Friday, December 9, 2016

SYAIKH NAWAWI DAN AKAR PEMIKIRAN RESOLUSI JIHAD

Sumber foto: www.nu.or.id

Seorang  ulama bergelar “The Second Nawawi” alias Nawawi Jilid Dua, beliau lahir di Tanara, Tirtayasa, Serang, Banten. Bagi saya beliau pantas dijuliki Sang Mahaguru di atas level Sang Kiai. Ulama bertaraf internasional ini juga menyandang gelar Sayyid Ulama al-Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Nawawi al-Tsani mempunyai kedisiplinan dalam berbagai bidang ilmu yang beliau tekuni dan saya pun perlu banyak referensi untuk menulis tentang Guru Saka Ulama Djawa ini, tidak melulu mengais-ngais berbagai opini yang dibuat para orientalis untuk menyimpulkan kisah hidupnya yang tentunya banyak hal yang menyimpang.

Sejarah adalah proses dialektika, karenanya akan terus menerus menemukan pemaknaan yang tak kunjung terhenti. Bukan hal mudah menulis sejarah yang telah berabad-abad lamanya dan penulisnya pun sangat mustahil untuk bertemu dengan aktornya. Begitu pula saya dengan as-Syaikh al-Faqih yang lahir tahun 1815 M ini. Imam Nawawi al-Bantani sering terdengar disamakan kebesaran dan keluasan ilmunya dengan ulama hadits klasik yang bernama Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain an-Nawawi ad-Dimasyqiy yang lahir pada tahun 1277 M.

Di tanah Nusantara ini tersebar jejaring para ulama di berbagai daerah, bahkan Nusantara telah diperkenalkan dengan kebudayaan-kebudayaan besar dunia seperti Persia, India, Irak, Mesir, Arab, Pakistan, dll. Jejaring Ulama inilah yang dibentuk oleh Majelis Ulama Djawa (MUD) yaitu Wali Sanga, sehingga salah satu dari Wali Sanga mempunyai keturunan yang cerdas, pintar, dan alim katakanlah Kanjeng Sunan Gunung Djati eyang buyut dari Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi.

Nawawi dan Nasionalisme

Di umur 15 tahun, Nawawi al-Bantani berhijrah ke Mekah al-Mukarromah untuk menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di sana ia banyak mempelajari ilmu-ilmu agama seperti tafsir, teologi, tasawuf, fiqh, lughah, sejarah, dll. Tiga tahun sudah waktu yang relatif lama ia menimba ilmu di Mekah, sejak itu pula ia pulang ke Banten untuk membantu ayahnya mengajar santri-santrinya.

Dikisahkan sepulang ke tanah air, ia menyaksikan ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penindasan terhadap golongan mustadl’afin (orang-orang yang lemah) yang dilakukan oleh bojuis Belanda. Ia melihat itu semua seakan-akan karena kebodohan rakyatnya. Kalau kata Prof. Quraisy Shihab keterpurukan ummat adalah baina jahli abnaa’ihi wa ‘ajzi ‘ulamaa’ihi (bangsa berada di antara kebodohan rakyatnya dan lemahnya para cendekia).

Dia mencoba mengelilingi wilayah Banten dan mengobarkan api jihad perlawanan terhadap para penjajah, karena kita tahu dijajah itu tidak enak bro…, tentu saja pemerintah Hindia Belanda mengawasi dan membatasi gerak-geriknya. Ia dilarang khotbah di mesjid-mesjid, bahkan dituduh sebagai antek-antek Pangeran Diponegoro yang ketika itu sedang mengobarkan perlawanan terhadan pemerintahan Hindia Belanda (1825-1830 M), ia mempunyai rasa bahwa situasi konkret yang melahirkan penindasan itulah yang harus diubah.

Ketika perlawanan yang dipimpin Pangeran Diponegoro padam pada tahun 1830 M, sebagai cendikiawan sejati dan intelektualis tanpa batas, Syaikh Nawawi harus melanjutkan studinya ke Mekah. Snouck Hourgronje salah satu orientalis Belanda mengatakan bahwa Syaikh Nawawi adalah seorang ulama besar yang dimasa mudanya menularkan semangat nasionalisme dan patriotisme terhadap rakyat Nusantara.

Meskipun bermukim di Mekah, Syaikh Nawawi masih mengobarkan api jihad melawan penjajah Hindia Belanda disertakan rasa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi pada para muridnya. Syaikh Nawawi dan murid-muridnya mempunyai perkampungan Jawa di Mekah, di sinilah ia memberikan materi-materi kuliahnya, dan memnyampaikan ide, pemikiran, dan gagasannya untuk anak bangsanya. Kegiatan rutinitas ini, tentu membuat pemerintah Hindia Belanda geram, lantas penjajah mengutus Snouck Hourgronje ke Mekah untuk menemui dia.

Dari beberapa pertemuan dengan Syaikh Nawawi, Snouck menyimpulkan bahwa ia adalah ulama yang ilmunya dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia berkorban demi agama dan bangsa. Tak sedikit murid-murid beliau yang terlahir dan terbentuk dari dari kepribadian pemikirannya, perilakunya, dan sifatnya di antaranya Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng salah satu ulama yang dimintai fatwa oleh Ir. Soekarno untuk melawan penjajah, fatwa itulah yang disebut resolusi jihad Nahdlatul Ulama.

Bukan Sebatas Karya

Ketika Indonesia merdeka 1945, Mesir adalah negara pertama yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Kenapa? Jawabannya karena karya Syaikh Nawawi al-Bantani. Kitab-kitab karyanya banyak tersebar di Timur Tengah terutama Mesir. Karyanya diakui di sepanjang semenanjung arabia oleh karenanya Snouck memberinya gelar Doktor Teologi Islam. Setidaknya ada 34 karya ulama Banten itu yang tercatat dalam “Dictionary of Arabic Printed Books”. Dengan kiprah karya-karyanya ini menempatkan dia sebagai al-Imam wa al-Fahmi al-Mudaqqiq (Pakar dengan pemahamannya yang amat signifikan) Keren kan?

Karyanya juga tersebar banyak di seantero jagat Nusantara, berdasarkan penelitian Martin Van Bruinesen (Indonesia dari Belanda) setelah mengadakan penelitian di 46 pesantren terkemuka di Indonesia ia berkesimpulan bahwa 42 dari 46 pesantren itu menggunakan kitab-kitab karya Syaikh Nawawi al-Bantani. Menurut Martin, setidaknya ada 22 karangan Nawawi yang menjadi rujukan dan materi pelajaran di pondok pesantren di Indonesia.
Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: