tiga komponen terpadu, yaitu disenchantment of nature (pengosongan alam materi dan semua makna ruhani), desacralization of politics (penafian semua kekudusan politik dan kepemimpinan) dan deconsecration of values (penafian kesucian serta kekekalan semua nilai hidup).

Pandangan Islam

Islam, sebagaimana dilihat Kuntowijoyo (2004, 5) memandang kebenaran ialah apa saja yang datang dari Allah, seperti dijelaskan Al Qur’an (QS. 2:144, 147). Faruqi (1995, 1) menegaskan bahwa inti pengalaman keagamaan adalah Allah. Allah adalah tujuan akhir, yakni akhir dimana semua kaitan final mengarah dan berhenti. Itulah yang disebut sebagai Tauhid dalam Islam, sebuah kredo utama Islam yang menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Dijelaskan Nasr (2003, 417) bahwa Allah adalah inti spiritualitas Islam dan juga menjadi realitas batin dam lahirnya. Allah berada pada pusat arena kehidupan Islam dan pada segala aspek dan dimensi spiritualitas yang mengitari-Nya, mencari-Nya dan mengerahkan segenap perhatian kepada-Nya sebagai tujuan eksistensi manusia. Raison d’etre wahyu Al Qur’an dan agama Islam adalah menyingkap ajaran hakikat Ilahi secara utuh pengetahuan mengenai hakikat Allah dan bukan manifestasi-Nya dalam pesan atau bentuk tertentu. Di dalam inti pesan Al Qur’an terdapat ajaran yang utuh dan lengkap mengenai Allah yang bersifat transenden sekaligus imanen. Pengetahuan yang pertama dengan demikian, adalah menyingkapkan rahasia Wujud (Ke-ada-an) dan Eksistensi Allah itu sendiri (Al-Attas 1981, 115). Jelas sekali, pandangan ontologi dalam Islam, yaitu pandangan mengenai ada (being), yang nyata (realitas), esensi dan eksistensi dalam Islam adalah Allah itu sendiri.

Menurut Faruqi (1995, 51) alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis, sempurna dan teratur; sebagai anugerah ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya adalah memungkinkan manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Allah SWT adalah penyebab dari keteraturan. Kosmos adalah benar-benar kosmos, bukan chaos, persis karena Dia telah menanamkan pola-pola-Nya yang kekal (Mutlak dan tidak relatif). Pola-pola dapat diketahui, melalui pengamatan dan pemahaman (inteleksi), yang merupakan fakultas-fakultas dimana Allah telah melengkapi manusia dengan tujuan untuk membuat mereka bisa membuktikan sendiri dengan perbuatan-perbuatan mereka agar dapat memenuhi tujuan-Nya melalui perbuatan-perbuatan itu (56). Tatanan alam bukanlah semata-mata tatanan material seputar sebab-akibat, tatanan yang oleh ruang dan waktu serta kategori-kategori teoritis lain semacam itu. Tetapi alam merupakan lapangan tujuan-tujuan dimana segala sesuatu memahami tujuan dan dengan cara demikian memberikan sumbangan bagi kesejahteraan dan keseimbangan plankton yang paling kecil sampai makhluk yang paling besar, hingga alam semesta, melalui kelahiran dan pertumbuhannya, kehidupan dan kematiannya, memenuhi tujuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan, yang perlu bagi makhluk lainnya. Semua makhluk saling bergantung, dan seluruh ciptaan berjalan sebagaimana adanya karena adanya keselarasan yang sempurna dan mutlak di antara bagian-bagiannya. Atas realitas alam semesta ini pula manusia sebagai puncak penciptaan Allah, oleh Allah diberikan kepadanya sebagai panggung untuk memenuhi tujuan etisnya sebagai hamba Allah yang paling unik di alam semesta.

Sebagai ciptaan dan ketundukan serta kecintaan yang harus tumbuh di dalam diri setiap manusia (fungsi Abd’ Allah), manusia harus merealisasikan tujuan kemanusiaannya di alam semesta sebagai takdir kemanusiaannya sekaligus sebagai wakil Allah di bumi (Khalifatullah fil Ardh). Dua koeksistensi fungsi tersebut (Abd’Allah dan Khalifatullah fil Ardh) manusia sebagai ciptaan yang memiliki kekuasaan di alam semesta ini dan sekaligus memiliki kerangka etis yang sangat fundamental. Dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan dibangun sepenuhnya di atasnya. Pikiran Islam tidak mengenal pemisahan dan pertentangan antara sekuler dan religius, sakral dan profan, gereja-negara, relatif-mutlak.

Dengan demikian maka prinsip Islam adalah kesatupaduan kebenaran, kesatupaduan persona dan keesaan Tuhan (Faruqi 1995). Ketiga kesatuan ini adalah prinsip tertinggi dalam Islam. Kesatuan Ilahi adalah bahwa hanya Allah sajalah Tuhan itu, bahwa secara mutlak tak ada sesuatu ciptaan yang dapat disamakan dengan-Nya dalam hal apapun, dan tidak yang dapat disekutukan dengan-Nya. Ia adalah summum-bonum, keagungan yang tertinggi. Dalam perspektif kesadaran kesatuan Ilahi ini, segala sesuatu di alam semesta diciptakan untuk memenuhi satu tujuan dan dijaga setiap saat dalam ruang dan waktu oleh Pencipta tujuan itu sendiri. Tidak ada hukum alam yang bergerak mekanis, karena kemustiannya tidak bersumber dari ’takdir’ buta atau kosmos seperti mesin, melainkan dari Tuhan Yang Maha Pengasih yang berkehendak menyediakan bagi manusia panggung dan bahan mentah tindakannya yang demikian berkonsekuensi ontologis. Demikian, pintu-pintu ilmu kealaman dan humaniora serta teknologi terbuka lebar bagi penjelajahan empiris, tanpa pengasingan dan pemisahan sama sekali dari bidang moral dan nilai estetik. Di sini, fakta dan nilai dipadu sebagai satu datum berasal dari Tuhan dan sesuai kehendak-Nya. Dunia, menurut pandangan ini adalah hidup, sebab setiap atom di dalamnya bergerak dengan sarana Ilahi, dalam ketergantungan Ilahi, demi nilai, yang merupakan kehendak Ilahi.

Reference:

Al-Attas, Syed Muhammad Al-Naquib. Islam dan Sekularisme. Penerbit Pustaka. Bandung.

Al-Faruqi, Ismail Raji. 1995. Tauhid. Terjemahan. Penerbit Pustaka. Bandung.

Capra, Fritjof. 1999. The Tao of Physics. 4th Edition. Terjemahan. Jalasutra. Yogyakarta.

Capra, Fritjof. 2003. The Hidden Connections. 1st Edition. Flamingo.

Fromm, Erich. 1990. Seni Mencinta. Terjemahan. Penerbit Sinar Harapan. Jakarta.

Griffin, David Ray. 2005. Tuhan dan Agam dalam Dunia Postmodern. Terjemahan. Penerbit Kanisius. Jogjakarta.

Kartanegara, Mulyadhi. 2003. Pengantar Epistemologi Islam: Menyibak Tirai Kejahilan. Penerbit Mizan. Bandung.

Kuntowijoyo. 2004. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Teraju Mizan. Bandung.

Mahzar, Armahedi. 2004. Revolusi Integralisme Islam. Penerbit Mizan. Bandung.

Nasr. Seyyed Hossein (ed.). 2003. Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Fondasi. Penerbit Mizan. Bandung. Halaman 417-435.

Qadir, CA. 2002. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Terjemahan. Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.

Shah, AB. 1986. Metodologi Ilmu Pengetahuan. Terjemahan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Schumacher, EF. 1981. Keluar dari Kemelut: Sebuah Peta Pemikiran Baru. Terjemahan. LP3ES.

Zohar, Danah. Ian Marshall. 2005. Spiritual Capital: Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis. Terjemahan. Penerbit Mizan. Bandung.
Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: