Tuesday, August 1, 2017

MAQASHID AL-SYARIAH KHULAFA AL--RASYIDIN


Kedatangan Islam memberikan dinamika baru bagi manusia dan peradaban, Islam bukan hanya Din Al-‘Aqidah wa Al-Syari’at, tetapi Islam juga adalah Din Al-‘Ilm, wa Al-Tsaqafah, tsumma Al-Hadlarah. Selain memberikan iklim politik baru, Islam juga memberikan sistem baru yang didasarkan pada ajaran-ajarannya. Islam hadir di tengah-tengah masyarakat multicultural yang mana suku-sukunya sudah eksis sebelumnya, Islam memulai kegiatan politiknya berhadapan dengan suku-suku yang sudah eksis, baru kemudian memperluas pengaruhnya. Bahkan dalam menjalankan kebijakan politiknya, Islam mengatur tata cara perang (jihad), untuk melindungi ummatnya dan melebarkan kekuasaannya.
Hasilnya, secara gemilang Islam berhasil menyatukan bangsa Arab, melakukan ekspansi kenegara-negara asing, dan mampu menancapkan dasar dan pengaruh tujuannya dalam setiap diri manusia. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah pada awalnya Islam menanamkan ajaran tauhid, keadilan, persamaan derajat, kebebasan, musyawarah dan jihad. Islam juga mengarahkan bahwa orang yang beriman berada dalam kesatuan ummat dan kewajiban membentuk sejarah, budaya dan peradaban baru.
Rasulullah s.a.w hidup dengan kepemimpinannya tanpa mengatakan bahwa ia seorang pemimpin. Rasulullah s.a.w meninggalkan dasar-dasar kepemimpinan yang tercermin dalam Al-Quran dan Al-Sunnah serta gambaran yang komprehensif tentang zaman modern dan era maju. Pasca wafatnya Rasulullah s.a.w, ummat Islam menghadapi krisis kepemimpinan yang dapat dikualifikasikan dalam tiga point penting yaitu: keteladanan baru bagi pemimpin ummat manusia, prinsip-prinsip kepemimpinan, dan kriteria-kriterianya. Kemudian muncullah Khulafaur-Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Al-Khaththab, Utsman ibn ‘Affan, dan Ali ibn Abi Thalib) sebagai pengganti Rasulullah s.a.w dalam tampuk kepemimpinan baik dalam segi agama dan penegakkan hokum.
Terdapat beberapa hal yang menjadi catatan penting pada masa Khulafaur-Rasyidin, bahwa pada masa kepemimpinan mereka dijalankan dengan sistem musyawarah dan pemilihan, walau pun dengan teori  berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat pada model pemilihan Ali dan Abu Bakar, selain naiknya Umar yang mendahulukan bai’at daripada pemilihannya. Sehingga jika kita perhatikan terdapat tiga kategori dalam kriteria pemimimpin, yaitu keislaman, Arabisme, dan Quraisyme. Dengan realitas ini harus juga dijelaskan bahwa bertemunya paham kesukuan dengan keislaman dapat menyebabkan tercabutnya paham keislaman dari dari kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, secara perlahan-lahan paham kesukuan harus diarahkan agar sesuai dengan paham keislaman. Dan tentunya, sistem pemerintahan pada masa Khulafaur-Rasyidin merupakan awal dari sistem kontrak social dan bai’at, selain juga merupakan awal adanya kesepakatan antara pemimpin dan masyarakat berdasarkan keta’atan pada Al-Quran dan Al-Sunnah dan teladan para sahabat untuk penguasa pasca Abu Bakar.
Di masa Khulafaur-Rasyidin telah ditanamkan nilai-nilai keislaman yang merupakan sebuah ajaran, yang mengajarkan bahwa seorang penguasa menegakkan keadilan (Al-‘Adalah), adalah merupakan suatu keharusan sebagai perwujudan dari pluralisme agama. Islam juga mengajarkan untuk melakukan semua rakyat setara tanpa pandang bulu dimuka hukum (Al-Musawah), dan harus menjunjung tinggi musyawah, kesepakatan (Al-Syura, Al-Ijma’, Al-Munaqasah) serta adanya mekanisme yang transparan dalam control kekuasaan yang dilakukan oleh rakyat sebagai manifestasi dari pertanggung jawaban penguasa.
Begitu juga Islam mempunya lima prinsip (Kulliyat Al-Khams/Maqashid As-Syari’ah). Prinsip pertama yaitu jaminan terhadap seseorang dari penindasan dan kesewenang-wenangan (Hifdz An-Nafs), prinsip kedua yaitu perlindungan terhadap kebebasan berpendapat secara rasional (Hifdz Al-‘Aql), prinsip ketiga yaitu perlindungan atas harta benda sebagai hak milik (Hifdz Al-Mal), prinsip yang keempat yaitu jaminan sebuah perlindungan terhadap kepercayaan dan agama yang diyakini (Hifdz Al-Din), prinsip yang kelima yaitu jaminan atas keberlangsungan hidup dan profesi (Hifdz Al-‘Irdl). Dari sinilah dapat dilihat bahwa Islam, tidaklah mewajibkan secara ekplisitly untuk menanamkan suatu negara dengan sebutan Negara Islam atau Khilafah Islamiyah.
Menurut hemat saya, pluralisme pada masa Khulafaur-Rasyidin merupakan sebuah perwujudan munculnya nilai-nilai demokrasi. Meskipun dalam teori politik abad pertengahan, fungsi utama mereka bersifat kontraktual. Artinya mereka menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada seorang yang berkualifikasi dan begitu diterima, mereka memberikan bai’at kepadanya. Karena, pada masa itu sistem menetapkankan kepemimpinan dengan cara Ahl Al-Halli Wa Al-‘Aqd, atau dengan cara demisioner. Istilah Ahl Al-Halli Wa Al-‘Aqd pada masa sekarang di Negara kita Indonesia popular dengan sebutan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), sedangkan dikalangan kaum intelektual/mahasiswa disebut dengan DPM (Dewan Presisium Mahasiswa), selain itu juga disebut dengan dewan legislatif dan syuro.
Begitu jelas nilai demokrasi di masa Khulafaur-Rasyidin terutama pada masa sahabat Abu Bakar dan Umar ibn Al-Khaththab. Maka dari itu Maqashid Al-Syari’ah itu harus ditegakkan. Namun ada sebagian kelompok Islam yang menggunakan atribut-atribut keagaman namun melakukan diskriminasi, subordinasi dan marginalisasi dan bertidak kekerasan atas fisik dan martabat hak-hak dasar manusia. Bahkan di sisi lain kelompok ini melebelling negatif dan berbendapat bahwa demokrasi itu sistem kafir dan harus dihapuskan dan diganti dengan sistem khilaf.
Jika kita melihat fakta dan realita di Indonesia ini mayoritas muslim yang  membangun sebuah peradaban dan sejarah sejak lahirnya Indonesia yang memperjuangkan Indonesia untuk merdeka ada beberapa kelompok Islam yang lahir pada masa itu seperti Muhammadiyah, PERSIS, NU, PERTI, NW, Al-Irsyad, Sarekat Islam dll. Namun di masa kini muncul kelompok-kelompok baru di Indonesia yang mempengaruhi masyarakat Indonesia, dan kelompok itu merupakan ekspor dari negara-negara  luar seperti HTI, MMI, MTA dll. Para pemikir politik Islam banyak yang berbeda pendapat ada yang cenderung terhadap Hizbut Tahrir yang dipelopori oleh Taqiyyuddin Al-Nabhani di Indonesia ada Abu Bakar Ba’asyir dan Ismail Yusanto, ada yang sekuler seperti Mustafa Kemal At-Tatruk di Indonesia ada Ahmad Soekarno, ada yang moderat dan nasionalis seperti Hasan Al-Bana di Indonesia ada Gus Dur dan Cak Nur.
Dapat diambil kesimpulan bahwa pluralisme sebagai wujud penting terbentuknya demokrasi dengan beberapa unsur yaitu adanya masyarakat madani, tegaknya keadilan hukum. Di  kalangan Khulafaur-Rasyidin yang mayoritas masyarakatnya multikultur, multiagama, dan multietnis. Karena itu pluralisme sangat penting atas terbentuknya demokrasi dan Maqashid As-Syari’ah sebagai landasan tegaknya demokrasi. 



Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: