Sumber foto: www.nu.or.id |
Seorang ulama bergelar “The Second Nawawi” alias Nawawi Jilid Dua, beliau lahir di Tanara, Tirtayasa, Serang, Banten. Bagi saya beliau pantas dijuliki Sang Mahaguru di atas level Sang Kiai. Ulama bertaraf internasional ini juga menyandang gelar Sayyid Ulama al-Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Nawawi al-Tsani mempunyai kedisiplinan dalam berbagai bidang ilmu yang beliau tekuni dan saya pun perlu banyak referensi untuk menulis tentang Guru Saka Ulama Djawa ini, tidak melulu mengais-ngais berbagai opini yang dibuat para orientalis untuk menyimpulkan kisah hidupnya yang tentunya banyak hal yang menyimpang.
Sejarah adalah proses
dialektika, karenanya akan terus menerus menemukan pemaknaan yang tak kunjung terhenti.
Bukan hal mudah menulis sejarah yang telah berabad-abad lamanya dan penulisnya
pun sangat mustahil untuk bertemu dengan aktornya. Begitu pula saya dengan
as-Syaikh al-Faqih yang lahir tahun 1815 M ini. Imam Nawawi al-Bantani sering
terdengar disamakan kebesaran dan keluasan ilmunya dengan ulama hadits klasik
yang bernama Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain an-Nawawi ad-Dimasyqiy yang
lahir pada tahun 1277 M.
Di tanah Nusantara ini
tersebar jejaring para ulama di berbagai daerah, bahkan Nusantara telah
diperkenalkan dengan kebudayaan-kebudayaan besar dunia seperti Persia, India,
Irak, Mesir, Arab, Pakistan, dll. Jejaring Ulama inilah yang dibentuk oleh
Majelis Ulama Djawa (MUD) yaitu Wali Sanga, sehingga salah satu dari Wali Sanga
mempunyai keturunan yang cerdas, pintar, dan alim katakanlah Kanjeng Sunan
Gunung Djati eyang buyut dari Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi.
Nawawi dan Nasionalisme
Di umur 15 tahun, Nawawi
al-Bantani berhijrah ke Mekah al-Mukarromah untuk menunaikan ibadah haji dan
menimba ilmu di sana ia banyak mempelajari ilmu-ilmu agama seperti tafsir,
teologi, tasawuf, fiqh, lughah, sejarah, dll. Tiga tahun sudah waktu yang
relatif lama ia menimba ilmu di Mekah, sejak itu pula ia pulang ke Banten untuk
membantu ayahnya mengajar santri-santrinya.
Dikisahkan sepulang ke
tanah air, ia menyaksikan ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penindasan
terhadap golongan mustadl’afin (orang-orang yang lemah) yang dilakukan oleh
bojuis Belanda. Ia melihat itu semua seakan-akan karena kebodohan rakyatnya.
Kalau kata Prof. Quraisy Shihab keterpurukan ummat adalah baina jahli abnaa’ihi
wa ‘ajzi ‘ulamaa’ihi (bangsa berada di antara kebodohan rakyatnya dan lemahnya
para cendekia).
Dia mencoba
mengelilingi wilayah Banten dan mengobarkan api jihad perlawanan terhadap para
penjajah, karena kita tahu dijajah itu tidak enak bro…, tentu saja pemerintah
Hindia Belanda mengawasi dan membatasi gerak-geriknya. Ia dilarang khotbah di
mesjid-mesjid, bahkan dituduh sebagai antek-antek Pangeran Diponegoro yang
ketika itu sedang mengobarkan perlawanan terhadan pemerintahan Hindia Belanda
(1825-1830 M), ia mempunyai rasa bahwa situasi konkret yang melahirkan
penindasan itulah yang harus diubah.
Ketika perlawanan yang
dipimpin Pangeran Diponegoro padam pada tahun 1830 M, sebagai cendikiawan
sejati dan intelektualis tanpa batas, Syaikh Nawawi harus melanjutkan studinya
ke Mekah. Snouck Hourgronje salah satu orientalis Belanda mengatakan bahwa
Syaikh Nawawi adalah seorang ulama besar yang dimasa mudanya menularkan
semangat nasionalisme dan patriotisme terhadap rakyat Nusantara.
Meskipun bermukim di
Mekah, Syaikh Nawawi masih mengobarkan api jihad melawan penjajah Hindia
Belanda disertakan rasa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi pada para
muridnya. Syaikh Nawawi dan murid-muridnya mempunyai perkampungan Jawa di
Mekah, di sinilah ia memberikan materi-materi kuliahnya, dan memnyampaikan ide,
pemikiran, dan gagasannya untuk anak bangsanya. Kegiatan rutinitas ini, tentu
membuat pemerintah Hindia Belanda geram, lantas penjajah mengutus Snouck
Hourgronje ke Mekah untuk menemui dia.
Dari beberapa pertemuan
dengan Syaikh Nawawi, Snouck menyimpulkan bahwa ia adalah ulama yang ilmunya
dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia berkorban demi agama dan bangsa.
Tak sedikit murid-murid beliau yang terlahir dan terbentuk dari dari
kepribadian pemikirannya, perilakunya, dan sifatnya di antaranya Hadratussyaikh
KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng salah satu ulama yang dimintai fatwa oleh Ir.
Soekarno untuk melawan penjajah, fatwa itulah yang disebut resolusi jihad
Nahdlatul Ulama.
Bukan Sebatas Karya
Ketika Indonesia
merdeka 1945, Mesir adalah negara pertama yang mendukung kemerdekaan Indonesia.
Kenapa? Jawabannya karena karya Syaikh Nawawi al-Bantani. Kitab-kitab karyanya
banyak tersebar di Timur Tengah terutama Mesir. Karyanya diakui di sepanjang
semenanjung arabia oleh karenanya Snouck memberinya gelar Doktor Teologi Islam.
Setidaknya ada 34 karya ulama Banten itu yang tercatat dalam “Dictionary of
Arabic Printed Books”. Dengan kiprah karya-karyanya ini menempatkan dia sebagai
al-Imam wa al-Fahmi al-Mudaqqiq (Pakar dengan pemahamannya yang amat
signifikan) Keren kan?
Karyanya juga tersebar
banyak di seantero jagat Nusantara, berdasarkan penelitian Martin Van Bruinesen
(Indonesia dari Belanda) setelah mengadakan penelitian di 46 pesantren
terkemuka di Indonesia ia berkesimpulan bahwa 42 dari 46 pesantren itu
menggunakan kitab-kitab karya Syaikh Nawawi al-Bantani. Menurut Martin,
setidaknya ada 22 karangan Nawawi yang menjadi rujukan dan materi pelajaran di
pondok pesantren di Indonesia.
0 komentar: