Banyak yang bertanya
tanya, apakah NU itu semacaormas semangka ? Luar hijau tapi dalamnya merah.
Analogi ini mengacu pada kedekatan kaum nasionalis dengan nahdliyin sejak dulu.
Kita tentu mengingat awal awal orde reformasi, Gus Dur sendiri menitipkan keponakannya
untuk ditaruh di PDIP. Selain itu konsistensi NU dalam menyikapi masalah
kebangsaan dari bingkai pluralisme, menjadi benteng terhadap gerusan ide-ide
sectarian dan negara Islam. Tentu kita harus menarik garis merah sejarah
bagaimana nasionalisme melalui Sukarno bisa bertautan dengan Islam.
Pada tahun 1930an,
tulisan tulisan Sukarno tentang kebangsaan, sudah dibaca dan dikagumi di
kalangan pesantren. Khususnya tulisan Sukarno “Mencapai Indonesia merdeka” yang
memberikan obor semangat nasionalisme pada para santri. Sehingga walau tidak
ada bukti kedekatan fisik antara Sukarno dan NU, namun dalam tingkat ide,
pemikiran Sukarno bukan sesuatu yang asing bagi NU.
Ini menjelaskan artikel
“ Riwayat singkat Nahdlatul Ulama “ dalam Majalah Gema Muslimin – yang dimuat
Feb 1945 – menulis bahwa para santri di Tebu Ireng tahun 1930an sudah
menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya setiap hari kamis, setelah mata
pelajaran terakhir. Pada muktamar NU ke 25 di Surabaya tahun 1940, NU justru
melihat Sukarno – yang saat itu dalam pembuangan – menjadi calon pemimpin
Indonesia yang mumpuni jika Indonesia merdeka kelak. Saat itu dibuat semacam
konvensi Presiden masa sekarang, yang dipimpin oleh KH. Mahfud Siddiq. Mereka
berkumpul memilih nama-nama calon pemimpin yang muncul dari tokoh tokoh
pergerakan Islam atau kebanggasaan.
Dari 11 ulama senior
dalam pemilihan konvensi itu, 10 memilih Sukarno dan 1 memilih Hatta. Menarik
mengapa justru Sukarno yang sekular yang terpilih, bukan Hatta yang dari
permukaan tampak lebih Islami. Ada beberapa persamaan Sukarno dan NU. Sama sama
Jawa Timur dan sama sama mencintai kebudayaan lokal, sehingga agama dan budaya
bisa menjadi satu, menjadi Islam. Namun lebih dari itu, sejak lama NU mengamati
tulisan tulisan Sukarno, dan khusus pada tulisan ‘ Nasionalisme, Islam dan
Marxisme ‘, mereka terpukau bahwa Sukarno menawarkan titik temu antara
nasionalisme dan Islam. Ini menunjukan kesamaan pola pikir, NU mempunyai
metodologi yang nyaris sama. Gemar menyatukan dua hal yang tampaknya berbeda.
Jepang memiliki peran
penting dengan menggabungkan kekuatan nasionalis dan Islam dalam satu badan.
Sukarno dan KH. Hasyim Asya’ri diangkat Jepang menjadi pembesar di Jawa
Hokokai, sebuah organisasi bentukan Jepang untuk memobilisasi pengabdian
rakyat. Hal mana pada jaman Belanda, kaum Nasionalis dan Islam selalu berdiri
sendiri sendiri. Walau Jepang sendiri tidak melihat bahwa Sukarno akan menjadi
peran penghubung antara kelompok Islam dengan Jepang. Sehingga Jepang justru
mendatangkan orang Jepang muslim, Haji Abdul Muniam Inada dan Haji Muhammad Saleh
Suzuki untuk mendekati golongan Islam.
Dalam Jawa Hokokai, KH
Hasyim Asya’ri, yang jugasebagai ketua Masyumi bentukan Jepang juga, banyak
melihat bagaimana Sukarno secara pragmatis melakukan negoisasi dengan Jepang,
Ketika 15 Agustus 1944, Soekarno berhasil membujuk Jepang untuk mengijinkannya
membentuk Barisan Pelopor, sebuah organisasi nasionalis yang menggerakan para
massa rakyat. Maka KH Hasyim Asya’ari juga meminta diijinkan membentuk barisan
bersenjata sendir, yang diresmikan tgl 4 Desember 1944. Barisan massa Islam ini
dinamakan Hisbullah yang artinya Barisan Tentara Allah.
Titik temu Sukarno dan
NU terbentuk lebih intens saat rapat rapat BUPKI. Badan yang beranggotakan 62
orang itu, 15 diantaranya merupakan wakil golongan Islam, termasuk wakil NU KH.
Masykur dan KH Wahid Hasyim. Dari mereka, Sukarno mengenal pesantren lebih
dekat, karena mereka menunjukan simpati yang besar terhadap nasionalisme
berdasarkan kerakyatan. Ini cocok dengan paham Sukarno yang nasionalis dan
marhaen.
Dalam sidang BPUPKI
berikutnya terjadi perdebatan keras antara kelompok Islam dan nasionalis
sekuler. Sejak pidato Soepomo tgl 31 Mei 1945, Hatta sudah meminta agar agama
dipisahkan dengan negara. Walau Soepomo menyinggung yang dimaksud negara dan
agama bersatu padu, alasannya Islam itu sebuah sistem agama, sosial, politik
yang bersanadar atas Al Qur’an sebagai sumber dari segala susunan hidup
manusia. Dalam perdebatan itu, Sukarno menganjurkan kelompok yang mendukung
negara Islam agar menjunjung agama Islam melalui permusyawaratan atau parlemen.
Dengan kata lain, Islam tidak boleh diistimewakan (dilembagakan ) tapi
diperjuangkan melalui parlemen ( DPR ). Bila sebagian besar mereka beragama
Islam, maka Undang-undang yang dihasilkan merupakan undang undang yang sesuai
dengan Islam. Apa yang diucapkan Sukarno kelak dikenal dengan hari lahirnya
Pancasila. Munculnya rumusan Pancasila sebagai dasar negara, dikhawatirkan
menimbulkan pertikaian seru, sehingga Sukarno mengambil inisiatif kompromi pada
sidang tgl 22 Juni 1945.
Dari 38 orang anggota
BUPKI yang berkumpul pada hari itu sepakat membentuk panitia kecil yang terdiri
dari 9 orang. 4 dari golongan Islam (Wahid Hasyim, Agus Salim, Abi Kusno, Abdul
Kahar Moedzakir), dan 5 dari golongan nasionalis (Sukarno, Hatta, AA Maramis, Achmad
Subardjo dan M Yamin). Hasilnya mereka menghasilkan kesepakatan bersama yang
dikenal dengan ‘Piagam Jakarta. Dalam Piagam Jakarta, terdapat rumusan prinsip
Ketuhanan ditambahkan dengan kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk pemeluknya “.
Tanggal 17 Agustus
sore, Hatta menerima kunjunganperwira AL Jepang yang menyampaikan keberatan
penduduk Indonesia Timur yang mayoritas beragama Kristen, tentang pencantuman
Piagam Jakarta dalam mukadimah UUD. Jika tidak diubah, mereka lebih suka
berdiri diluar republik. Keesokan harinya tgl 18 Agustus, Hatta memanggil 4
anggota PPKI yang dianggap mewakili Islam. Ki bagus Hadikusumo, Kasman
Singodimejo, Teuku Hassan dan KH Wahid Hasyim. Semua sepakat demi menjaga
keutuhan negeri yang baru berdiri ini. Sebagai gantinya KH Wahid Hasyim
mengusulkan rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menggarisbawahi keesaan Tuhan
(tauhid) yang tidak terdapat pada agama lain. Dengan demikian Indonesia tidak
menjadi negara Islam tapi menjadi negara monoteis. Berpijak pada kenyataan
sejarah, maka NU tidak pernah khawatir dengan sistem kenegaraan yang lebih
mengedepankan kebangsaan daripada sectarian berbasis agama.
Dari kacamata NU,
perdebatan itu mudah dipahami. Karena sejarah NU sendiri pada Muktamar ke 11 di
Bandjarmasin, 9 Juni 1935. Pada saat itu NU telah memberikan status hukum
negara Islam sebuah pengakuan terhadap negara Hindia Belanda yang saat itu
masih dikuasai penjajah Belanda, Dengan logika ini, maka mempertahankan
kemerdekaan dengan kesatuan persatuan, kedamaian, kerukunan menjadi sangat
penting bagi NU, ketimbang bercita=cita mendirikan Khilafah Islamiyah. Dalam
muktamar itu muncul pertanyaan, “Apakah nama negara kita menurut syariat
Islam?” Keputusan Muktamar menyatakan: “Sesungguhnya negara kita Indonesia
dinamakan negara Islam karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang
Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir. Namun nama negara
Islam tetap selamanya “Argumen fiqihnya diambil dari kitab Bughyatul
Mustarsyidin pada bab Hudnah wal Imamah”.
Tak ada pertentangan
prinsip antara Islam dan Pancasila. Sebagaimana pernyataan KH Sahal Mahfudz,
bahwa mengimplementasikan syarat Islam tidak diperlukan formalisasi negara
Islam. Islam bisa berkembang dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia.
Maka ada pepatah indah dari KH Muchid Muzadi, bahwa menjadi NU menjadi
Indonesis.
Sebelumnya pada jaman
Jepang, Wahid Hasyim pernah meminta Hatta untuk memimpin NU. Ini barangkali
kepercayaan NU terhadap golongan nasionalis untuk memimpin organisasi agama.
Hanya permintaan itu ditolak Hatta. Kompromi seperti menjadikan Indonesia tidak
murni negara sekuler tapi juga tidak negara Islam. Dalam negara Pancasila yang
didukung NU. Semua warga berhak menjalankan agamanya dan beridbadah sesuai
agama dan kepercayaannya.
Salah satu pengakuan
atas kontribusi NU dalam perjuangan kemerdekaan, dikemukakan Sukarno dalam
pidatonya pada penutupan Muktamar NU di Solo tahun 1962. Pidato yang berjudul
“Saya Cinta sekali pada NU“ menegaskan kontribusi nasionalisme dan sosialisme
di Indonesia. Sukarno bahkan secara spesisik menerima nasehat politik dari KH
Wahab Hasbullah bertalian dengan strategi melawan pendudukan Belanda di Irian
Barat.
Strategi politik yang
dicetuskan Kiai Wahab disebut “Cancut Tali Wondo” Kiai Wahab memang salah satu
pendukung Sukarno yang gigih. Ia memang sudah mengagumi Sukarno sejak pertemuan
di rumah HOS Cokroaminoto ketika mereka masih sama sama muda. Ia pernah
mengatakan dalam pidatonya bahwa, Soekarno tanpa NO (Nahdlatoel Oelama) akan
menjadi susah menjalankan program politiknya. Demikian juga Bung Karno tanpa NO
(Nahdlatoel Oelama) akan mudah didongkel orang. Orang sering mengartikan NU
bersikap oportunis, ketika Sukarno berkuasa. Ini dianggap sebagai balas budi
ketika Sukarno memberikan dukungan atas ijtihad politik Kiai NU yang ingin
lepas dari Masyumi dan memiliki partai politik sendiri. Padahal NU mengikuti
Sukarno karena cita citanya dan ideologinya sama. Kenyataan NU tetap kritis
terhadap kebijakannya, termasuk menjadi organisasi pertama yang meminta
membubarkan PKI setelah tragedy 30 September.
NU menganut paham
ahlussunah waljamaah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah (tawasuth)
antara ekstrim aqli ( rasionalis) dengan ekstrem naqli ( skripturalis ). Karena
sumber pemikiran NU tidak hanya al-Qur’an dan sunah tetapi juga mengedepankan kemampuan
akal dengan realitas empiric. Cara berpikir semacam itu dirujuk dengan pemikir
terdahulu seperti Abu Hassan Al-Asya’ri dan Abu Manur Al- Maturadi dalam bidang
teologi. Kemudian dalam bidang fiqh lebih cenderung mengikuti mazhab Imam
Syafi’I dan mengakui tiga mazhab lainnya. Hanafi, Maliki dan Hanbali. Sementara
dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al- Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi
yang mengintegrasikan antara tasawuf dan syariat.
Puncak hubungan NU
dengan Sukarno terjadi setelah NU mendapat kursi wakil perdana Menteri, yakni
Zainul Arifin dalam kabinet PM Ali Sastroamijoyo dari PNI. Kemudian akhir 1953,
dalam konperensi para ulama di Cipanas. Pertemuan yang disebut Muktamar Alim
Ulama se- Indonesia, memutuskan memberi gelar kepada Sukarno sebagai Waliyul
Amri Dharuri Bis Syaukati. Kalau diterjemahkan, “pemerintah yang sekarang ini
berkuasa (dan harus dipatuhi berdasarkan Surah 4 ayat 59).
Ulil amr adalah orang
orang yang melaksanakan kekuasaan atau tanggung jawab atas keputusan atau
penyelesaian urusan. Kekuasaan mutlak ada pada Allah SWT. Maka diharapkan
pemerintahan biasa akan melakukan kebenaran, berlaku sebagai imam yang benar
dan kita harus mematuhi kekuasaan itu. Ini artinya bahwa pemerintahan yang
dipimpin Sukarno adalah sah menurut hukum Islam, sekaligus berhak mengangkat
para pejabat yang berwenang untuk menangani urusan urusan yang menyangkut
urusan Islam. Walaupun keputusan itu ditolak oleh beberapa ulama di luar NU,
tapi memberikan legitimasi terhadap pemerintah Sukarno untuk menumpas
pemberontakan DI/TII.
Keputusan makin
diperlukan mengingat Masyumi tidak jelas, bahkan cenderung bersimpati kepada
pemberontakan. Pembelaan KH Wahab Hasbullah, didasarkan bahwa beliau – Sukarno
– bersembahyang dan perkawinannya secara Islam. Begitu juga beliau disumpah
sebagai Presiden, secara Islam.
Abdurahman Wahid pernah
menulis dalam bukunya bahwa pengukuhan Sukarno sebagai Waliyal Amri Dharuri Bis
Syaukati merupakan keputusan berdasarkan hukum fiqih. Diakui Presiden tidak
dipilih oleh ulama yang kompeten untuk itu (ahlul halli wal ‘aqdi ) sehingga
tidak sepenuhnya memiliki keabsahan di hukum fiqih. Namun kekuasaannya harus
tetap efktif, karena ia berkuasa penuh. Karena pemerintah menjalankan
kepentingan umat Islam, melalui wewenang yang ada pada Menteri Agama, maka
ulama harus memberikan penegasan tentang keabsahan pimpinan negara pada saat
itu. NU adalah organisasi pertama yang menerima Pancasila. Lebih tepat disebut
paling mudah menerima Pancasila. Hal ini didasarkan pada kaidah seperti “apa yang
tidak bisa diraih semuanya, jangan ditinggal semuanya” (ma la yudraku kulluh,
la yutraku kulluh) atau kaidah “ketika kita dihadapkan ada sebuah dilemma,
pilihlah salah satunya dengan mempertimbangkan yang paling kecil dampak
negatifnya”. Ini memungkinkan NU dengan entengnya memberi solusi atas kebuntuan
yang dihadapi terutama dalam desakan pemerintah orba untuk menerima asas
tunggal Pancasila. Ketika Pancasila ditawarkan sebagai ideologi negara dan NKRI
adalah final, justru tidak diributkan oleh kalangan NU, karena konsep Indonesia
yang majemuk sudah inheren dalam tubuh NU. Untuk itu buat apa berdebat terhadap
sesuatu yang dimiliki NU.
Sejarah NU sama dengan
sejarah Sukarno dalam mencintai Republik ini. Bedanya oleh NU selalu dikaitkan
dengan kewajiban menjalankan tugas keagamaan. NU menyadari sepenuhnya bahwa
pemerintahan Republik Indonesia hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia
termasuk NU. Sehingga umat Islam tidak asing secara keagamaan dengan semangat
perjuangan bangsa. NU dan Sukarno sama sama bahu membahu dalam membangun rumah
Indonesia menjad i baldatun thayyibatun wa robbun ghafur, tempat dimana jamaah
nahdliyin tinggal bersama sama dengan saudara sebangsa yang lain. Sesungguhnya
ini bukan sekadar tanggung jawab konstitusional NU, melainkan jelas kewajiban
yang melekat. Jika nasionalisme dijadikan landasan berpijak, maka antara
Sukarno dan NU hendaknya diucapkan dalam satu denyut jantung. Selanjutnya
tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan bangsa dan negara tetap berdiri
sebagaimana yang dicita citakan mereka.
Dalam sejarah
perjalanan bangsa, NU selalu meletakan kepentingan bangsa dan negara diatas
kepentingan NU sendiri untuk memperjuangkan islam sebagai dasar negara.
Kenyataan sejarah ini NU hingga sekarang tetap istiqomah mempertahankan 4 pilar
bangsa. Sebagaimana yang disebut oleh Ketua Umumnya KH Said Agil Siradz , bahwa
PBNU itu singkatan dari Pancasila, Bhineka, NKRI dan UUD 1945.
0 komentar: