Tokoh-tokoh Filsafat |
Nietzsche pernah mengatakan “Tuhan telah mati”, yang
artinya Hak/Kebenaran telah tiada pada masa itu. Gagasan menghilangnya Tuhan
dalam seluruh aspek kehidupan telah merubah peta sejarah Peradaban Barat
Modern. Pertama, dunia telah dinegasikan menjadi sebuah dunia evolutif dan
impersonalisme (Kebetulan dan Keniscayaan) bahwa setiap penciptaan ada dengan
sendirinya. Setiap makhluk hidup berproses menuju tahapan-tahapan evolusionis.
Manusia memiliki kehendak bebas dan Tuhan tidak pernah hadir dalam realitas,
maupun Realitasnya sendiri. Karena yang hadir dalam realitas adalah materi.
Kedua, seluruh makhluk diukur berdasar kualitas-kualitasnya. Terdapat jenjang
kualitas, yaitu primer, sekunder dan tersier. Kualitas primer bersifat
obyektif, kuantitatif, impersonal. Kualitas sekunder dilihat dari warna, rasa,
suara, bau, dll. Kualitas tersier dilihat sebagai kesadaran makna, emosi,
kebajikan, baik jahat, benar salah, indah jelek (Griffin 2005, 30-31). Fromm (1990,
83-103) seorang Barat (Orientalis), pernah berpandangan tentang gagasan cinta
pada Allah Swt, menurutnya cinta kepada Tuhan (Allah) adalah suatu pengalaman
perasaan yang hebat akan kesatuan, yang dihubungkan secara tak terpisahkan
dengan ungkapan cinta ini dalam setiap tindakan hidup. Menjadi cinta yang
secara hakiki adalah pengalaman pikiran. Dari perjalanan sejarah cinta kepada
Allah tersebut, dapat dilihat bahwa dari awal cinta terhadap Allah sebagai
keterikatan yang tak berdaya kepada Allah seperti ibu, melalui keterikatan yang
taat kepada Allah yang kebapakan, sampai pada suatu kematangan di mana Allah
berhenti sebagai kekuatan luar, dan manusia memasukkan prinsip-prinsip cinta
dan keadilan dalam diri, menjadi satu dengan Allah, dan akhirnya sampai pada
titik dimana ia berbicara tentang Allah hanya dalam arti simbolik. Artinya
Allah telah hilang, yang ada adalah cinta atas realitas itu sendiri.
Modernisme Hingga Post Modernisme
Kesalahan modernisme di atas sebagaimana dijelaskan
diakibatkan oleh fundamental epistemologi Barat yang menurut Schumacher (1981,
3-5) dihasilkan oleh scientism materialistik modern yang menegasikan masalah
yang tak dapat dibuktikan secara empiris, masalah yang berhubungan dengan nilai
artistik/seni dan nilai spiritual dan kebenaran mutlak. Hal tersebut diperparah
dengan penerapan metode ilmiah yang semakin ketat, atas nama obyektifitas
ilmiah, bahwa nilai-nilai dan makna-makna tidak lain daripada
mekanisme-mekanisme pertahanan serta bentukan-bentukan reaksi. Bahwa manusia tak
lain daripada suatu mekanisme biokimia pelik yang dimotori oleh suatu system
pembakaran yang memberi tenaga kepada Komputer-komputer dengan
fasilitas-fasilitas penyimpanan yang luar biasa guna memelihara informasi
bersandi. Pandangan fisafat modern ini menurut Schumacher dilihat telah sangat
mereduksi banyak wilayah perhatian manusia yang telah dilakukan masa-masa
sebelumnya. Di samping itu juga telah melakukan reduksi kearifan tradisional
yang memiliki tiga dimensi, dimana setiap sesuatu tidak hanya memiliki ukuran
kualitatif, penuh makna, tetapi juga tidak dapat dilepaskan dari dimensi
vertikal. Reduksi telah menghasilkan pandangan satu sisi parsial yang
kuantitatif, artifisial dan materialistik, yang dengan itu semua dapat
dimatematisasi.
Atas kesalahan epistemologis itulah, beberapa ilmuwan
Barat yang merasa gundah mencoba menengok kembali pada pentingnya nilai-nilai
yang selama ini terabaikan. Seperti misalnya Capra dalam bukunya yang sangat
fenomenal The Tao of Physics (1999), menggagas perlunya disusun paradigma baru
ilmu pengetahuan yang memiliki dua nilai komplementer, nilai-nilai Sains Barat
dan Mistik Timur. Karena, berdasarkan pada penelusurannya, sebenarnya terdapat
kesejajaran antara ilmuwan Barat dan mistikus Timur. Menurutnya, pandangan dunia
modern sebenarnya disamping rasionalisme dan aktivitas intelektual yang
terkonsentrasi memiliki gagasan-gagasan yang berasal dari intuisi yang mewujud
dalam bentuk rumusan kerangka matematis sebagai bentuk abstraksi metode ilmiah.
Abstraksi tersebut sebenarnya adalah bentuk hampiran (aproksimasi) dari
pengetahuan empiris yang dituntun oleh intuisi. Tetapi intuisi yang melandasi
sains barat masih dalam taraf spontan. Berbeda dengan pandangan dunia mistik
Timur yang telah menggali intuisi secara rutin dan dalam jangka waktu lama
sehingga akhirnya muncul intuisi dalam bentuk kesadaran tetap. Artinya,
sebenarnya dalam tesisnya, Capra (1999) ingin menegaskan terdapat kesamaan apa
yang dilakukan oleh ilmuwan Barat dalam menggali kedalaman materi dengan
mistikus Timur yang menggali kedalaman kesadaran manusia. Materi yang digali
ilmuwan Barat adalah materi yang tak dapat diindera oleh penglihatan langsung,
sedangkan yang digali mistikus Timur adalah kesadaran ataupun intuisi yang juga
tak dapat diindera oleh penglihatan langsung. Dengan demikian, yang diperlukan
sebenarnya adalah dibutuhkannya sains ilmiah yang juga memiliki nilai
kesadaran. Seperti ditegaskan dalam penutupnya Capra (1999) menegaskan:
….sains dan mistisisme sebagai dua manifestasi komplementer dari pikiran manusia; dari pikiran rasional dan intuitif …. apa yang kita butuhkan bukanlah sebuah sintesis, namun sebuah pengaruh timbal balik yang dinamis antara mistis Timur dan analisis ilmiah.
…..spiritualitas terbatas pada pengalaman akan hidupnya pikiran dan jasad sebagai suatu kesatuan. Selanjutnya pengalaman kesatuan ini melampaui bukan saja antara pikiran dan abadan, tetapi juga antara diri dan dunia. Pusat kesadaran dalam momen spiritual adalah perasaan yang menyatu yang mendalam dengan segala sesuatu, perasaaan kebersamaan dengan seluruh alam semesta.Spiritualitas yang terkait dengan visi baru realitas yang telah saya uraikan secara garis besar di sini kemungkinan besar merupakan suatu spiritualitas yang ekologis, berorientasi kebumian, dan postpatriarkal.
Seperti telah ditelusuri Capra dalam tulisan-tulisan
lanjutannya seperti The Turning Point dan The Web of Life, nilai-nilai baru
yang perlu diterjemahkan untuk melengkapi kekurangan sains modern haruslah
memiliki nilai-nilai selain materi (matter), yaitu bentuk (form) dan proses
(process) serta terakhir dalam bukunya The Hidden Connections, yaitu makna
(meaning). Khusus makna, sebenarnya Capra telah dekat dengan apa yang
disebutnya sebagai Makna Spiritualitas (2003,59). Tetapi ternyata, seperti
dijelaskan sendiri olehnya, bahwa:
Artinya yang dimaksud dengan spiritualitas disini
adalah dinamika swa-organisasi keseluruhan kosmos, bukannya Tuhan
Transendental. Bahkan dia sendiri tidak percaya terhadap ’hukum yang
deterministik’ atau ’fundamental’ sebagai ’pekerjaan Tuhan’ yang masih aktif di
alam semesta yang sebenarnya masih diakui oleh Newton sebagai ketika
menjelaskan anomali teori Gravitasi Alam Semesta (hal yang sebenarnya juga
diakui oleh Einstein dalam Teori Relativitas).
Capra sendiri lebih setuju dengan Hipotesis Bootstrap
dari Geoffrey Chew yang memiliki kesamaan dan kesejajaran dengan Mistisisme
Timur (yang dalam penjelajahan spiritualnya diwakili oleh Hinduisme, Buddhisme,
Taoisme, Confusionasme dan Zen mengenai alam semesta). Pandangan Mistik Timur
mengenai alam semesta menurutnya merupakan jaring dinamis dari
peristiwa-peristiwa yang saling terkait (konsep Avatamsuka Sutra dari
Hinduisme), tidak ada sifat bagian manapun dari jaring yang ’fundamental’,
semuanya yang sangat beragam mengikuti sifat-sifat bagian yang lain (konsep
Brahman dari Budhisme), dan konsistensi keseluruhan dari kesalinghubungannya
satu sama lain yang spontan dan alamiah menentukan struktur keseluruhan jaring
(konsep Yin-Yang dari Taoisme). Dalam Appendiks edisi keempat The Tao of
Physics tahun 1999 (setelah dua puluh lima tahun terbitnya buku tersebut
pertama kali), Capra memberikan penegasan kembali mengenai Makna Spiritualitas
dari Paradigma Baru yang digagasnya untuk mengganti Sains Modern:
Barat menurut Kartanegara (2003,31) selalu menolak
status ontologis obyek-obyek metafisika, dan lebih memusatkan perhatiannya pada
obyek-obyek fisik. Qadir (1989, 5) menyebutnya sebagai wawasan Yang Kudus yang
telah menghilang dari konsepsi Barat tentang pengetahuan. Teori pengetahuan
gaya barat, lanjut Qadir (1989, 3) tidak dapat merumuskan visinya mengenai
kebenaran dan realitas berdasarkan pengetahuan yang diwahyukan, tetapi
mengandalkan pemikiran yang lahir dari tradisi-tradisi rasional dan sekular
Yunani dan Roma, dan juga dari spekulasi metafisis para pemikir yang menganut
paham evolusi kehidupan dan penjelasan psikoanalitik kodrat manusia. Hasilnya
adalah desakralisasi pengetahuan.
Al-Attas menyebut desakralisasi sebagai sekularisasi
(1981). Sekularisasi adalah bentuk penegasian Allah yang sangat akut dari
seluruh realitas pengetahuan peradaban Barat. Al Attas melihat bahwa proses
sekularisasi berjalan melalui tiga komponen terpadu, yaitu disenchantment of
nature (pengosongan alam materi dan semua makna ruhani), desacralization of
politics (penafian semua kekudusan politik dan kepemimpinan) dan deconsecration
of values (penafian kesucian serta kekekalan semua nilai hidup).
Pandangan Islam
Islam, sebagaimana dilihat Kuntowijoyo (2004, 5)
memandang kebenaran ialah apa saja yang datang dari Allah, seperti dijelaskan
Al Qur’an (QS. 2:144, 147). Faruqi (1995, 1) menegaskan bahwa inti pengalaman
keagamaan adalah Allah. Allah adalah tujuan akhir, yakni akhir dimana semua
kaitan final mengarah dan berhenti. Itulah yang disebut sebagai Tauhid dalam
Islam, sebuah kredo utama Islam yang menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah. Dijelaskan Nasr (2003, 417) bahwa Allah adalah inti spiritualitas Islam
dan juga menjadi realitas batin dam lahirnya. Allah berada pada pusat arena
kehidupan Islam dan pada segala aspek dan dimensi spiritualitas yang
mengitari-Nya, mencari-Nya dan mengerahkan segenap perhatian kepada-Nya sebagai
tujuan eksistensi manusia. Raison d’etre wahyu Al Qur’an dan agama Islam adalah
menyingkap ajaran hakikat Ilahi secara utuh pengetahuan mengenai hakikat Allah
dan bukan manifestasi-Nya dalam pesan atau bentuk tertentu. Di dalam inti pesan
Al Qur’an terdapat ajaran yang utuh dan lengkap mengenai Allah yang bersifat
transenden sekaligus imanen. Pengetahuan yang pertama dengan demikian, adalah
menyingkapkan rahasia Wujud (Ke-ada-an) dan Eksistensi Allah itu sendiri
(Al-Attas 1981, 115). Jelas sekali, pandangan ontologi dalam Islam, yaitu
pandangan mengenai ada (being), yang nyata (realitas), esensi dan eksistensi
dalam Islam adalah Allah itu sendiri.
Menurut Faruqi (1995, 51) alam adalah ciptaan dan
anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis, sempurna dan teratur;
sebagai anugerah ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan
untuk manusia. Tujuannya adalah memungkinkan manusia melakukan kebaikan dan
mencapai kebahagiaan. Allah SWT adalah penyebab dari keteraturan. Kosmos adalah
benar-benar kosmos, bukan chaos, persis karena Dia telah menanamkan
pola-pola-Nya yang kekal (Mutlak dan tidak relatif). Pola-pola dapat diketahui,
melalui pengamatan dan pemahaman (inteleksi), yang merupakan fakultas-fakultas
dimana Allah telah melengkapi manusia dengan tujuan untuk membuat mereka bisa
membuktikan sendiri dengan perbuatan-perbuatan mereka agar dapat memenuhi
tujuan-Nya melalui perbuatan-perbuatan itu (56). Tatanan alam bukanlah
semata-mata tatanan material seputar sebab-akibat, tatanan yang oleh ruang dan
waktu serta kategori-kategori teoritis lain semacam itu. Tetapi alam merupakan
lapangan tujuan-tujuan dimana segala sesuatu memahami tujuan dan dengan cara
demikian memberikan sumbangan bagi kesejahteraan dan keseimbangan plankton yang
paling kecil sampai makhluk yang paling besar, hingga alam semesta, melalui
kelahiran dan pertumbuhannya, kehidupan dan kematiannya, memenuhi tujuan yang
telah ditetapkan oleh Tuhan, yang perlu bagi makhluk lainnya. Semua makhluk
saling bergantung, dan seluruh ciptaan berjalan sebagaimana adanya karena
adanya keselarasan yang sempurna dan mutlak di antara bagian-bagiannya. Atas
realitas alam semesta ini pula manusia sebagai puncak penciptaan Allah, oleh
Allah diberikan kepadanya sebagai panggung untuk memenuhi tujuan etisnya
sebagai hamba Allah yang paling unik di alam semesta.
Sebagai ciptaan dan ketundukan serta kecintaan yang
harus tumbuh di dalam diri setiap manusia (fungsi Abd’ Allah), manusia harus
merealisasikan tujuan kemanusiaannya di alam semesta sebagai takdir
kemanusiaannya sekaligus sebagai wakil Allah di bumi (Khalifatullah fil Ardh).
Dua koeksistensi fungsi tersebut (Abd’Allah dan Khalifatullah fil Ardh) manusia
sebagai ciptaan yang memiliki kekuasaan di alam semesta ini dan sekaligus
memiliki kerangka etis yang sangat fundamental. Dalam Islam, etika tidak dapat
dipisahkan dari agama dan dibangun sepenuhnya di atasnya. Pikiran Islam tidak
mengenal pemisahan dan pertentangan antara sekuler dan religius, sakral dan
profan, gereja-negara, relatif-mutlak.
Dengan demikian maka prinsip Islam adalah kesatupaduan
kebenaran, kesatupaduan persona dan keesaan Tuhan (Faruqi 1995). Ketiga
kesatuan ini adalah prinsip tertinggi dalam Islam. Kesatuan Ilahi adalah bahwa
hanya Allah sajalah Tuhan itu, bahwa secara mutlak tak ada sesuatu ciptaan yang
dapat disamakan dengan-Nya dalam hal apapun, dan tidak yang dapat disekutukan dengan-Nya.
Ia adalah summum-bonum, keagungan yang tertinggi. Dalam perspektif kesadaran
kesatuan Ilahi ini, segala sesuatu di alam semesta diciptakan untuk memenuhi
satu tujuan dan dijaga setiap saat dalam ruang dan waktu oleh Pencipta tujuan
itu sendiri. Tidak ada hukum alam yang bergerak mekanis, karena kemustiannya
tidak bersumber dari ’takdir’ buta atau kosmos seperti mesin, melainkan dari
Tuhan Yang Maha Pengasih yang berkehendak menyediakan bagi manusia panggung dan
bahan mentah tindakannya yang demikian berkonsekuensi ontologis. Demikian,
pintu-pintu ilmu kealaman dan humaniora serta teknologi terbuka lebar bagi
penjelajahan empiris, tanpa pengasingan dan pemisahan sama sekali dari bidang
moral dan nilai estetik. Di sini, fakta dan nilai dipadu sebagai satu datum
berasal dari Tuhan dan sesuai kehendak-Nya. Dunia, menurut pandangan ini adalah
hidup, sebab setiap atom di dalamnya bergerak dengan sarana Ilahi, dalam
ketergantungan Ilahi, demi nilai, yang merupakan kehendak Ilahi.
Reference:
Al-Attas, Syed Muhammad Al-Naquib. Islam dan
Sekularisme. Penerbit Pustaka. Bandung.
Al-Faruqi, Ismail Raji. 1995. Tauhid. Terjemahan.
Penerbit Pustaka. Bandung.
Capra, Fritjof. 1999. The Tao of Physics. 4th Edition.
Terjemahan. Jalasutra. Yogyakarta.
Capra, Fritjof. 2003. The Hidden Connections. 1st
Edition. Flamingo.
Fromm, Erich. 1990. Seni Mencinta. Terjemahan.
Penerbit Sinar Harapan. Jakarta.
Griffin, David Ray. 2005. Tuhan dan Agam dalam Dunia
Postmodern. Terjemahan. Penerbit Kanisius. Jogjakarta.
Kartanegara, Mulyadhi. 2003. Pengantar Epistemologi
Islam: Menyibak Tirai Kejahilan. Penerbit Mizan. Bandung.
Kuntowijoyo. 2004. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi,
Metodologi dan Etika. Teraju Mizan. Bandung.
Mahzar, Armahedi. 2004. Revolusi Integralisme Islam.
Penerbit Mizan. Bandung.
Nasr. Seyyed Hossein (ed.). 2003. Ensiklopedi Tematis
Spiritualitas Islam: Fondasi. Penerbit Mizan. Bandung. Halaman 417-435.
Qadir, CA. 2002. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam
Islam. Terjemahan. Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.
Shah, AB. 1986. Metodologi Ilmu Pengetahuan.
Terjemahan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Schumacher, EF. 1981. Keluar dari Kemelut: Sebuah Peta
Pemikiran Baru. Terjemahan. LP3ES.
Zohar, Danah. Ian Marshall. 2005. Spiritual Capital:
Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis. Terjemahan. Penerbit Mizan. Bandung.
0 komentar: