“Samemeh
asup Islam ka Tanah Pasundan, urang Sunda geus asup Islam tiheula.”
–Haji
Hasan Mustopa (1852-1930M)–
Di
Indonesia terdapat beberapa agama besar di antaranya; Islam, Kristen Protestan,
Katholik, Hindu, Buddha, Konghuchu. Semua agama ini berasal dari negera luar
(foreign nation), lantas kemana agama asli (original) bangsa ini? Dan
bagaimanakah keberadaannya? Apa peran pemerintah untuk mencukupi hak-haknya?
Bagaimana relasi keberagamaan di Indonesia dengan aliran kepercayaan atau agama
adat?
Saya
tidak akan terlalu banyak mengulas pembahasan tentang agama-agama dan
kepercayaan adat di Indonesia karena sudah terlalu banyak varian menghamba
kepada Tuhan dengan metode yang berbeda-beda meskipun Tuhan-nya sama atau
berbeda, tapi sejatinya Tuhan itu hanya ada satu, dan tidak ada orang yang tak
ber-Tuhan (a-Theis). Aliran kepercayaan di Indonesia sesuai data yang direkam
peneliti Abdul Rozak, ada sekitar 245 aliran kepercayaan yang terdaftar, jumlah
keseluruhan penganutnya mencapai 400.000 jiwa, lumayan data yang mengejutkan
dan sangat fantastis, dari sekian banyak penelitian ternyata aliran kepercayaan
terbanyak penganutnya dengan angka statistik 100.000 jiwa adalah agama Buhun
(Sunda Buhun).
Agama
warisan Nusantara yang sebenarnya adalah agama yang menghamba terhadap satu
Tuhan namun dalam bentuk peribadatan yang berbeda-beda sehingga agama asli
Nusantara warisan para leluhurnya sering disebut dengan kepercayaan adat atau
aliran kepercayaan. Lantas, apakah perbedaan agama dengan aliran kepercayaan?.
Agama
sering kali kita klasifikasikan kepada dua kategori; Pertama adalah agama
Samawi(langit) yaitu agama-agama yang mengajarkan tentang ketuhanan dengan
ajaran-ajarn Tuhan terhadap para Nabinya atas renungan-renungan pribadi
utusannya, dan mempunyai kejelasan tokoh suci (Nabi) dan kitab suci, agama
samawi sering diidentikkan dengan agama-agama semit yang lahir di Timur Tengah,
seperti Yahudi, Nashrani, dan Islam. Kedua adalah agama Ardli (bumi), agama ini
sering diidentikkan dengan agama-agama yang lahir di Timur seperti Buddha di
India, agama-agama yang bukan muncul di Timur Tengah, namun seringkali agama
Ardli ini disematkan kepada agama-agam aliran kepercayaan di Indonesia. Namun,
hal ini baru muncul belakangan jika kita mengkaji al-Qur’an dan al-Hadits, atau
mengkaji kitab-kitab sebelum al-Qur’an seperti Taurat dan Injil sama sekali
kita tidak akan menemukan pengklasifikasian terhadap agama, dan hal ini yang
perlu kita ubah suatu pandangan yang mendiskriminasikan agama-agama selain
agama dari Timur Tengah, yang padahal semua agama muncul lebih karena
perenungan pribadi tokoh sucinya, seperti yang terjadi dalam Kristen, bahwa
Kristen lahir atas renungan Nabi Isa As, begitu pula dengan Islam atas renungan
Nabi Muhammad Saw di Goa Hiro, Sang Buddha atas renungan Sidharta Gautama. Oleh
karena itu, pada mulanya seluruh agama adalah hasil komunikasi manusia dengan
Tuhan dan pada dasarnya semua agama berasal dari langit, maka ketika hasil dari
agama langit itu diterjemahkan, dibagi, diajarkan dan disebar-luaskan maka
seluruh agama kemudian menjadi agama bumi.
Sayangnya
setelah munculnya agama-agama dari luar Indonesia, aliran kepercayaan semakin
sedikit dan mayoritas berada di daerah pedalaman, apalagi ketika munculnya
imperium asing, penjajahan atas dunia di masa penjajahan Belanda dan Jepang,
dan di masa peperangan melawan penjajah pasca itulah muncul stigma bahwa aliran
kepercayaan adalah aliran animisme dinamisme yang tidak menyembah kepada Tuhan
melainkan menyembah kepada arwah nenek moyang. Oleh karena itu, aliran
kepercayaan mendapatkan cap “negatif” secara labelling dari pandangan
masyarakat Indonesia, yang pada akhirnya taka da satu pun agama-agama dan
kepercayaan asli Nusantara yang diakui di Republik Indonesia sebagai agama
dengan hak-hak utuk dicantumkan dalam KTP, Akta Kelahiran, pencatatan
perkawinan di kantor sipil dsb.
Salahsatu
penyebab kurang populernya agama lokal atau kepercayaan adat ini tidak lepas
karena peran pemerintah yang tidak melegalkan agama tersebut sebagai agama
resmi melainkan menggolongkannya kepada aliran kepercayaan semata. Masyarakat
Indonesia sendiri nyaris tidak memberi peluang untuk tumbuh dan berkembangnya
agama lama ini, bahkan tidak jarang menganggapnya sebagai aliran sesat.
Sebenarnya pada hakikatnya mereka sama sekali bukan ajaran sesat, karena
keberadaan mereka sudah dijamin oleh undang-undang. Namun, undang-untang
tetaplah hanya sebagai teks dan kata-kata semata karena kenyataannya mereka
terpinggirkan, bahkan jiga ingin mendapatkan legalitas resmi dari pemerintah,
mereka terpaksa harus mencantupkan agama yang bukan kepercayaan mereka di KTP
dan surat-surat lainnya. Pemerintah sendiri sejak awal hanya mengakui 5 agama
besar di Indonesia, namun ada tambahan satu lagi yaitu Konghuchu lagi-lagi
aliran dari luar negeri yang mereka legalkan.
Relasi
hubungan masyarakat yang beragama resmi dengan masyarakat beraliran kepercayaan
yang kelegalitasannya tidak dipenuhi oleh pemerintah, mempunya kecenderungan
yang individualistis sehingga ada sebuah kesenjangan soasial di antara
keduanya, baik itu dalam segi pergaulan dll. Oleh karena itu, pemerintah kurang
lebihnya harus peka memandang masyarakatnya demi kesejahteraan bangsanya,
supaya menjadi negara yang berdaulat, adil, dan makmur.
Islam
dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) Ajaran Pikukuh Sunda
Haidar
Bagir dalam Sutanto (2001: 9) seluruh kearifan kuno (ancient wisdom) dan
kearifan lokal (local wisdom, al-bi‟at al-mahalliyat) yang dimiliki masyarakat
di seluruh dunia, sesungguhnya, bersumber dan berpusat pada satu poros belaka,
yakni kearifan Ilahi(perennial wisdom). Menurutnya seluruh ajaran kearifan yang
dimiliki oleh kebudayaan di seluruh dunia (Maya, Aztec, Zoroaster, dan India
Kuno) merujuk pada satu sumber yang sama, yakni “Corpus Hermeticum”, yang
merupakan buah pemikiran Sang Guru Ilmu Pengetahuan, Hermes. Menurut
Al-Biruni masa hidup Hermes dalam kurun
waktu 300-100 SM, dan ini dibenarkan oleh Arnold J Toynbee dalam nama Hermaeus,
sama dengan masa hidup Nabi Idris dalam Bahasa Indonesia adalah Sang Maha Guru
Pencerahan (Bathara Guru), sedangkan menurut Karen Amstrong Hermes adalah
Penyampai Pesan Dewa (Tuhan) dalam mitologi Yunani.
Semua
kearifan kuno dan kearifan lokal berasal dari kearifan Ilahi, yaitu sebuah
kearifan yang diproduksi oleh seorang Hermes, seorang Nabi, seorang penyampai
pesan Tuhan, Nabi Allah untuk melestarikan alam dan budaya, membawa teks-teks
wahyu atau pesan Tuhan sebagai teks-teks budaya. Kearifan lokal yang ada dimasa
lampau merupakan ajaran-ajaran Nabi Allah. Sebab, bukankah, “Sesungguhnya pada
setiap kaum Dia menurunkan seorang Nabi” (QS. 35:24, 10:47, 21:7)?. Bukankan
dalam beberapa riwayat Tuhan itu menciptakan Nabi yang banyak bahkan setiap
daerah mempunyai Nabi, bahkan dalam hadits Nabi Muhammad Saw dijelaskan
“al-‘Ulama’u Ummatiii Kal Anbiya’i fii Banii Israiil” (Ulama di kaumku seperti
para Nabi di Bani Israel), jadi para pembawa kearifan lokal adalah mereka para
Nabi yang membawa suhuf-suhuf (teks-teks wahyu), suhuf-suhuf itu adalah
teks-teks budaya sehingga kearifan lokal dan kearifan kuno berasal dari
kearifan Ilahi.
Jika
demikian adanya, mengikuti penjelasan Fahd Pahdepie (dalam Asep Saeful Muhtadi,
ed., 2008: 14), kearifan Sunda juga sejatinya berasal dari kearifan Ilahi.
Thus, demikian Pahdepie, kearifan Sunda adalah juga berarti kearifan Ilahi.
Sebab, seperti yang sudah dipaparkan tadi, kebudayaan India (tempat lahirnya
Hindu dan Budha yang menjadi warna awal tradisi Sunda) pun berasal dari Hermes,
dari Idris.
Menurut
Ajip Rosyidi (2006), Berbicara soal kearifan Sunda, memang tak pernah bisa
dilepaskan dari ajaran Hindu dan Budha (terutama aliran Tantra), sebab kedua
agama kepercayaan ini menjadi warna tersendiri bagi kebudayaan, kearifan, dan
masyarakat Sunda. Yang lebih menarik ajaran Hindu dan Buddha ini lebih dekat
dengan ajaran Islam bahkan Muhammad Abduh dalam menafsirkan QS. Al-Tiin ayat 1,
Abduh berargumen bahwa Sidharta Gautama mendapatkan wahyu di bawah pohon Tiin,
Nabi Isya di bawah pohon Zaitun, Nabi Musa di Gn. Turisina, Nabi Muhammad di
Mekkah (Goa Hiro). Begitu juga, Nurcholish Madjid pernah mengatakan bahwa,
Hindu dan Budha (juga Taoisme) merupakan ahl kitab (Sutanto, 2001: 13). Ada
fakta yang lebih menarik bahwa Nabi Dzulkifli adalah buda
kavilavastu/kavilawastu sebab dalam Bahasa Arab kata “Dzu” adalah hurufasma’
al-Khamsah yang memiliki arti Ahlun (penghuni) atau Milkun (mempunyai), dan
Kifl adalah nama daerah atau lebih jelasnya kata singkat dari Kavilawastu,
Kavilavastu, Kifl/Kivl/Kavl, jadi Nabi Dzulkifli adalah seorang Buddha
Kavilavastu. Fakta yang lebih mengejutkan lagi bahwa Buddha Mateyria (yang
diramalkan sebagai sosok yang agung, lemah lembut dan akan datang “belakangan”)
adalan sosok Nabi Muhammad Saw., sebab para agamawan-ilmuwan Hindu di India
saat ini berkeyakinan, keduanya memiliki ciri-ciri yang sama.
Terlepas
dari setuju atau tidak, rasanya “kemiripan” atau “keidentikkan” nilai-nilai
kebenaran dalam sejumlah kearifan kuno dan kearifan lokal akan sulit
terbantahkan jika disimak hadits Nabi Muhammad Saw. berikut ini, “Andaikan
Plato (Aflathun) hidup di zamanku, niscaya ia akan menjadi pengikutku.” Hal ini
tentu saja mengindikasikan bahwa kemungkinan seluruh kearifan yang mengajarkan
kebenaran memiliki “kemiripan” karena bersumber dari “satu”yang sama akan sulit
terbantahkan. Dari uraian di atas, rasanya sulit dielakkan pula atas
kemungkinan kearifan Sunda yang berasal dari kearifan Ilahi. Bagi saya sangat
tidak rasional jika dizaman kuno atau zaman dahulu sebelum muncul Nabi-nabi
Ibrahimiyah, di setiap tempat persinggahan manusia tidak ada seorang Hermes
atau Nabi Allah, dan saya yakin bahwa seluruh aliran kepercayaan di Indonesia
lahir dari seorang Guru Pencerahan (Hermes).
Islam
itu Sunda, Sunda itu Islam
Istilah
ini sangat sensitif bagi orang yang non-Sunda, seolah-olah Islam itu milik
Sunda. Harus kita perhatikan jika orang beranggapan bahwa Sunda itu adalah nama
suku di Jawa bagian Barat maka itu salah patal, kenapa? Menurut, Lucky
Hendrawan seorang Tokoh Ajaran Pikukuh Sunda mengatakan; “Sunda adalah Matahari
atau Api Abadi yang Agung/Besar”. Menurutnya Sunda bukan hanya berada di Jawa
Barat namun Sunda adalah nama semua Banua/Benua/Buana di jagat raya ini, Sunda
bukan hanya sebuah lempengan kecil tapi Sunda adalah Sundaland/Atlantis yang
dikatakan Plato, adalah sebuah peradaban maju yang mampu menciptakan teknologi
canggih dll. Namun, memang pada puncaknya atau pusatnya Sunda berada di Jawa
Barat tepatnya di Gunung Sunda Purwa. Manusia Sunda adalah manusia yang
mewarisi ajaran para leluhurnya yaitu agama nenek moyangnya yang mana Tuhan
bagi mereka adalah “yang dituakan/ditokohkan” Tuhan asal kata Tohaan/Tuan, maka
baginya sungguh sangat naif jika ada orang yang a-Theis (tidak mempunyai
Tuhan). Dalam kehidupan bermasyarakatnya Manusia Sunda selalu mengedepankan
kearifan lokal, budaya, dan tradisi. Secara keberagamaan mereka mempunyai
tradisi-tradisi tertentu untuk menyembah Tuhannya, baginya Ibadah
adalahMengabdi berarti seorang Manusia diciptakan untuk mengabdi kepada Tuhan
dengan cara Melestarikan Bumi Tuhan yaitu Alam Semesta. Senada dengan al-Qur’an
yang berbunyiInnii Jaa’ilun fil Ardli Khaliefah (Sesungguhnya kami telah
menjadikannya seorang Khalifah, sedangkan Khalifah Fil Ardl (Penguasa di muka
bumi) harus bisa menjaga hak-hak dirinya dengan Tuhan dan hak-hak dirinya
dengan Alam, sebagai mana sifat dasar manusia menurut Karl Marx adalah serakah,
maka dari itu Allah berfirman Dzaharul Fasaadu fil Barri wal Bahri bimaa Kasabat
Aidi al-Naas (telah Nampak keruksakan di daratan dan di lautan dikarenakan
tangan jahil manusia).
Menurut
Ganjar Kurnia (2004), bisa diterimanya Islam dengan baik di tatar Sunda karena
di antara keduanya, yakni Islam dan Sunda, mempunyai persamaan paradigmatik
yang bercirikan Platonik. Islam memandang dan memahami dunia sebagai ungkapan
azas-azas mutlak dan terekam dalam wahyu Allah. Sedangkan kebudayaan Sunda lama
meletakkan nilai-nilai mutlak yang kemudian diwujudkan dalam adat beserta
berbagai upacaranya. Haji Hasan Mustapa, yang dikenal sebagai penghulu Bandung
dan juga sastrawan Sunda, manakala menafsirkan Al-Quran pada ayat-ayat awal
surat Al-Baqarah menegaskan bahwaurang Sunda mah geus Islam samemeh Islam
(orang Sunda sudah Islam sebelum datangnya Islam). Hal ini dapat dibuktikan
dengan kenyataan bahwa hampir seluruh ranah kehidupan orang Sunda mengandung
nilai-nilai ajaran Islam. Ajaran dan hukum dalam masyarakat Sunda pun
disosialisasikan melalui beragam matra kehidupan, seperti seni dan budaya,
sebagaimana dapat dilihat pada lelakon pewayangan (wayang golek), lagu-lagu,
pantun dan banyolan-banyolan.
Dalam
melaksanakan tugas-tugasnya, baik sebagai individu dan keluarga, maupun sebagai
anggota masyarakat, manusia Sunda harus melaksanakan apa yang wajib dan yang
sunah secara berkesinambungan dan simultan sebagaimana terungkap dalam
peribahasa fardu kalaku sunat kalampah (yang fardu terlaksana, yang sunah
demikian pula). Pengaruh Arab Islam pun nampak sekali dalam bahasa Sunda,
seperti jisim abdi(saya) untuk menyebut diri sendiri yang sepenuhnya diambil
dari bahasa Arab. Jism yang berati badan, dan ‘abd yang berarti hamba.
Akulturasi
dan asimilasi antara budaya lokal (Sunda) dengan ajaran Islam telah membentuk
warna dan ciri khas pada keberagamaan masyarakat Sunda. Betapa Islam sangat
berpengaruh pada tradisi dan budaya Sunda. Karena, sejak pengalaman sejarahnya
yang paling awal, masyarakat Sunda senantiasa menempatkan nilai-nilai agama
(Islam) pada posisi yang sangat sentral dalam hampir seluruh aspek
kehidupannya. Oleh karena itu, ungkapan “kacida anehna lamun urang Sunda henteu
ngagem agama Islam” (alangkah anehnya kalau ada orang Sunda tidak memeluk
Islam), dapat dipahami. Meskipun orang Sunda bisa bertoleransi terhadap
pluralitas, tetapi dalam keluarga harus tetap berada dalam satu keimanan, yakni
iman Islam.
Akulturasi
Islam dengan Sunda dapat terlihat dari beberapa jenis ekspresi kesenian yang
ada di tatar Sunda. Selain sebagai hasil dari interaksi, akulturasi ini terjadi
karena pada awalnya dan bahkan hingga saat ini, kesenian seringkali digunakan
sebagai sarana penyebaran syiar Islam. Strategi seperti ini terutama dilakukan
oleh para wali pada awalawal penyebaran Islam di Pulau Jawa.
Pengaruh
Islam terhadap kesenian Sunda ini di antaranya dapat dilihat dari aspek
tulis-menulis, cerita, seni arsitektur, seni musik, seni pertunjukan, sastra,
seni suara, dan sebagainya. Dari aspek tulis-menulis, di tatar Sunda ditemukan
tulisan beraksara pegon (huruf Arab gundul). Tulisan-tulisan yang beraksara
pegon ini di antaranya dapat terlihat pada wawacan, surat-menyurat, tafsir,
silsilah, dan sebagainya. Berkaitan dengan kegiatan tulismenulis ini (termasuk
gambar), ditemukan pula beberapa mushaf Al-Quran yang mempunyai corak khas
Sunda, bahkan sekarang ini lebih dikembangkan lagi menjadi AlQuran Mushaf
Sundawi (lihat Agus Ahmad Safei, “Fenomena Kultural Islam Sunda”,dalam Cik
Hasan Bisri, ed., Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar
Sunda,Bandung: Kaki Langit, 2005).
Pada
akhir tahun 1800-an, dan awal 1900-an, pernah hidup manusia fenomenal Sunda
bernama Haji Hasan Mustapa. Ajip Rosidi (1983: 73), menyebutnya sebagai
“mistikus-filosof Islam ngan bisa lahir tur hurip-hirup dina lingkungan jiwa
katut kabudayaan Sunda”.Yakni, mistikus-filosof Islam, yang lahir dan hidup
tumbuh dalam lingkungan jiwa dan kebudayaan Sunda. Menurut Haji Hasan Mustapa,
segala yang datang dari luar, sebagai tamu harus dibanding-banding
(ditimbang-timbang), kemudian diterjemahkan ke dalam alam kesundaan, dipahami,
diartikan, dan dimaknai dengan konteks lokal kesundaan yang dimiliki. Tanpa
terkecuali sikap orang Sunda terhadap Al-Quran, misalnya, Menurutnya, harus
ditimbang dengan “Quran” tuturunan titinggal karuhun Sunda.
Selanjutnya,
dalam upaya menghadapi budaya “luar” ini, Haji Hasan Mustapa menggubah
nasihatnya, dalam bentuk kakawihan, sebagai berikut;
Kembang
kacang barudak geura beungkeutan;
Semah
datang barudak geura deukeutan.
Kembang
kacang barudak geura pipitan;
Semah
nganjang barudak geura ciwitan.
Kembang
asak barudak geura asakan;
Semah
nganjang barudak geura asaan.
Bagi
budaya Sunda, bersentuhan dengan budaya asing bukanlah hal yang baru. Jika
dilihat jauh ke belakang, karuhun (nenek moyang) Sunda telah membuktikan
kreativitasnya dalam menghadapi berbagai macam pengaruh dan “tamu” yang datang
dari luar, baik itu dari India (Hindu, Budha), Jawa (Mataram), dan Arab
(Islam). Dan hasilnya menunjukkan, bahwa jiwa Sunda memiliki kemampuan untuk
membuat sintetis yang harmonis.
Sunda,
bahkan selalu berani berhadap-hadapan dengan jiwa, agama, kepercayaan, dan alam
pikiran yang bagaimanapun adanya. Dalam
proses “perjumpaan” tersebut, Sunda tidak pernah (sepenuhnya) hanyut oleh
“suara” tamu. Sebaliknya, ia dapat dengan dinamis dan harmonis membuat apa yang
mempengaruhinya itu menjadi khazanah kekayaan budayanya sendiri. Contoh, dalam
kosa kata yang awalnya berasal dari “luar”, kini sudah sedemikian “merenah”
bagai bagian integral Sunda. Nama Maman yang khas Sunda itu pun kabarnya
berasal dari bahasa Arab, Iman. Minah dari kata mu‟minah.
Tetapi,
tentu saja, resistensi Sunda terhadap budaya, nilai, dan keyakinan yang datang
dari luar bukannya tak ada. Dalam konteks ini, resistensi, pertama-tama, harus
dipahami sebagai sebuah daya tahan sekaligus daya tawar (lihat Donny Gahral
Adian, “Gaya Hidup, Resistensi, dan Hasrat Menjadi”, dalam Adlin, 2005: 23).
Maka, ketika hendak menimbang resistensi spiritualitas Sunda, tak ayal lagi
harus membincangkan daya tahan dan daya tawar tradisi Sunda terhadap kebudayaan
dari luar Sunda. Indikator yang digunakan untuk mengukur daya tahan dan daya
tawar ini sesungguhnnya sederhana.
Pramoedya
Ananta Toer (2001) dalam Bumi Manusia, menyebutkan bahwa daya tawar sebuah
tradisi dapat diukur dan diketahui dari sejumlah hal: bahasa, seni, politik.
Indonesia, menurut Pram, tergolong memiliki daya tahan dan daya tawar tradisi
yang relatif lemah. Hal ini dapat dilihat dari bahasa Indonesia yang banyak
sekali mengandung serapan “Arab”, berhubungan dengan upaya ekspansi dakwah
Islam yang menggunakan bahasa Arab. Kesenian yang ngarab, dan sistem politik
yang – tidak bisa tidak – sangat terpengaruh oleh Arab dan Belanda. Masih
menurut Pram, hal serupa juga terjadi pada sejumlah kebudayaan lokal di
Indonesia. Pram menyebutkan di antaranya Sunda merupakan kebudayaan lokal
(Indonesia) yang memiliki daya tawar tradisi yang relatif rendah. Babad
Padjajaran, yang sedikit banyak mengumumkan bahwa kebudayaan Arab (Islam) telah
merasuki kebudayaan asli Sunda, merupakan bukti bahwa daya tawar tradisi Sunda
terhadap kebudayaan luar Sunda tidaklah kuat.
Bukti
lain yang menunjukkan tidak kuatnya resistensi Sunda terhadap kebudayaan luar
(Sunda) ditunjukkan oleh begitu berjaraknya bahasa Sunda asli (bahkan Sunda
kuna) dengan bahasa Sunda yang biasa dipakai dan dipraktikkan sehari-hari.
Bahasa Sunda banyak sekali yang dimasuki oleh unsur bahasa asing terutama
bahasa Arab (yang menjadi representasi Islam). Hal ini tentu saja berkelindan
erat dengan resistensi spiritualitas yang menjadi bagian “kebudayaan” Sunda
tadi. Spiritualitas Sunda yang pada mulanya merupakan agama Sunda Wiwitan yang
cenderung pagan, tidak bisa bertahan ketika harus menghadapi hegemoni dan
kooptasi spiritualitas Hindu-Budha. Sebagai contoh, agama Sunda Wiwitan yang
kini masih dipegang teguh oleh masyarakat Baduy (Kanekes), masih memercayai
bahwa Tuhan atau Hyang Tunggal atau Hyang Widi masih merupakan kesatuan yang
tak terpisahkan dengan alam (hutan, laut, langit, tanah), yang sangat identik
dengan pola kepercayaan pagan, kemudian harus tereduksi dan terkooptasi oleh
spiritualitas Hindu-Budha yang kemudian mengubah cara pandang urang Sunda
terhadap Tuhan: bidadari, apsara, dewa, mahadewa, Hyang Widi.
Tidak
sampai di situ saja, datangnya Islam ke tatar Sunda kembali mengubah
spiritualitas dan ritus urang Sunda tadi, sehingga kini Hyang Tunggal tadi
bernama Allah, mahapandita yang tadinya para bikhu dan pandita menjadi para
ulama. Hingga akhirnya, muncullah term Islam-Sunda tadi. Yakni sebuah
spiritualitas eskatologis antara spiritualitas Sunda dan spiritualitas Islam.
Oleh
karena itu, kita sebagai akademisi seharusnya mampu mengkritisi setiap
kebudayaan masyarakat di Indonesia khususnya, dan bagaimana caranya agar kita
mampu menganalisis suatu masalah budaya, sosial, agama, dan politik karena hal
ini lah yang selalu mengalami dinamika perubahan sosial.
Referensi;
Jurnal
Annual Conference on Islamic Studies, Agus Ahmad Safei, MENATAP WAJAH
ISLAM DARI JENDELA SUNDA Banjarmasin, 1 – 4 November 2010 (ACIS) Ke –
10.
Arnold
J Toynbee, 2006, Sejarah Umat Manusia: Uraian Analitis Kronologis, Naratif, Komparatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ajip
Rosidi dkk., 2006, Konferensi Internasional Budaya Sunda, Bandung: Yayasan
Kebudayaan Rancage.
Ajip
Rosidi, 1983, Ngalanglang Kasusastraan Sunda, Jakarta: Pustaka Jaya,.
Karen
Armstrong, 2007, The Great Transformation: Awal Sejarah Tuhan, Bandung: Mizan.
Pramoedya
Ananta Toer, 2001, Bumi Manusia, Jakarta: Lentera Dipantara.
0 komentar: