Kedatangan Islam memberikan dinamika baru bagi manusia dan peradaban, Islam bukan hanya Din Al-‘Aqidah wa Al-Syari’at, tetapi Islam juga adalah Din Al-‘Ilm, wa Al-Tsaqafah, tsumma Al-Hadlarah. Selain memberikan iklim politik baru, Islam juga memberikan sistem baru yang didasarkan pada ajaran-ajarannya. Islam hadir di tengah-tengah masyarakat multicultural yang mana suku-sukunya sudah eksis sebelumnya, Islam memulai kegiatan politiknya berhadapan dengan suku-suku yang sudah eksis, baru kemudian memperluas pengaruhnya. Bahkan dalam menjalankan kebijakan politiknya, Islam mengatur tata cara perang (jihad), untuk melindungi ummatnya dan melebarkan kekuasaannya.
Hasilnya, secara gemilang Islam berhasil menyatukan bangsa Arab,
melakukan ekspansi kenegara-negara asing, dan mampu menancapkan dasar dan
pengaruh tujuannya dalam setiap diri manusia. Sebagaimana telah dijelaskan
dalam Al-Quran dan Al-Sunnah pada awalnya Islam menanamkan ajaran tauhid,
keadilan, persamaan derajat, kebebasan, musyawarah dan jihad. Islam juga
mengarahkan bahwa orang yang beriman berada dalam kesatuan ummat dan kewajiban
membentuk sejarah, budaya dan peradaban baru.
Rasulullah s.a.w hidup dengan kepemimpinannya tanpa mengatakan
bahwa ia seorang pemimpin. Rasulullah s.a.w meninggalkan dasar-dasar
kepemimpinan yang tercermin dalam Al-Quran dan Al-Sunnah serta gambaran yang
komprehensif tentang zaman modern dan era maju. Pasca wafatnya Rasulullah
s.a.w, ummat Islam menghadapi krisis kepemimpinan yang dapat dikualifikasikan
dalam tiga point penting yaitu: keteladanan baru bagi pemimpin ummat manusia, prinsip-prinsip
kepemimpinan, dan kriteria-kriterianya. Kemudian muncullah Khulafaur-Rasyidin
(Abu Bakar, Umar ibn Al-Khaththab, Utsman ibn ‘Affan, dan Ali ibn Abi Thalib)
sebagai pengganti Rasulullah s.a.w dalam tampuk kepemimpinan baik dalam segi
agama dan penegakkan hokum.
Terdapat beberapa hal yang menjadi catatan penting pada masa Khulafaur-Rasyidin,
bahwa pada masa kepemimpinan mereka dijalankan dengan sistem musyawarah dan
pemilihan, walau pun dengan teori
berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat pada model pemilihan Ali dan Abu
Bakar, selain naiknya Umar yang mendahulukan bai’at daripada pemilihannya.
Sehingga jika kita perhatikan terdapat tiga kategori dalam kriteria pemimimpin,
yaitu keislaman, Arabisme, dan Quraisyme. Dengan realitas ini harus juga dijelaskan
bahwa bertemunya paham kesukuan dengan keislaman dapat menyebabkan tercabutnya
paham keislaman dari dari kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, secara
perlahan-lahan paham kesukuan harus diarahkan agar sesuai dengan paham
keislaman. Dan tentunya, sistem pemerintahan pada masa Khulafaur-Rasyidin
merupakan awal dari sistem kontrak social dan bai’at, selain juga merupakan
awal adanya kesepakatan antara pemimpin dan masyarakat berdasarkan keta’atan
pada Al-Quran dan Al-Sunnah dan teladan para sahabat untuk penguasa pasca Abu
Bakar.
Di masa Khulafaur-Rasyidin telah ditanamkan nilai-nilai
keislaman yang merupakan sebuah ajaran, yang mengajarkan bahwa seorang penguasa
menegakkan keadilan (Al-‘Adalah), adalah merupakan suatu keharusan
sebagai perwujudan dari pluralisme agama. Islam juga mengajarkan untuk
melakukan semua rakyat setara tanpa pandang bulu dimuka hukum (Al-Musawah),
dan harus menjunjung tinggi musyawah, kesepakatan (Al-Syura, Al-Ijma’,
Al-Munaqasah) serta adanya mekanisme yang transparan dalam control
kekuasaan yang dilakukan oleh rakyat sebagai manifestasi dari pertanggung
jawaban penguasa.
Begitu juga Islam mempunya lima prinsip (Kulliyat
Al-Khams/Maqashid As-Syari’ah). Prinsip pertama yaitu jaminan terhadap
seseorang dari penindasan dan kesewenang-wenangan (Hifdz An-Nafs),
prinsip kedua yaitu perlindungan terhadap kebebasan berpendapat secara rasional
(Hifdz Al-‘Aql), prinsip ketiga yaitu perlindungan atas harta benda
sebagai hak milik (Hifdz Al-Mal), prinsip yang keempat yaitu jaminan sebuah
perlindungan terhadap kepercayaan dan agama yang diyakini (Hifdz Al-Din),
prinsip yang kelima yaitu jaminan atas keberlangsungan hidup dan profesi (Hifdz
Al-‘Irdl). Dari sinilah dapat dilihat bahwa Islam, tidaklah mewajibkan
secara ekplisitly untuk menanamkan suatu negara dengan sebutan Negara
Islam atau Khilafah Islamiyah.
Menurut hemat saya, pluralisme pada masa Khulafaur-Rasyidin
merupakan sebuah perwujudan munculnya nilai-nilai demokrasi. Meskipun dalam
teori politik abad pertengahan, fungsi utama mereka bersifat kontraktual.
Artinya mereka menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada seorang yang
berkualifikasi dan begitu diterima, mereka memberikan bai’at kepadanya. Karena,
pada masa itu sistem menetapkankan kepemimpinan dengan cara Ahl Al-Halli Wa
Al-‘Aqd, atau dengan cara demisioner. Istilah Ahl Al-Halli Wa Al-‘Aqd
pada masa sekarang di Negara kita Indonesia popular dengan sebutan MPR (Majelis
Permusyawaratan Rakyat), sedangkan dikalangan kaum intelektual/mahasiswa
disebut dengan DPM (Dewan Presisium Mahasiswa), selain itu juga disebut dengan
dewan legislatif dan syuro.
Begitu jelas nilai demokrasi di masa Khulafaur-Rasyidin terutama
pada masa sahabat Abu Bakar dan Umar ibn Al-Khaththab. Maka dari itu Maqashid
Al-Syari’ah itu harus ditegakkan. Namun ada sebagian kelompok Islam yang
menggunakan atribut-atribut keagaman namun melakukan diskriminasi, subordinasi
dan marginalisasi dan bertidak kekerasan atas fisik dan martabat hak-hak dasar
manusia. Bahkan di sisi lain kelompok ini melebelling negatif dan berbendapat
bahwa demokrasi itu sistem kafir dan harus dihapuskan dan diganti dengan sistem
khilaf.
Jika kita melihat fakta dan realita di Indonesia ini mayoritas
muslim yang membangun sebuah peradaban
dan sejarah sejak lahirnya Indonesia yang memperjuangkan Indonesia untuk
merdeka ada beberapa kelompok Islam yang lahir pada masa itu seperti
Muhammadiyah, PERSIS, NU, PERTI, NW, Al-Irsyad, Sarekat Islam dll. Namun di
masa kini muncul kelompok-kelompok baru di Indonesia yang mempengaruhi
masyarakat Indonesia, dan kelompok itu merupakan ekspor dari negara-negara luar seperti HTI, MMI, MTA dll. Para pemikir
politik Islam banyak yang berbeda pendapat ada yang cenderung terhadap Hizbut
Tahrir yang dipelopori oleh Taqiyyuddin Al-Nabhani di Indonesia ada Abu Bakar
Ba’asyir dan Ismail Yusanto, ada yang sekuler seperti Mustafa Kemal At-Tatruk
di Indonesia ada Ahmad Soekarno, ada yang moderat dan nasionalis seperti Hasan
Al-Bana di Indonesia ada Gus Dur dan Cak Nur.
Dapat diambil kesimpulan bahwa pluralisme sebagai wujud penting terbentuknya demokrasi dengan beberapa unsur yaitu adanya masyarakat madani, tegaknya keadilan hukum. Di kalangan Khulafaur-Rasyidin yang mayoritas masyarakatnya multikultur, multiagama, dan multietnis. Karena itu pluralisme sangat penting atas terbentuknya demokrasi dan Maqashid As-Syari’ah sebagai landasan tegaknya demokrasi.
Dapat diambil kesimpulan bahwa pluralisme sebagai wujud penting terbentuknya demokrasi dengan beberapa unsur yaitu adanya masyarakat madani, tegaknya keadilan hukum. Di kalangan Khulafaur-Rasyidin yang mayoritas masyarakatnya multikultur, multiagama, dan multietnis. Karena itu pluralisme sangat penting atas terbentuknya demokrasi dan Maqashid As-Syari’ah sebagai landasan tegaknya demokrasi.
0 komentar: