Thursday, December 15, 2016

KH. SAEPUDDIN ZUHRI: REKONSTRUKSI PEMIKIRAN ASWAJA


Mungkin saya sebagai santri dari al-Maghfuurlah (Alm) Syaikhuna KH. Saepuddin Zuhri “Haurkuning Salopa Tasikmalaya”, terlalu gegabah sepertinya jika saya mengdekontruksi atau membangun kembali sebuah anggapan-anggapan atau pemikiran seorang tokoh dengan solusi-solusi baru yang hadir dan mungkin relevan sesuai konteks zamannya.

Ada 6 wasiat KH. Saepuddin Zuhri di antarany; wajib mertahankeun akidah, syariah, akhlak Ahlus-Sunnah wa al-Jamaah (wajib mempertahankan akidah, syari’ah, akhlak Ahlus-Sunnah wa al-Jamaah), wajib shalat awal waktu di masjid (wajib shalat pada tepat waktu dan di masjid), ulah eureun ngaji (jangan berhenti mengaji), anak, incu wajib dipasantrenkan (anak dan cucu wajib dimasukkan ke lembaga pondok pesantren), kudu jadi NU (harus menjadi warga Nahdlatul Ulama), hate ulah nyantel kana duya kudu nyantel ka akherat (jangan menggantungkan hati terhadap hal-hal yang berbau duniawi tapi harus menggantungkan hati kepana nilai-nilai atau perbuatan yang bersifat ukhrawi). 6 wasiat ini yang menjadi sebuah pegangan bagi para santri dan alumninya setelah beliau wafat, jadi ada sebuh perubahan (change) dalam dinamika santri dan alumninya, istilahnya pemimpin agung telah wafat, maka siapa lagi penggantinya? Sedangkan tidak ada wasiat beliau yang dipublikasi secara khusus kepemimpinannya ditunjukan kepada anak pertama, katakanlah. Ibaratnya wasiat Rasulullah saw terhadap Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah (Kw), yang hanya wasiatnya ditulis oleh para ulama dalam beberapa kitabnya isinya tentang seputar Iman, Islam, dan Ihsan. Tidak ada atau kemungkinan ada namun sedikit yang menulis tentang wasiat kepemimpinan rasulullah terhadap Ali dari kalangan Ulam Ahlus-Sunnah, setahu saya kitab yang mengulas tentang wasiat Nabi Muhammad Saw kepada Sayyidina Ali Kw, adalah kitab al-Minahus-Saniyah ‘Ala Washiyyatul Musthafaa li ‘Aliyyi ibn Abii Thaalib karya Sayyid Abdul Wahhab As-Sya’roniy Ra, namun dalam riwayat Syiah banyak yang menulis tentang Sayyidina Ali baik dalam masalah agama atau politik, pen.

Begitu pula dengan satu tokoh ini yang tidak mewasiyatkan tahta kepemimpinannya kepada siapa pun, namun dalam tradisi Pondok Pesantren biasanya kepemimpinan Pondok turun kepada anak pertamanya yang laki-laki, kurang lebih seperti itu.

Perubahan dinamika sosial para santri dan alumni dalam memutuskan suatu masalah selalu ada sebuah Bayan (penjelasan) dari seorang tokoh agama yang tinggi, sehinnga menimbulkan permasalahan-permasalahn yang perlu dipertanyakan kepa pemuka agama tersebut, seperti dalam al-Qur’an dijelaskan fas’aluu ahla al-dzikri (bertanya kalian terhadap ahli dzikir), karena dogma agama dan tuntutan budaya dan tradisi lah yang membentuk santri dan para alumninya harus manut terhadap pimpinan agung Sang Kiai, begitu juga dengan saya. Hehehe..

Jika dulu orang bertanya terhadap Kiai-nya namun sekarang sudah tidak ada maka bertanya pada Ahlul Bayt (keluarganya), atau perpegang teguh pada wasiat-wasiatnya dan pemikirannya, karena mereka yakin bahwa Ulama adalah pewaris ilmu para Nabi. Oleh karena itu, ada beberapa pemikiran dari wasiyat KH. Saepuddin Zuhri yang akan say jabarkan dan dekontruksikan tentang pemikirannya dalam menghadapi tantangan zaman. Pemikiran yang paling sentral yaitu pemikirannya tentang Ahlus-Sunnah wa al-Jamaah, dalam perkembangan zaman paragdigma Aswaja dalam metode berfikir manusia mengalami saintific circle (lingkaran ilmiah), Islam Aswaja yang difahami Said Aqil Siradj berbeda dengan Islam Aswaja yang dipahami oleh Habib Rizieq Shihab, katakanlah seperti itu.

Dalam pergulatan pemikiran Aswaja menjadi sebuah kajian subyektit dari beberapa pihak memandangnya, mungkin bisa dikatakan Aswaja menurut Kang Said sebagai Akidah, Syariah, dan akhlak bahkan Manhajul Fikr, bisa jadi berbeda dengan apa yang dipegang oleh Habib Rizieq, Aswaja ya Aswaja, sekedar akidah yang bermadzhab kepada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi, begitu juga Aswaja yang dipahami oleh KH. Saepuddin Zuhri sebagai tokoh sentral ulama di Salopa Tasikmalaya. KH. Saepuddin Zuhri memandah bahwasannya Aswaja adalah madzhab yang paling relevan, benar dan bisa dipertanggung jawabkan atas kesahihannya, Ahlun dalam Bahasa Arab artinya adalah keluarga sedangkan term al-Sunnah adalah nama lain dari kata al-Hadits, sedangkan yang lebih mengetahui permaslahan hadits Nabi adalah keluarga Nabi sendiri karena mereka lebih sering dan lebih intens bertemu dan melihat, bergaul dalam satu rumah.

Ada sebuah hadits yang jarang sekali diketahui oleh kalangan Aswaja, yaitu hadits tentang tsaqalain, haditsnya berbunyi;

Yaa Ayyuhannaasu Innii Taraktu Fiikum Maa In Akhadztum Bihi Lan Tadlilluu Kitaaballahi Wa ‘Itratii Ahli Baitii
“Wahai manusia, sungguh kutinggalkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya kalian tidak akan tersesat: ‘Kitabullah dan Itrahku Ahlu baitku’ ”.

Hadits ini bisa kita rujuk dalam: Shahih Tirmidzi jilid 5, hal. 328, hadits ke 3874 cet.Darul Fikr Beirut, jilid 13 hal.199 cet.Maktabah Ash-Shawi, Mesir, jilid 2 hal.308 cet. Bulaq Mesir.; dalam Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 5 hal. 182 ; dalam Al-Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, halaman 149 ia mengatakan hadits ini adalah hadits shahih ; dalam Ad-Durrul Mantsur oleh Jalaluddin As-Suyuthi jilid 6 hal.7 ; dalam Ash-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar Al-Haitsami hal. 184 ; dalam Al-Fadhail, oleh Ahmad bin Hanbal hal.28.; dalam Tarikh Al-Khulafa’ oleh As-Suyuthi hal.109 ; dalam Tafsir Ibnu Kathir, jilid 4 hal.113, cet.Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyah, Mesir. ; dalam Tafsir Al-Khazin jilid 1 hal.4, cet.Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyah, Mesir. ; dalam Usdul Ghabah fi Ma’rifati Ash-Shahabah oleh Ibnu Atsir Asy-Syafi’i jilid 2 hal.12.

Di kalangan Aswaja, al-Tsaqalain itu adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah dan memang paling banyak riwayat Aswaja tentang ini, yang padahal di antara kedua hadits al-Tsaqalain yang lebih Shahih adalah hadits yang sering diriwayatkan oleh Muslim Syiah. Oleh karena itu, ada sebuah ikatan atau integritas yang sangat istimewa antara Sunni dan Syiah, meskipun banya juga dari kalangan Aswaja yang membenci Syiah bahkan mengkafirkan mungkin itu adalah sebuah ketidaktahuan, pen.

Sebagai Ulama Nahdliyyin sering kali KH. Saepuddin Zuhri mengutarakan pemikirannya tentang Aswaja dalam memberikan nasihat-nasihat kepada santrinya, salahsatu pidatonya yang saya rekam dalam memori card otak saya adalah “Santri bapakmah, kabeh kudu jadi Ulama” (santri bapak harus menjadi Ulama semua), orang awam atau santri yang belum tahu menganggap bahwa Ulama itu adalah Ajengan, Resik, Pandito (pemuka agama), dan ini perlu didekontruksi dan direkontruksi bahwasannya yang dimaksud Ulama adalah ‘Alim (berilmu) sehingga menurutnya “Ulama teh anu sirahna pinuh ku elmu, hatena sieun ku Allah” (Ulama adalah orang yang kepalanya penuh dengan ilmu pengetahuan dan hatinya takut terhadap Allah), jadi yang dimaksud oleh Ulama adalah orang yang berilmu yang bertaqwa kepada Allah sehingga semua perbuatannya tak pernah lepas dari yang namanya Allah, maka dari itu Ulama bukan propesi melainkan seorang yang mampu berpikir transendensi tentang ketuhanan dan mendapatkan kedudukan sebagai Hakim al-‘Aliy yang mampu menguasai Hikma al-Muta’aliyah. Sebagai mana Hadratus-Syaikh KH. Hasyim Asy’ari mengajarkan santrinya bercocok tanam dsb, karena Mbah Hasyim mengakui bahwa tidak mungkin santri yang kuantitasnya banyak semuanya jadi Kiai.

Dalam pemikiran Aswaja-nya KH. Saepuddin Zuhri yang sangat radikal dalam artian mengakar ke dalam sehingga Aswaja bukan dipahami sebagai Akidah semata, melainkan Aswaja dipakai dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, baginya ilmu adalah segalanya, dan beliau sering mendengungkan sebuah motivasi bagi santrinya dalam bahasa beliau “kudu nyantri, nyakola, jeung nyunda” (harus nyantri “mondok”, harus sekolah, dan harus “sunda”), dalam istilah lain “kudu dua kola” dua kola berarti artinya mondok dan sekolah. Penjabaran untuk bahasa yang pertama Nyantri berarti sebagai muslim harus mendalami ilmu agama di pondok pesantren yang khas dan asli produk Nusantara, bahasa yang kedua adalah Nyakola berarti beliau sangat peduli terhadap muslim dan modernisme zaman, beliau lebih hati-hati karena jiga hanya nyantri maka tidak bisa membendung dan melihat perkembangan zaman dan arus globalisasi, bahasa yang ketiga adalah Nyundayang kurang lebih beliau menjabarkan bahwa DNA manusia Sunda harus dipakai disetiap jati diri manusia Sunda.

Jadi inti pemikiran beliau tentang Aswaja, bahwasannya Aswaja ini mampu menggiring arus perkembangan zaman dan mampu bersaing di dunia global, bukti nyatanya saat ini NU sebagai ormas terbesar di Indonesia mampu mengawal dan membawa Aswaja ke dunia International.


Kiranya seperti itu, saya sebagai santri yang terlalu bandel dipondok, mendeskripsikan pemikiran seorang ulama Masyhur dalam beberapa paragraf, mohon tambahan dan koreksinya.
Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: