Suatu peradaban yang tinggi adalah ibarat piramida; ia hanya bisa bertahan atas suatu landasan yang luas; prasyaratnya adalah hal-hal tanggung yang dikonsolidasikan secara tangguh dan ampuh. (Nietzsche)
Ketika berbicara
filsafat seakan-akan kita takut terjerumus terhadap rumitnya pemikiran para
filsuf bahkan kita takut pemikiran kita dan keyakinan kita menyeleweng dari
pada pemikiran atau keyakinan yang telah ditanamkan sejak lahir oleh orang tua,
guru ngaji dsb. Seakan-akan filsafat lahir dengan muka yang seram dan menerkam
kehidupan kita. Yang padahal ternyata filsafat secara tidak disadari menyatu
dengan kehidupan sosial kita, interaksi-interaksi yang berbentuk simbolis dan
makna yang beriringan dalam kehidupan sehari-hari kita mengandung sebuah
filosofis bagi bangsa kita yang sejak lama telah mampu menciptakan sebuah
tradisi dan kearifan lokal (local wisdom) yang menyatu hidup tentram dengan
alam.
Secara Bahasa, filsafat
artinya adalah Hikmah atau kebenaran, jika dalam Islam berarti Hikmah itu
adalah al-Qur’an dan al-Sunnah sedangkan dizaman Yunani karena memang filsafat
ini berawal dari bangsa Yunani makan filsafat itu sendiri adalah agama karena
adanya kebebasan dari agama pada masa itu katakanlah belum ada agama, maka dari
itu akal menjadi panutan utama untuk dijadikan pedoman hidup manusia dikala
itu, saya mengkutip pemikiran Ali Syari’ati (mudah-mudahan saya tidak dituduh
Syi’ah), Syari’ati mengatakan bahwa “Akal bagi manusia adalah wahyu/ilham, dan
akal tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah”, perkataan
Syari’ati ini senada dengan ucapan Nabi Saw, “Laa Diena Li-man Laa ‘Aqla Lahu”
artinya kurang lebih Tidak ada agama bagi manusia yang tak berakal, namun bukan
berarti kedudukan akal di atas wahyu melainkan akal adalah alat untuk
menjabarkan wahyu dan menjelaskannya, karena tidak selamanya sumber agama
sesuai dengan konteks zaman yang selalu berkembang, istilah Ushul Fiqh
“Taghayyurul Ahkam bi Taghayyuri al-Zamaan” atau dalam Bahasa lain al-Islam
al-Dien al-Munaasib bi al-‘Uquul wa al-Zaman, mungkin terlalu banyak Bahasa
Ushul Fiqh yang mengatakan Islam atau agama berjalan sesuai konteksnya.
Esensi atau subtansi
kandungan dari filsafat sendiri adalah mencari kebenaran, sebuah usaha untuk
membawa klaim-klaim para pembawanya untuk menjadi valid atau relevan dan
dipakai setiap zaman, Paul Natorp mengatakan “segala kebenaran maunya diketahui
dan dinyatakan, dan juga dibenarkan; kebenaran itu sendiri tidak memerlukan hal
itu, karena dialah yang menunjukan apa yang dakui benar dan harus berlaku.”.
Dari pencarian kebenaran tersebut, tentu akan selalu ada mata rantai filsafat
yang tataran praksisnya menjadi abadi, yaitu bentuk falsifikasi yang
termanifestasikan dalam bentuk tesis-antitesis, aksi-reaksi, dan
kontruksi-rekontruksi atau dekontruksi. Oleh karena itu, kebenaran akan selalu
menjadi kebenaran semata (hypo knowledge) yang pada suatu saat akan
terfalsifikasikan dalam bentuk yang beragam rupa sesuai dengan parameter dan
indicator yang mengiringinya, baik yang bersifat aksidensial, lokalitas,
kontekstualitas, maupun karena sudah lemahnya jari-jari kebenaran tersebut
mencengkram suatu zaman. Falsifikasi biasanya lahir dikarenakan adanya sebuah
kebenaran yang telah memunculkan berbagai persoalan kehidupan yang kemungkinan
destruktif dan menyesatkan.
Rene Decrates
mengungkapkan “Cogito Ergo Sum” (Aku berfikir maka aku ada), adalah sebuah
perjalan pemikiran para filsuf dari priode awal hingga priode kontemporer
sehingga melahirkan bayi-bayi yang gagah menjadi kesatria perkasa pada setiap
zamannya. Ketika kita menggeluti Cogito Ergo Sum jangan sampai kita terjebak
dalam Solipisisme yang berakibat Skizofrenia pada titik ekstremnya.
Pada dasarnya,
Renaissance, Aufklarung, atau Raunsfikr (pencerahan) berada di antara berbagai
nama dari anak yang lahir sebagai hasil dari persetubuhan tersebut. Dari kedua
“keturunan” tersebut telah lahir berbagai progresivitas dan inklinasi peradaban
manusia yang tidak bisa diprediksikan sebelumnya, khususnya peradaban manusia
yang ada di Barat (Eropa). Meskipun peradaban tersebut pada akhirnya telah
melahirkan berbagai persoalan, misalnya yang paling ironis adalah deklinasi dan
dekadensi moral manusia yang semakin pragmatis dan mengejawantahkan aji
Bimsalabim dalam kehidupannya. Oleh karena itu, perlu dikaji ulang dan
dipertanyakan kembali sebuah kebenaran pemikiran yang telah melahirkan sebuah
peradaban semacam ini.
Dari persoalan
peradaban tersebut, terbukti bahwa sebuah kebenaran akan selalu mengalami
falsifikasi yang pada dasarnya terus melingkar sehingga membentuk sebuah
lingkaran ilmiah (Scientific circle) dengan bernafas pada esensi kehidupan mata
rantai filsafat yang telah dijelaskan tadi. Singkatnya dari persetubuhan Cogito
Ergo Sum dengan pemikiran dan kehidupan para filsuf telah melahirkan berbagai
kebenaran-kebenaran nisbi yang pada suatu saat akan mengalami
perubahan-perubahan. Perubahan tersebut tidak selalu mengubah secara radikal, namun
bisa juga meneguhkan dengan berbagai tambahan argumentative baru, atau mungkin
bisa juga mengkoreksia atau menambal sulam sebuah kebenaran.
Dengan perpijak padan
esensi tersebut, persetubuhan, pembuahan, dan kemudian proses kelahiran tersebut
menjadi dinamika tersendiri dalam perjalan pemikiran kefilsafatan. Fakta
sejarah telah mengawali dan membuktikan bahwa adanya lingkaran kritis dalam
dunia filsafat, khususnya dunia filsafat awal yang menjadi barometer tonggak
kemunculan berbagai aliran pemikiran yang suatu saat selalu menghegemoni ruang
kesadaran pemikiran manusia secara imajinatif-idealis yang kemudian akan
menggerakannya ke dalam wilayah praksis.
Sejarah filsafat
dimulai dari priode filosofi awal tentang alam dengan tokohnya Thales,
Anaximandros, dan Anaximenes. Disebut filosofi alam karena mereka ber-Cogito
Ergo Sum untuk memikirkan terjadinya alam. Thales mengatakan bahwa kehidupan
itu berasal dari satu anasir yaitu air. Semua berasal dari air, baik itu
pangkal pokok maupun dasar (principe) dari semua barang dan akan kembali kepada
air. Jika saya tarik terhadap pemikirannya Karen Amstrong dalam bukunya Sejarah
Tuhan dia mengatakan bahwa Tuhan itu berawal dari Dewa Air makanya dalam Islam
ada yang namanya Syari’at sedangkan Syari’at arti katanya adalah Air yang
mengalir, asal kata dari kata Syara’a, bisa jadi air yang dimaksud oleh Thales
adalah Dewa Airnya, pen.
Namun Anaximandros
menfalsifikasi pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa anasir dari semua adalah
sesuatu yang tidak terhingga dan tidak berkeputusan yang dinamakan dengan
“Apeiron”. Dari Apeiron inilah
menghasilkan sebuah konklusi bahwa asal dari segala sesuatu adalah sesuatu yang
gaib dan berada di luar pemahaman nalar manusia. Sesuatu yang gaib itu adalah
tidak terhingga dan tidak berkesudahan dalam istilah Islam “Laa Awwala wa Laa
Akhira Lahu” tidak ada awal dan akhir baginya sehingga muncul sebutan Tuhan
(Theis) sebuah dzat yang mengatur segalanya yang ada di bumi. Pendapat
Anaximandoros lebih ber-Tauhid kepada Tuhan karena percaya pada hal yang gaib,
mungkin Anaximandros ini termasuk kepada ayat yang tertulis dalam surat
al-Baqarah yang berbunyi “al-Ladziina Yu’minuuna bi al-Ghaibi”.
Sedangkan Anaximenes
mengatakan bahwa anasir dari segala sesuatu itu adalah udara, karena dari udara
dunia ini akan diikat jadi satu. Pendapat Anaximenes ini adalah gerak maju dari
pemikiran sebelumnya. Karena dari gerak udara segala sesuatu itu menjadi ada.
Pada priode selanjutnya adalah priode filosofi Herakleitos yang mendasarkan
pemikirannya tentang asal dari segala sesuatu itu adalah berasal dari satu
anasir yaitu api. Anasir api ini hanya sebuah kiasan yang menggambarkan bahwa
segala sesuatu itu bisa bergerak karena ada suatu peristiwa atau kejadian. Oleh
karena itu, tidak ada yang boleh disebut ada, melainkan menjadi. Semuanya itu
dalam kejadian. Inilah yang pada dasarnya pangkal dari kehidupan logos
(berfikir), sedangkan hidup berpikir adalah pangkal kesenangan, jika saya
sederhanakan bahwa filosofi Herakleitos ini mengatakan bahwa adanya alam atau
jadinya alam ini karena adanya sebuah pergerakan atau kejadian dan adanya yang
menggerakan atau menjadikan (Tuhan).
Periode setelah periode
Herakleitos adalh filosofi Elea dengan tokohnya adalah Xenophanes, Parmenides,
Zeno, dan Melissos. Pada periode ini sudah ada keyakinan tentang yang satu itu
adalah Tuhan. Namun, Tuhan dalam pandangan Xenophanes adalah bersatu dengan
alam, ada hal yang menarik jika saya mengkaitkan pemikiran Xenophanes terhadap
keyakinan aliran kepercayaan di Indonesia khususnya aliran Pikukuh Sunda yang
mana orangnya disebut Sunda Wiwitan. Pemikiran Xenophanes adalah pemikiran
ketuhanan yang universal dalam istilah Jawa “Manunggal ing Kawula lan Gusti”
atau dalam Bahasa Arab “Wihdatul Wujud” yaitu bersatunya diri dengan Tuhan,
diri itu berarti alam, Alam secara istilah adalah Kullu Maa Siwaa Allah (segala
sesuatu selain Allah), oleh karena itu, dalam diri manusia menurut ajaran
Pikukuh Sunda mengandung empat unsur alam yaitu; tanah, air, udara, dan api,
sehingga ketika manusia menjadi makhluk yang paripurna dari mulai belajar
tatakrama, sedangkan tatakrama ada pada tatasalira dan ketika sudah meningkat
makan menjadi tatanegara, meningkat lagi menjadi tatabuana, meningkat lagi
menjadi tatasurya, puncak dalam kemanunggalingan dalam ajaran Pikukuh Sunda
yaitu ketika manusia sudah mencapai derajat Sundarigama dalam tahapan tatasurya
menjadi Mahaguru Pencerahan bagi ummat manusia, dan inilah yang disebut menyatu
dengan alam atau manunggal ing kawula lan gusti.
Dari beberapa priode
tersebut, dapat dijelaskan bahwa sebuah kebenaran akan terus dinamis membentuk
sebuah kebenaran-kebenaran baru yang menggantikan kebenran lama yang sudah
tidak relevan dan hilang kredibilitas keilmiahannya. Begitu juga yang akan
terjadi dengan priode selanjutnya yang akan membentuk sebuah pemahaman yang
lebih baru lagi, atau kembali pada logika berfikir sebelumnya yang tentu saja
ada sebuah dekontruksi pemahamn akan kebenaran tersebut, yaitu dengan
menambahkan beberapa alasan argumentative sehingga membentuk sebuah kebenaran
baru. Pada intinya, aliran pemikiran filsafat selalu berputar bagai mata rantai
yang pada akhirnya akan kembali lagi pada pemikir filosof abad awal atau klasik
filsuf di abad awal ini adalah Sokrates, Plato, dan Aristoteles.
Sebagai pengantar
filsafat secara garis besar kurang lebih seperti yang saya jelaskan di atas,
bahwasannya filsafat adalah cara atau metode berfikir untuk mencari kebenaran
yang absolute (mutlak), namun pada hakikatnya kebenaran adalah nisbi
(sementara) sesuai kontekstualitas, aksidensial, lokalitas ataupun sudah
lemahnya argumentasi sehingga sifatnya sementara dan akan terus mengalami
perubahan-perubahan pada setiap zamannya.
Di antara tokoh filsuf
kiri yang akan saya bahas yaitu; Karl Marx yang melahirkan paradigm
Materialisme Dialektis, dan Materialisme Historis. Kemudian Friedrich Wilhelm
Nietzsche yang mendekontruksi kemapanan akal dan juga kehendak untuk berkuasa
(The Will to Power) yang dielaborasi dari rumusan “survival of the fittest”.
Ejawantah dari pemikirannya ini adalah bahwa manusia itu akan menjadi agung
jika memadukan secara harmonis dari tiga hal; Kekuatan, Kecerdasan, dan
Kebanggaan. Tokoh selanjutnya yang dicap “Kiri” adalah seorang tokoh yang lahir
dari sebuah kondisi yang penuh dengan heroism di bawah kekuasaan fasis Benito
Mussolini yaitu Antonio Gramsci yang membangun teori yang berkenaan dengan
politik dan kekuasaan yang revolusioner. Dalam magnum opusnya, Prison Notebook,
dia melancarkan berbagai kritik dan rekontruksi mainstream pemikiran yang
tengah berkembang. Sedangkan teori yang terkenalnya adalah Teori Hegemoni.
Selanjutnya Marx
Horkheimer yang mengkritik pemahaman teoritradisional dengan teori kritisnya
dan bermaksud untuk menganalisis fungsi ilmu pengetahuan dan filsafat dalam
masyarakat. Teori kritis akan melawan semua bentuk teori yang mau bersikap
obyektif dengan mengambil jarak terhadap situasi historis nyata. Teori Kritis
ini menjadi visi dan misi dari madzhab Frankfurt dalam melakukan aksi pemikiran
para tokoh-tokohnya. Sedangkan Herbert Marcus selalu melakukan rekontruksi
rasionalitas dengan melahirkan bermacam-macam rasio dalam tataran praksisnya,
yaitu rasio instrumental, rasio yuridis, rasio kognitif, dan rasio ilmiah. Ada
pun Paulo Freire aliran filsafat pendidikan dengan pemahamannya tentang
Pendidikan Tertindas (Pedagogy of the Oppresed)nya. Freire memunculkan berbagai
kesadaran baru untuk melawan berbagai ketertindasan secara edukatif dengan
berpijak pada kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis.
Sedangkan Paul Karl
Feyerabend, seorang tokoh postmodernisme dalam bidang filsafat ilmu yang
mengemukakan teori anarkisme epistemology yang dilatarbelakangi oleh dominasi
positivistic dengan melakukan kritik terhadap metode dan ilmu pengetahuan
sehingga mencerminkan ranah postmodernisme. Selanjutnya ada seorang filsuf dan
sejarahwan yang melakukan dekontruksi sejarah pemikiran melalui metode sejarah
dengan mengurai Bahasa arkeologi, dan geneologi, tokoh ini adalah Michel
Foucoult. Tokoh yang lain adalah Jurgen Hebermas yang selalu merekontruksi
nalar sehingga akan terbentuk ruang yang steril dari dominasi, yang akan
membawakan sikap emansipatoris. Untuk mewujudkan gagasannya tersebut, ia
mengkritisi macetnya Teori Kritis dengan mendasarkan teorinya pada epistemology
praksis dari rasionalitas ilmu. Tujuannya adalah terbentuknya masyarakat
komunikatif yang terbebas dari dominasi berbagai kekuatan melalui berbagai
argumentasi untuk mencapai sebuah klaim kesahihan yang rasional tanpa paksaan.
Ada juga tokoh yang dicap “Kiri” adalah Jacques Derrida yang melakukan
dekontruksi filsafat dengan melakukan kritik terhadap postmodernisme,
metafisika dan epistemology.
Selain tokoh filsuf
Barat yang dicap “Kiri” ada juga tokoh Islam yang dicap Kiri karena
pemikirannya di antaranya; Mohammad Arkoun yang melakukan rekontruksi terhadap
al-Qur’an dengan nalar kritis. Arkoun mengkritik tradisi ortodoks yang didominasi
oleh logosentrisme dan juga mengkritik obyektifisme serta positivism. Selain
itu, dia mengkritik dunia mitos yang terlahir dari visi masa lalu yang
ekslusif. Tokoh Islam yang lain adalah Hassan Hanafi, seorang tokoh yang
mempelopori teori Oksidentalisme sebagai lawan dari orientalisme dan juga
menggagas Kiri Islam. Hanafi merekontruksi secara kritis terhadap tradisi
klasik dengan melakukan tradisi dan pembaruan yang menjadi proyek besarnya.
Tokoh Islam terakhir adalah Asghar Ali Engineer dengan teologi pembebasan
sebagai inti dari pemikirannya.
Jadi ada 13 tokoh
aliran Kiri yang akan saya bahas di antaranya; Karl Heinrich Marx, Friedrich W.
Nietzche, Antonio Gramsci, Marx Horkheimer, Herbert Mercus, Paulo Freire, Paul
K. Feyerabend, Michel Foucault, Mohammed Arkoun, Jurgen Habermas, Jasques
Derrida, Hassan Hanafi, Asghar Ali Engineer. Mungkin untuk pengantar saya
haturkan tulisan ini, untuk pemikiran tokoh-tokohnya nanti saya posting di
tulisan-tulisan selanjutnya.
0 komentar: