Tuesday, August 1, 2017

MUKADDIMAH FILSAFAT

Suatu peradaban yang tinggi adalah ibarat piramida; ia hanya bisa bertahan atas suatu landasan yang luas; prasyaratnya adalah hal-hal tanggung yang dikonsolidasikan secara tangguh dan ampuh. (Nietzsche)

Ketika berbicara filsafat seakan-akan kita takut terjerumus terhadap rumitnya pemikiran para filsuf bahkan kita takut pemikiran kita dan keyakinan kita menyeleweng dari pada pemikiran atau keyakinan yang telah ditanamkan sejak lahir oleh orang tua, guru ngaji dsb. Seakan-akan filsafat lahir dengan muka yang seram dan menerkam kehidupan kita. Yang padahal ternyata filsafat secara tidak disadari menyatu dengan kehidupan sosial kita, interaksi-interaksi yang berbentuk simbolis dan makna yang beriringan dalam kehidupan sehari-hari kita mengandung sebuah filosofis bagi bangsa kita yang sejak lama telah mampu menciptakan sebuah tradisi dan kearifan lokal (local wisdom) yang menyatu hidup tentram dengan alam.

Secara Bahasa, filsafat artinya adalah Hikmah atau kebenaran, jika dalam Islam berarti Hikmah itu adalah al-Qur’an dan al-Sunnah sedangkan dizaman Yunani karena memang filsafat ini berawal dari bangsa Yunani makan filsafat itu sendiri adalah agama karena adanya kebebasan dari agama pada masa itu katakanlah belum ada agama, maka dari itu akal menjadi panutan utama untuk dijadikan pedoman hidup manusia dikala itu, saya mengkutip pemikiran Ali Syari’ati (mudah-mudahan saya tidak dituduh Syi’ah), Syari’ati mengatakan bahwa “Akal bagi manusia adalah wahyu/ilham, dan akal tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah”, perkataan Syari’ati ini senada dengan ucapan Nabi Saw, “Laa Diena Li-man Laa ‘Aqla Lahu” artinya kurang lebih Tidak ada agama bagi manusia yang tak berakal, namun bukan berarti kedudukan akal di atas wahyu melainkan akal adalah alat untuk menjabarkan wahyu dan menjelaskannya, karena tidak selamanya sumber agama sesuai dengan konteks zaman yang selalu berkembang, istilah Ushul Fiqh “Taghayyurul Ahkam bi Taghayyuri al-Zamaan” atau dalam Bahasa lain al-Islam al-Dien al-Munaasib bi al-‘Uquul wa al-Zaman, mungkin terlalu banyak Bahasa Ushul Fiqh yang mengatakan Islam atau agama berjalan sesuai konteksnya.

Esensi atau subtansi kandungan dari filsafat sendiri adalah mencari kebenaran, sebuah usaha untuk membawa klaim-klaim para pembawanya untuk menjadi valid atau relevan dan dipakai setiap zaman, Paul Natorp mengatakan “segala kebenaran maunya diketahui dan dinyatakan, dan juga dibenarkan; kebenaran itu sendiri tidak memerlukan hal itu, karena dialah yang menunjukan apa yang dakui benar dan harus berlaku.”. Dari pencarian kebenaran tersebut, tentu akan selalu ada mata rantai filsafat yang tataran praksisnya menjadi abadi, yaitu bentuk falsifikasi yang termanifestasikan dalam bentuk tesis-antitesis, aksi-reaksi, dan kontruksi-rekontruksi atau dekontruksi. Oleh karena itu, kebenaran akan selalu menjadi kebenaran semata (hypo knowledge) yang pada suatu saat akan terfalsifikasikan dalam bentuk yang beragam rupa sesuai dengan parameter dan indicator yang mengiringinya, baik yang bersifat aksidensial, lokalitas, kontekstualitas, maupun karena sudah lemahnya jari-jari kebenaran tersebut mencengkram suatu zaman. Falsifikasi biasanya lahir dikarenakan adanya sebuah kebenaran yang telah memunculkan berbagai persoalan kehidupan yang kemungkinan destruktif dan menyesatkan.

Rene Decrates mengungkapkan “Cogito Ergo Sum” (Aku berfikir maka aku ada), adalah sebuah perjalan pemikiran para filsuf dari priode awal hingga priode kontemporer sehingga melahirkan bayi-bayi yang gagah menjadi kesatria perkasa pada setiap zamannya. Ketika kita menggeluti Cogito Ergo Sum jangan sampai kita terjebak dalam Solipisisme yang berakibat Skizofrenia pada titik ekstremnya.
Pada dasarnya, Renaissance, Aufklarung, atau Raunsfikr (pencerahan) berada di antara berbagai nama dari anak yang lahir sebagai hasil dari persetubuhan tersebut. Dari kedua “keturunan” tersebut telah lahir berbagai progresivitas dan inklinasi peradaban manusia yang tidak bisa diprediksikan sebelumnya, khususnya peradaban manusia yang ada di Barat (Eropa). Meskipun peradaban tersebut pada akhirnya telah melahirkan berbagai persoalan, misalnya yang paling ironis adalah deklinasi dan dekadensi moral manusia yang semakin pragmatis dan mengejawantahkan aji Bimsalabim dalam kehidupannya. Oleh karena itu, perlu dikaji ulang dan dipertanyakan kembali sebuah kebenaran pemikiran yang telah melahirkan sebuah peradaban semacam ini.

Dari persoalan peradaban tersebut, terbukti bahwa sebuah kebenaran akan selalu mengalami falsifikasi yang pada dasarnya terus melingkar sehingga membentuk sebuah lingkaran ilmiah (Scientific circle) dengan bernafas pada esensi kehidupan mata rantai filsafat yang telah dijelaskan tadi. Singkatnya dari persetubuhan Cogito Ergo Sum dengan pemikiran dan kehidupan para filsuf telah melahirkan berbagai kebenaran-kebenaran nisbi yang pada suatu saat akan mengalami perubahan-perubahan. Perubahan tersebut tidak selalu mengubah secara radikal, namun bisa juga meneguhkan dengan berbagai tambahan argumentative baru, atau mungkin bisa juga mengkoreksia atau menambal sulam sebuah kebenaran.

Dengan perpijak padan esensi tersebut, persetubuhan, pembuahan, dan kemudian proses kelahiran tersebut menjadi dinamika tersendiri dalam perjalan pemikiran kefilsafatan. Fakta sejarah telah mengawali dan membuktikan bahwa adanya lingkaran kritis dalam dunia filsafat, khususnya dunia filsafat awal yang menjadi barometer tonggak kemunculan berbagai aliran pemikiran yang suatu saat selalu menghegemoni ruang kesadaran pemikiran manusia secara imajinatif-idealis yang kemudian akan menggerakannya ke dalam wilayah praksis.

Sejarah filsafat dimulai dari priode filosofi awal tentang alam dengan tokohnya Thales, Anaximandros, dan Anaximenes. Disebut filosofi alam karena mereka ber-Cogito Ergo Sum untuk memikirkan terjadinya alam. Thales mengatakan bahwa kehidupan itu berasal dari satu anasir yaitu air. Semua berasal dari air, baik itu pangkal pokok maupun dasar (principe) dari semua barang dan akan kembali kepada air. Jika saya tarik terhadap pemikirannya Karen Amstrong dalam bukunya Sejarah Tuhan dia mengatakan bahwa Tuhan itu berawal dari Dewa Air makanya dalam Islam ada yang namanya Syari’at sedangkan Syari’at arti katanya adalah Air yang mengalir, asal kata dari kata Syara’a, bisa jadi air yang dimaksud oleh Thales adalah Dewa Airnya, pen.

Namun Anaximandros menfalsifikasi pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa anasir dari semua adalah sesuatu yang tidak terhingga dan tidak berkeputusan yang dinamakan dengan “Apeiron”. Dari Apeiron  inilah menghasilkan sebuah konklusi bahwa asal dari segala sesuatu adalah sesuatu yang gaib dan berada di luar pemahaman nalar manusia. Sesuatu yang gaib itu adalah tidak terhingga dan tidak berkesudahan dalam istilah Islam “Laa Awwala wa Laa Akhira Lahu” tidak ada awal dan akhir baginya sehingga muncul sebutan Tuhan (Theis) sebuah dzat yang mengatur segalanya yang ada di bumi. Pendapat Anaximandoros lebih ber-Tauhid kepada Tuhan karena percaya pada hal yang gaib, mungkin Anaximandros ini termasuk kepada ayat yang tertulis dalam surat al-Baqarah yang berbunyi “al-Ladziina Yu’minuuna bi al-Ghaibi”.

Sedangkan Anaximenes mengatakan bahwa anasir dari segala sesuatu itu adalah udara, karena dari udara dunia ini akan diikat jadi satu. Pendapat Anaximenes ini adalah gerak maju dari pemikiran sebelumnya. Karena dari gerak udara segala sesuatu itu menjadi ada. Pada priode selanjutnya adalah priode filosofi Herakleitos yang mendasarkan pemikirannya tentang asal dari segala sesuatu itu adalah berasal dari satu anasir yaitu api. Anasir api ini hanya sebuah kiasan yang menggambarkan bahwa segala sesuatu itu bisa bergerak karena ada suatu peristiwa atau kejadian. Oleh karena itu, tidak ada yang boleh disebut ada, melainkan menjadi. Semuanya itu dalam kejadian. Inilah yang pada dasarnya pangkal dari kehidupan logos (berfikir), sedangkan hidup berpikir adalah pangkal kesenangan, jika saya sederhanakan bahwa filosofi Herakleitos ini mengatakan bahwa adanya alam atau jadinya alam ini karena adanya sebuah pergerakan atau kejadian dan adanya yang menggerakan atau menjadikan (Tuhan).

Periode setelah periode Herakleitos adalh filosofi Elea dengan tokohnya adalah Xenophanes, Parmenides, Zeno, dan Melissos. Pada periode ini sudah ada keyakinan tentang yang satu itu adalah Tuhan. Namun, Tuhan dalam pandangan Xenophanes adalah bersatu dengan alam, ada hal yang menarik jika saya mengkaitkan pemikiran Xenophanes terhadap keyakinan aliran kepercayaan di Indonesia khususnya aliran Pikukuh Sunda yang mana orangnya disebut Sunda Wiwitan. Pemikiran Xenophanes adalah pemikiran ketuhanan yang universal dalam istilah Jawa “Manunggal ing Kawula lan Gusti” atau dalam Bahasa Arab “Wihdatul Wujud” yaitu bersatunya diri dengan Tuhan, diri itu berarti alam, Alam secara istilah adalah Kullu Maa Siwaa Allah (segala sesuatu selain Allah), oleh karena itu, dalam diri manusia menurut ajaran Pikukuh Sunda mengandung empat unsur alam yaitu; tanah, air, udara, dan api, sehingga ketika manusia menjadi makhluk yang paripurna dari mulai belajar tatakrama, sedangkan tatakrama ada pada tatasalira dan ketika sudah meningkat makan menjadi tatanegara, meningkat lagi menjadi tatabuana, meningkat lagi menjadi tatasurya, puncak dalam kemanunggalingan dalam ajaran Pikukuh Sunda yaitu ketika manusia sudah mencapai derajat Sundarigama dalam tahapan tatasurya menjadi Mahaguru Pencerahan bagi ummat manusia, dan inilah yang disebut menyatu dengan alam atau manunggal ing kawula lan gusti.

Beda dengan pemikiran Parmenides yang mengatakan bahwa Tuhan itu ada dengan sepenuh-penuhnya ada. Dia perpedoman bahwa hanya Yang Ada Itu Ada, Yang Tidak Ada Itu Tidak Ada, menarik juga jika saya menggabbarkan pemikiran Parmenides dengan aliran Tasawwuf dalam Islam bahwasannya al-Hallaj mengatakan “Kita itu tidak ada, melainkan diadakan, sedangkan yang ada hanyalah yang ada, tidak ada itu tidak ada, karena tidak ada itu ada, kita gunakan kata ada karena adanya yang ada, kita gunakan kata tidak ada, karena adanya yang ada, maka kita semua jadi ada, manifestasi dari yang ada.” Oleh karena itu, Parmenides adalah pembangun Logika yang pertama, di mana kran dunia pikiran telah dibuka oleh Herakleitos.

Dari beberapa priode tersebut, dapat dijelaskan bahwa sebuah kebenaran akan terus dinamis membentuk sebuah kebenaran-kebenaran baru yang menggantikan kebenran lama yang sudah tidak relevan dan hilang kredibilitas keilmiahannya. Begitu juga yang akan terjadi dengan priode selanjutnya yang akan membentuk sebuah pemahaman yang lebih baru lagi, atau kembali pada logika berfikir sebelumnya yang tentu saja ada sebuah dekontruksi pemahamn akan kebenaran tersebut, yaitu dengan menambahkan beberapa alasan argumentative sehingga membentuk sebuah kebenaran baru. Pada intinya, aliran pemikiran filsafat selalu berputar bagai mata rantai yang pada akhirnya akan kembali lagi pada pemikir filosof abad awal atau klasik filsuf di abad awal ini adalah Sokrates, Plato, dan Aristoteles.

Sebagai pengantar filsafat secara garis besar kurang lebih seperti yang saya jelaskan di atas, bahwasannya filsafat adalah cara atau metode berfikir untuk mencari kebenaran yang absolute (mutlak), namun pada hakikatnya kebenaran adalah nisbi (sementara) sesuai kontekstualitas, aksidensial, lokalitas ataupun sudah lemahnya argumentasi sehingga sifatnya sementara dan akan terus mengalami perubahan-perubahan pada setiap zamannya.

Di antara tokoh filsuf kiri yang akan saya bahas yaitu; Karl Marx yang melahirkan paradigm Materialisme Dialektis, dan Materialisme Historis. Kemudian Friedrich Wilhelm Nietzsche yang mendekontruksi kemapanan akal dan juga kehendak untuk berkuasa (The Will to Power) yang dielaborasi dari rumusan “survival of the fittest”. Ejawantah dari pemikirannya ini adalah bahwa manusia itu akan menjadi agung jika memadukan secara harmonis dari tiga hal; Kekuatan, Kecerdasan, dan Kebanggaan. Tokoh selanjutnya yang dicap “Kiri” adalah seorang tokoh yang lahir dari sebuah kondisi yang penuh dengan heroism di bawah kekuasaan fasis Benito Mussolini yaitu Antonio Gramsci yang membangun teori yang berkenaan dengan politik dan kekuasaan yang revolusioner. Dalam magnum opusnya, Prison Notebook, dia melancarkan berbagai kritik dan rekontruksi mainstream pemikiran yang tengah berkembang. Sedangkan teori yang terkenalnya adalah Teori Hegemoni.

Selanjutnya Marx Horkheimer yang mengkritik pemahaman teoritradisional dengan teori kritisnya dan bermaksud untuk menganalisis fungsi ilmu pengetahuan dan filsafat dalam masyarakat. Teori kritis akan melawan semua bentuk teori yang mau bersikap obyektif dengan mengambil jarak terhadap situasi historis nyata. Teori Kritis ini menjadi visi dan misi dari madzhab Frankfurt dalam melakukan aksi pemikiran para tokoh-tokohnya. Sedangkan Herbert Marcus selalu melakukan rekontruksi rasionalitas dengan melahirkan bermacam-macam rasio dalam tataran praksisnya, yaitu rasio instrumental, rasio yuridis, rasio kognitif, dan rasio ilmiah. Ada pun Paulo Freire aliran filsafat pendidikan dengan pemahamannya tentang Pendidikan Tertindas (Pedagogy of the Oppresed)nya. Freire memunculkan berbagai kesadaran baru untuk melawan berbagai ketertindasan secara edukatif dengan berpijak pada kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis.

Sedangkan Paul Karl Feyerabend, seorang tokoh postmodernisme dalam bidang filsafat ilmu yang mengemukakan teori anarkisme epistemology yang dilatarbelakangi oleh dominasi positivistic dengan melakukan kritik terhadap metode dan ilmu pengetahuan sehingga mencerminkan ranah postmodernisme. Selanjutnya ada seorang filsuf dan sejarahwan yang melakukan dekontruksi sejarah pemikiran melalui metode sejarah dengan mengurai Bahasa arkeologi, dan geneologi, tokoh ini adalah Michel Foucoult. Tokoh yang lain adalah Jurgen Hebermas yang selalu merekontruksi nalar sehingga akan terbentuk ruang yang steril dari dominasi, yang akan membawakan sikap emansipatoris. Untuk mewujudkan gagasannya tersebut, ia mengkritisi macetnya Teori Kritis dengan mendasarkan teorinya pada epistemology praksis dari rasionalitas ilmu. Tujuannya adalah terbentuknya masyarakat komunikatif yang terbebas dari dominasi berbagai kekuatan melalui berbagai argumentasi untuk mencapai sebuah klaim kesahihan yang rasional tanpa paksaan. Ada juga tokoh yang dicap “Kiri” adalah Jacques Derrida yang melakukan dekontruksi filsafat dengan melakukan kritik terhadap postmodernisme, metafisika dan epistemology.

Selain tokoh filsuf Barat yang dicap “Kiri” ada juga tokoh Islam yang dicap Kiri karena pemikirannya di antaranya; Mohammad Arkoun yang melakukan rekontruksi terhadap al-Qur’an dengan nalar kritis. Arkoun mengkritik tradisi ortodoks yang didominasi oleh logosentrisme dan juga mengkritik obyektifisme serta positivism. Selain itu, dia mengkritik dunia mitos yang terlahir dari visi masa lalu yang ekslusif. Tokoh Islam yang lain adalah Hassan Hanafi, seorang tokoh yang mempelopori teori Oksidentalisme sebagai lawan dari orientalisme dan juga menggagas Kiri Islam. Hanafi merekontruksi secara kritis terhadap tradisi klasik dengan melakukan tradisi dan pembaruan yang menjadi proyek besarnya. Tokoh Islam terakhir adalah Asghar Ali Engineer dengan teologi pembebasan sebagai inti dari pemikirannya.


Jadi ada 13 tokoh aliran Kiri yang akan saya bahas di antaranya; Karl Heinrich Marx, Friedrich W. Nietzche, Antonio Gramsci, Marx Horkheimer, Herbert Mercus, Paulo Freire, Paul K. Feyerabend, Michel Foucault, Mohammed Arkoun, Jurgen Habermas, Jasques Derrida, Hassan Hanafi, Asghar Ali Engineer. Mungkin untuk pengantar saya haturkan tulisan ini, untuk pemikiran tokoh-tokohnya nanti saya posting di tulisan-tulisan selanjutnya.
Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: