Monday, December 12, 2016

AJARAN PIKUKUH SUNDA DAN ISLAM: SEBUAH TESIS FILOSOFI KEHIDUPAN




“Samemeh asup Islam ka Tanah Pasundan, urang Sunda geus asup Islam tiheula.”
–Haji Hasan Mustopa (1852-1930M)–


Di Indonesia terdapat beberapa agama besar di antaranya; Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Buddha, Konghuchu. Semua agama ini berasal dari negera luar (foreign nation), lantas kemana agama asli (original) bangsa ini? Dan bagaimanakah keberadaannya? Apa peran pemerintah untuk mencukupi hak-haknya? Bagaimana relasi keberagamaan di Indonesia dengan aliran kepercayaan atau agama adat?

Saya tidak akan terlalu banyak mengulas pembahasan tentang agama-agama dan kepercayaan adat di Indonesia karena sudah terlalu banyak varian menghamba kepada Tuhan dengan metode yang berbeda-beda meskipun Tuhan-nya sama atau berbeda, tapi sejatinya Tuhan itu hanya ada satu, dan tidak ada orang yang tak ber-Tuhan (a-Theis). Aliran kepercayaan di Indonesia sesuai data yang direkam peneliti Abdul Rozak, ada sekitar 245 aliran kepercayaan yang terdaftar, jumlah keseluruhan penganutnya mencapai 400.000 jiwa, lumayan data yang mengejutkan dan sangat fantastis, dari sekian banyak penelitian ternyata aliran kepercayaan terbanyak penganutnya dengan angka statistik 100.000 jiwa adalah agama Buhun (Sunda Buhun).

Agama warisan Nusantara yang sebenarnya adalah agama yang menghamba terhadap satu Tuhan namun dalam bentuk peribadatan yang berbeda-beda sehingga agama asli Nusantara warisan para leluhurnya sering disebut dengan kepercayaan adat atau aliran kepercayaan. Lantas, apakah perbedaan agama dengan aliran kepercayaan?.

Agama sering kali kita klasifikasikan kepada dua kategori; Pertama adalah agama Samawi(langit) yaitu agama-agama yang mengajarkan tentang ketuhanan dengan ajaran-ajarn Tuhan terhadap para Nabinya atas renungan-renungan pribadi utusannya, dan mempunyai kejelasan tokoh suci (Nabi) dan kitab suci, agama samawi sering diidentikkan dengan agama-agama semit yang lahir di Timur Tengah, seperti Yahudi, Nashrani, dan Islam. Kedua adalah agama Ardli (bumi), agama ini sering diidentikkan dengan agama-agama yang lahir di Timur seperti Buddha di India, agama-agama yang bukan muncul di Timur Tengah, namun seringkali agama Ardli ini disematkan kepada agama-agam aliran kepercayaan di Indonesia. Namun, hal ini baru muncul belakangan jika kita mengkaji al-Qur’an dan al-Hadits, atau mengkaji kitab-kitab sebelum al-Qur’an seperti Taurat dan Injil sama sekali kita tidak akan menemukan pengklasifikasian terhadap agama, dan hal ini yang perlu kita ubah suatu pandangan yang mendiskriminasikan agama-agama selain agama dari Timur Tengah, yang padahal semua agama muncul lebih karena perenungan pribadi tokoh sucinya, seperti yang terjadi dalam Kristen, bahwa Kristen lahir atas renungan Nabi Isa As, begitu pula dengan Islam atas renungan Nabi Muhammad Saw di Goa Hiro, Sang Buddha atas renungan Sidharta Gautama. Oleh karena itu, pada mulanya seluruh agama adalah hasil komunikasi manusia dengan Tuhan dan pada dasarnya semua agama berasal dari langit, maka ketika hasil dari agama langit itu diterjemahkan, dibagi, diajarkan dan disebar-luaskan maka seluruh agama kemudian menjadi agama bumi.

Sayangnya setelah munculnya agama-agama dari luar Indonesia, aliran kepercayaan semakin sedikit dan mayoritas berada di daerah pedalaman, apalagi ketika munculnya imperium asing, penjajahan atas dunia di masa penjajahan Belanda dan Jepang, dan di masa peperangan melawan penjajah pasca itulah muncul stigma bahwa aliran kepercayaan adalah aliran animisme dinamisme yang tidak menyembah kepada Tuhan melainkan menyembah kepada arwah nenek moyang. Oleh karena itu, aliran kepercayaan mendapatkan cap “negatif” secara labelling dari pandangan masyarakat Indonesia, yang pada akhirnya taka da satu pun agama-agama dan kepercayaan asli Nusantara yang diakui di Republik Indonesia sebagai agama dengan hak-hak utuk dicantumkan dalam KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan di kantor sipil dsb.

Salahsatu penyebab kurang populernya agama lokal atau kepercayaan adat ini tidak lepas karena peran pemerintah yang tidak melegalkan agama tersebut sebagai agama resmi melainkan menggolongkannya kepada aliran kepercayaan semata. Masyarakat Indonesia sendiri nyaris tidak memberi peluang untuk tumbuh dan berkembangnya agama lama ini, bahkan tidak jarang menganggapnya sebagai aliran sesat. Sebenarnya pada hakikatnya mereka sama sekali bukan ajaran sesat, karena keberadaan mereka sudah dijamin oleh undang-undang. Namun, undang-untang tetaplah hanya sebagai teks dan kata-kata semata karena kenyataannya mereka terpinggirkan, bahkan jiga ingin mendapatkan legalitas resmi dari pemerintah, mereka terpaksa harus mencantupkan agama yang bukan kepercayaan mereka di KTP dan surat-surat lainnya. Pemerintah sendiri sejak awal hanya mengakui 5 agama besar di Indonesia, namun ada tambahan satu lagi yaitu Konghuchu lagi-lagi aliran dari luar negeri yang mereka legalkan.

Relasi hubungan masyarakat yang beragama resmi dengan masyarakat beraliran kepercayaan yang kelegalitasannya tidak dipenuhi oleh pemerintah, mempunya kecenderungan yang individualistis sehingga ada sebuah kesenjangan soasial di antara keduanya, baik itu dalam segi pergaulan dll. Oleh karena itu, pemerintah kurang lebihnya harus peka memandang masyarakatnya demi kesejahteraan bangsanya, supaya menjadi negara yang berdaulat, adil, dan makmur.

Islam dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) Ajaran Pikukuh Sunda

Haidar Bagir dalam Sutanto (2001: 9) seluruh kearifan kuno (ancient wisdom) dan kearifan lokal (local wisdom, al-bi‟at al-mahalliyat) yang dimiliki masyarakat di seluruh dunia, sesungguhnya, bersumber dan berpusat pada satu poros belaka, yakni kearifan Ilahi(perennial wisdom). Menurutnya seluruh ajaran kearifan yang dimiliki oleh kebudayaan di seluruh dunia (Maya, Aztec, Zoroaster, dan India Kuno) merujuk pada satu sumber yang sama, yakni “Corpus Hermeticum”, yang merupakan buah pemikiran Sang Guru Ilmu Pengetahuan, Hermes. Menurut Al-Biruni  masa hidup Hermes dalam kurun waktu 300-100 SM, dan ini dibenarkan oleh Arnold J Toynbee dalam nama Hermaeus, sama dengan masa hidup Nabi Idris dalam Bahasa Indonesia adalah Sang Maha Guru Pencerahan (Bathara Guru), sedangkan menurut Karen Amstrong Hermes adalah Penyampai Pesan Dewa (Tuhan) dalam mitologi Yunani.

Semua kearifan kuno dan kearifan lokal berasal dari kearifan Ilahi, yaitu sebuah kearifan yang diproduksi oleh seorang Hermes, seorang Nabi, seorang penyampai pesan Tuhan, Nabi Allah untuk melestarikan alam dan budaya, membawa teks-teks wahyu atau pesan Tuhan sebagai teks-teks budaya. Kearifan lokal yang ada dimasa lampau merupakan ajaran-ajaran Nabi Allah. Sebab, bukankah, “Sesungguhnya pada setiap kaum Dia menurunkan seorang Nabi” (QS. 35:24, 10:47, 21:7)?. Bukankan dalam beberapa riwayat Tuhan itu menciptakan Nabi yang banyak bahkan setiap daerah mempunyai Nabi, bahkan dalam hadits Nabi Muhammad Saw dijelaskan “al-‘Ulama’u Ummatiii Kal Anbiya’i fii Banii Israiil” (Ulama di kaumku seperti para Nabi di Bani Israel), jadi para pembawa kearifan lokal adalah mereka para Nabi yang membawa suhuf-suhuf (teks-teks wahyu), suhuf-suhuf itu adalah teks-teks budaya sehingga kearifan lokal dan kearifan kuno berasal dari kearifan Ilahi.

Jika demikian adanya, mengikuti penjelasan Fahd Pahdepie (dalam Asep Saeful Muhtadi, ed., 2008: 14), kearifan Sunda juga sejatinya berasal dari kearifan Ilahi. Thus, demikian Pahdepie, kearifan Sunda adalah juga berarti kearifan Ilahi. Sebab, seperti yang sudah dipaparkan tadi, kebudayaan India (tempat lahirnya Hindu dan Budha yang menjadi warna awal tradisi Sunda) pun berasal dari Hermes, dari Idris.

Menurut Ajip Rosyidi (2006), Berbicara soal kearifan Sunda, memang tak pernah bisa dilepaskan dari ajaran Hindu dan Budha (terutama aliran Tantra), sebab kedua agama kepercayaan ini menjadi warna tersendiri bagi kebudayaan, kearifan, dan masyarakat Sunda. Yang lebih menarik ajaran Hindu dan Buddha ini lebih dekat dengan ajaran Islam bahkan Muhammad Abduh dalam menafsirkan QS. Al-Tiin ayat 1, Abduh berargumen bahwa Sidharta Gautama mendapatkan wahyu di bawah pohon Tiin, Nabi Isya di bawah pohon Zaitun, Nabi Musa di Gn. Turisina, Nabi Muhammad di Mekkah (Goa Hiro). Begitu juga, Nurcholish Madjid pernah mengatakan bahwa, Hindu dan Budha (juga Taoisme) merupakan ahl kitab (Sutanto, 2001: 13). Ada fakta yang lebih menarik bahwa Nabi Dzulkifli adalah buda kavilavastu/kavilawastu sebab dalam Bahasa Arab kata “Dzu” adalah hurufasma’ al-Khamsah yang memiliki arti Ahlun (penghuni) atau Milkun (mempunyai), dan Kifl adalah nama daerah atau lebih jelasnya kata singkat dari Kavilawastu, Kavilavastu, Kifl/Kivl/Kavl, jadi Nabi Dzulkifli adalah seorang Buddha Kavilavastu. Fakta yang lebih mengejutkan lagi bahwa Buddha Mateyria (yang diramalkan sebagai sosok yang agung, lemah lembut dan akan datang “belakangan”) adalan sosok Nabi Muhammad Saw., sebab para agamawan-ilmuwan Hindu di India saat ini berkeyakinan, keduanya memiliki ciri-ciri yang sama.

Terlepas dari setuju atau tidak, rasanya “kemiripan” atau “keidentikkan” nilai-nilai kebenaran dalam sejumlah kearifan kuno dan kearifan lokal akan sulit terbantahkan jika disimak hadits Nabi Muhammad Saw. berikut ini, “Andaikan Plato (Aflathun) hidup di zamanku, niscaya ia akan menjadi pengikutku.” Hal ini tentu saja mengindikasikan bahwa kemungkinan seluruh kearifan yang mengajarkan kebenaran memiliki “kemiripan” karena bersumber dari “satu”yang sama akan sulit terbantahkan. Dari uraian di atas, rasanya sulit dielakkan pula atas kemungkinan kearifan Sunda yang berasal dari kearifan Ilahi. Bagi saya sangat tidak rasional jika dizaman kuno atau zaman dahulu sebelum muncul Nabi-nabi Ibrahimiyah, di setiap tempat persinggahan manusia tidak ada seorang Hermes atau Nabi Allah, dan saya yakin bahwa seluruh aliran kepercayaan di Indonesia lahir dari seorang Guru Pencerahan (Hermes).

Islam itu Sunda, Sunda itu Islam

Istilah ini sangat sensitif bagi orang yang non-Sunda, seolah-olah Islam itu milik Sunda. Harus kita perhatikan jika orang beranggapan bahwa Sunda itu adalah nama suku di Jawa bagian Barat maka itu salah patal, kenapa? Menurut, Lucky Hendrawan seorang Tokoh Ajaran Pikukuh Sunda mengatakan; “Sunda adalah Matahari atau Api Abadi yang Agung/Besar”. Menurutnya Sunda bukan hanya berada di Jawa Barat namun Sunda adalah nama semua Banua/Benua/Buana di jagat raya ini, Sunda bukan hanya sebuah lempengan kecil tapi Sunda adalah Sundaland/Atlantis yang dikatakan Plato, adalah sebuah peradaban maju yang mampu menciptakan teknologi canggih dll. Namun, memang pada puncaknya atau pusatnya Sunda berada di Jawa Barat tepatnya di Gunung Sunda Purwa. Manusia Sunda adalah manusia yang mewarisi ajaran para leluhurnya yaitu agama nenek moyangnya yang mana Tuhan bagi mereka adalah “yang dituakan/ditokohkan” Tuhan asal kata Tohaan/Tuan, maka baginya sungguh sangat naif jika ada orang yang a-Theis (tidak mempunyai Tuhan). Dalam kehidupan bermasyarakatnya Manusia Sunda selalu mengedepankan kearifan lokal, budaya, dan tradisi. Secara keberagamaan mereka mempunyai tradisi-tradisi tertentu untuk menyembah Tuhannya, baginya Ibadah adalahMengabdi berarti seorang Manusia diciptakan untuk mengabdi kepada Tuhan dengan cara Melestarikan Bumi Tuhan yaitu Alam Semesta. Senada dengan al-Qur’an yang berbunyiInnii Jaa’ilun fil Ardli Khaliefah (Sesungguhnya kami telah menjadikannya seorang Khalifah, sedangkan Khalifah Fil Ardl (Penguasa di muka bumi) harus bisa menjaga hak-hak dirinya dengan Tuhan dan hak-hak dirinya dengan Alam, sebagai mana sifat dasar manusia menurut Karl Marx adalah serakah, maka dari itu Allah berfirman Dzaharul Fasaadu fil Barri wal Bahri bimaa Kasabat Aidi al-Naas (telah Nampak keruksakan di daratan dan di lautan dikarenakan tangan jahil manusia).

Menurut Ganjar Kurnia (2004), bisa diterimanya Islam dengan baik di tatar Sunda karena di antara keduanya, yakni Islam dan Sunda, mempunyai persamaan paradigmatik yang bercirikan Platonik. Islam memandang dan memahami dunia sebagai ungkapan azas-azas mutlak dan terekam dalam wahyu Allah. Sedangkan kebudayaan Sunda lama meletakkan nilai-nilai mutlak yang kemudian diwujudkan dalam adat beserta berbagai upacaranya. Haji Hasan Mustapa, yang dikenal sebagai penghulu Bandung dan juga sastrawan Sunda, manakala menafsirkan Al-Quran pada ayat-ayat awal surat Al-Baqarah menegaskan bahwaurang Sunda mah geus Islam samemeh Islam (orang Sunda sudah Islam sebelum datangnya Islam). Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa hampir seluruh ranah kehidupan orang Sunda mengandung nilai-nilai ajaran Islam. Ajaran dan hukum dalam masyarakat Sunda pun disosialisasikan melalui beragam matra kehidupan, seperti seni dan budaya, sebagaimana dapat dilihat pada lelakon pewayangan (wayang golek), lagu-lagu, pantun dan banyolan-banyolan.

Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik sebagai individu dan keluarga, maupun sebagai anggota masyarakat, manusia Sunda harus melaksanakan apa yang wajib dan yang sunah secara berkesinambungan dan simultan sebagaimana terungkap dalam peribahasa fardu kalaku sunat kalampah (yang fardu terlaksana, yang sunah demikian pula). Pengaruh Arab Islam pun nampak sekali dalam bahasa Sunda, seperti jisim abdi(saya) untuk menyebut diri sendiri yang sepenuhnya diambil dari bahasa Arab. Jism yang berati badan, dan ‘abd yang berarti hamba.

Akulturasi dan asimilasi antara budaya lokal (Sunda) dengan ajaran Islam telah membentuk warna dan ciri khas pada keberagamaan masyarakat Sunda. Betapa Islam sangat berpengaruh pada tradisi dan budaya Sunda. Karena, sejak pengalaman sejarahnya yang paling awal, masyarakat Sunda senantiasa menempatkan nilai-nilai agama (Islam) pada posisi yang sangat sentral dalam hampir seluruh aspek kehidupannya. Oleh karena itu, ungkapan “kacida anehna lamun urang Sunda henteu ngagem agama Islam” (alangkah anehnya kalau ada orang Sunda tidak memeluk Islam), dapat dipahami. Meskipun orang Sunda bisa bertoleransi terhadap pluralitas, tetapi dalam keluarga harus tetap berada dalam satu keimanan, yakni iman Islam.

Akulturasi Islam dengan Sunda dapat terlihat dari beberapa jenis ekspresi kesenian yang ada di tatar Sunda. Selain sebagai hasil dari interaksi, akulturasi ini terjadi karena pada awalnya dan bahkan hingga saat ini, kesenian seringkali digunakan sebagai sarana penyebaran syiar Islam. Strategi seperti ini terutama dilakukan oleh para wali pada awalawal penyebaran Islam di Pulau Jawa.

Pengaruh Islam terhadap kesenian Sunda ini di antaranya dapat dilihat dari aspek tulis-menulis, cerita, seni arsitektur, seni musik, seni pertunjukan, sastra, seni suara, dan sebagainya. Dari aspek tulis-menulis, di tatar Sunda ditemukan tulisan beraksara pegon (huruf Arab gundul). Tulisan-tulisan yang beraksara pegon ini di antaranya dapat terlihat pada wawacan, surat-menyurat, tafsir, silsilah, dan sebagainya. Berkaitan dengan kegiatan tulismenulis ini (termasuk gambar), ditemukan pula beberapa mushaf Al-Quran yang mempunyai corak khas Sunda, bahkan sekarang ini lebih dikembangkan lagi menjadi AlQuran Mushaf Sundawi (lihat Agus Ahmad Safei, “Fenomena Kultural Islam Sunda”,dalam Cik Hasan Bisri, ed., Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda,Bandung: Kaki Langit, 2005).

Pada akhir tahun 1800-an, dan awal 1900-an, pernah hidup manusia fenomenal Sunda bernama Haji Hasan Mustapa. Ajip Rosidi (1983: 73), menyebutnya sebagai “mistikus-filosof Islam ngan bisa lahir tur hurip-hirup dina lingkungan jiwa katut kabudayaan Sunda”.Yakni, mistikus-filosof Islam, yang lahir dan hidup tumbuh dalam lingkungan jiwa dan kebudayaan Sunda. Menurut Haji Hasan Mustapa, segala yang datang dari luar, sebagai tamu harus dibanding-banding (ditimbang-timbang), kemudian diterjemahkan ke dalam alam kesundaan, dipahami, diartikan, dan dimaknai dengan konteks lokal kesundaan yang dimiliki. Tanpa terkecuali sikap orang Sunda terhadap Al-Quran, misalnya, Menurutnya, harus ditimbang dengan “Quran” tuturunan titinggal karuhun Sunda.

Selanjutnya, dalam upaya menghadapi budaya “luar” ini, Haji Hasan Mustapa menggubah nasihatnya, dalam bentuk kakawihan, sebagai berikut;

Kembang kacang barudak geura beungkeutan;
Semah datang barudak geura deukeutan.
Kembang kacang barudak geura pipitan;
Semah nganjang barudak geura ciwitan.
Kembang asak barudak geura asakan;
Semah nganjang barudak geura asaan.

Bagi budaya Sunda, bersentuhan dengan budaya asing bukanlah hal yang baru. Jika dilihat jauh ke belakang, karuhun (nenek moyang) Sunda telah membuktikan kreativitasnya dalam menghadapi berbagai macam pengaruh dan “tamu” yang datang dari luar, baik itu dari India (Hindu, Budha), Jawa (Mataram), dan Arab (Islam). Dan hasilnya menunjukkan, bahwa jiwa Sunda memiliki kemampuan untuk membuat sintetis yang harmonis.

Sunda, bahkan selalu berani berhadap-hadapan dengan jiwa, agama, kepercayaan, dan alam pikiran yang bagaimanapun adanya.  Dalam proses “perjumpaan” tersebut, Sunda tidak pernah (sepenuhnya) hanyut oleh “suara” tamu. Sebaliknya, ia dapat dengan dinamis dan harmonis membuat apa yang mempengaruhinya itu menjadi khazanah kekayaan budayanya sendiri. Contoh, dalam kosa kata yang awalnya berasal dari “luar”, kini sudah sedemikian “merenah” bagai bagian integral Sunda. Nama Maman yang khas Sunda itu pun kabarnya berasal dari bahasa Arab, Iman. Minah dari kata mu‟minah.

Tetapi, tentu saja, resistensi Sunda terhadap budaya, nilai, dan keyakinan yang datang dari luar bukannya tak ada. Dalam konteks ini, resistensi, pertama-tama, harus dipahami sebagai sebuah daya tahan sekaligus daya tawar (lihat Donny Gahral Adian, “Gaya Hidup, Resistensi, dan Hasrat Menjadi”, dalam Adlin, 2005: 23). Maka, ketika hendak menimbang resistensi spiritualitas Sunda, tak ayal lagi harus membincangkan daya tahan dan daya tawar tradisi Sunda terhadap kebudayaan dari luar Sunda. Indikator yang digunakan untuk mengukur daya tahan dan daya tawar ini sesungguhnnya sederhana.

Pramoedya Ananta Toer (2001) dalam Bumi Manusia, menyebutkan bahwa daya tawar sebuah tradisi dapat diukur dan diketahui dari sejumlah hal: bahasa, seni, politik. Indonesia, menurut Pram, tergolong memiliki daya tahan dan daya tawar tradisi yang relatif lemah. Hal ini dapat dilihat dari bahasa Indonesia yang banyak sekali mengandung serapan “Arab”, berhubungan dengan upaya ekspansi dakwah Islam yang menggunakan bahasa Arab. Kesenian yang ngarab, dan sistem politik yang – tidak bisa tidak – sangat terpengaruh oleh Arab dan Belanda. Masih menurut Pram, hal serupa juga terjadi pada sejumlah kebudayaan lokal di Indonesia. Pram menyebutkan di antaranya Sunda merupakan kebudayaan lokal (Indonesia) yang memiliki daya tawar tradisi yang relatif rendah. Babad Padjajaran, yang sedikit banyak mengumumkan bahwa kebudayaan Arab (Islam) telah merasuki kebudayaan asli Sunda, merupakan bukti bahwa daya tawar tradisi Sunda terhadap kebudayaan luar Sunda tidaklah kuat.

Bukti lain yang menunjukkan tidak kuatnya resistensi Sunda terhadap kebudayaan luar (Sunda) ditunjukkan oleh begitu berjaraknya bahasa Sunda asli (bahkan Sunda kuna) dengan bahasa Sunda yang biasa dipakai dan dipraktikkan sehari-hari. Bahasa Sunda banyak sekali yang dimasuki oleh unsur bahasa asing terutama bahasa Arab (yang menjadi representasi Islam). Hal ini tentu saja berkelindan erat dengan resistensi spiritualitas yang menjadi bagian “kebudayaan” Sunda tadi. Spiritualitas Sunda yang pada mulanya merupakan agama Sunda Wiwitan yang cenderung pagan, tidak bisa bertahan ketika harus menghadapi hegemoni dan kooptasi spiritualitas Hindu-Budha. Sebagai contoh, agama Sunda Wiwitan yang kini masih dipegang teguh oleh masyarakat Baduy (Kanekes), masih memercayai bahwa Tuhan atau Hyang Tunggal atau Hyang Widi masih merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dengan alam (hutan, laut, langit, tanah), yang sangat identik dengan pola kepercayaan pagan, kemudian harus tereduksi dan terkooptasi oleh spiritualitas Hindu-Budha yang kemudian mengubah cara pandang urang Sunda terhadap Tuhan: bidadari, apsara, dewa, mahadewa, Hyang Widi.

Tidak sampai di situ saja, datangnya Islam ke tatar Sunda kembali mengubah spiritualitas dan ritus urang Sunda tadi, sehingga kini Hyang Tunggal tadi bernama Allah, mahapandita yang tadinya para bikhu dan pandita menjadi para ulama. Hingga akhirnya, muncullah term Islam-Sunda tadi. Yakni sebuah spiritualitas eskatologis antara spiritualitas Sunda dan spiritualitas Islam.

Oleh karena itu, kita sebagai akademisi seharusnya mampu mengkritisi setiap kebudayaan masyarakat di Indonesia khususnya, dan bagaimana caranya agar kita mampu menganalisis suatu masalah budaya, sosial, agama, dan politik karena hal ini lah yang selalu mengalami dinamika perubahan sosial.

Referensi;

Jurnal Annual Conference on Islamic Studies, Agus Ahmad Safei, MENATAP WAJAH ISLAM      DARI JENDELA SUNDA  Banjarmasin, 1 – 4 November 2010 (ACIS) Ke – 10.
Arnold J Toynbee, 2006, Sejarah Umat Manusia: Uraian Analitis Kronologis, Naratif,       Komparatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ajip Rosidi dkk., 2006, Konferensi Internasional Budaya Sunda, Bandung: Yayasan Kebudayaan             Rancage.
Ajip Rosidi, 1983, Ngalanglang Kasusastraan Sunda, Jakarta: Pustaka Jaya,.
Karen Armstrong, 2007, The Great Transformation: Awal Sejarah Tuhan, Bandung: Mizan.

Pramoedya Ananta Toer, 2001, Bumi Manusia, Jakarta: Lentera Dipantara.
Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: