Mungkin saya sebagai
santri dari al-Maghfuurlah (Alm) Syaikhuna KH. Saepuddin Zuhri “Haurkuning
Salopa Tasikmalaya”, terlalu gegabah sepertinya jika saya mengdekontruksi atau
membangun kembali sebuah anggapan-anggapan atau pemikiran seorang tokoh dengan
solusi-solusi baru yang hadir dan mungkin relevan sesuai konteks zamannya.
Ada 6 wasiat KH.
Saepuddin Zuhri di antarany; wajib mertahankeun akidah, syariah, akhlak
Ahlus-Sunnah wa al-Jamaah (wajib mempertahankan akidah, syari’ah, akhlak
Ahlus-Sunnah wa al-Jamaah), wajib shalat awal waktu di masjid (wajib shalat
pada tepat waktu dan di masjid), ulah eureun ngaji (jangan berhenti mengaji), anak,
incu wajib dipasantrenkan (anak dan cucu wajib dimasukkan ke lembaga pondok
pesantren), kudu jadi NU (harus menjadi warga Nahdlatul Ulama), hate ulah
nyantel kana duya kudu nyantel ka akherat (jangan menggantungkan hati terhadap
hal-hal yang berbau duniawi tapi harus menggantungkan hati kepana nilai-nilai
atau perbuatan yang bersifat ukhrawi). 6 wasiat ini yang menjadi sebuah
pegangan bagi para santri dan alumninya setelah beliau wafat, jadi ada sebuh
perubahan (change) dalam dinamika santri dan alumninya, istilahnya pemimpin
agung telah wafat, maka siapa lagi penggantinya? Sedangkan tidak ada wasiat
beliau yang dipublikasi secara khusus kepemimpinannya ditunjukan kepada anak
pertama, katakanlah. Ibaratnya wasiat Rasulullah saw terhadap Sayyidina Ali Karramallahu
Wajhah (Kw), yang hanya wasiatnya ditulis oleh para ulama dalam beberapa
kitabnya isinya tentang seputar Iman, Islam, dan Ihsan. Tidak ada atau
kemungkinan ada namun sedikit yang menulis tentang wasiat kepemimpinan
rasulullah terhadap Ali dari kalangan Ulam Ahlus-Sunnah, setahu saya kitab yang
mengulas tentang wasiat Nabi Muhammad Saw kepada Sayyidina Ali Kw, adalah kitab
al-Minahus-Saniyah ‘Ala Washiyyatul Musthafaa li ‘Aliyyi ibn Abii Thaalib karya
Sayyid Abdul Wahhab As-Sya’roniy Ra, namun dalam riwayat Syiah banyak yang
menulis tentang Sayyidina Ali baik dalam masalah agama atau politik, pen.
Begitu pula dengan satu
tokoh ini yang tidak mewasiyatkan tahta kepemimpinannya kepada siapa pun, namun
dalam tradisi Pondok Pesantren biasanya kepemimpinan Pondok turun kepada anak
pertamanya yang laki-laki, kurang lebih seperti itu.
Perubahan dinamika
sosial para santri dan alumni dalam memutuskan suatu masalah selalu ada sebuah
Bayan (penjelasan) dari seorang tokoh agama yang tinggi, sehinnga menimbulkan
permasalahan-permasalahn yang perlu dipertanyakan kepa pemuka agama tersebut,
seperti dalam al-Qur’an dijelaskan fas’aluu ahla al-dzikri (bertanya kalian
terhadap ahli dzikir), karena dogma agama dan tuntutan budaya dan tradisi lah
yang membentuk santri dan para alumninya harus manut terhadap pimpinan agung
Sang Kiai, begitu juga dengan saya. Hehehe..
Jika dulu orang
bertanya terhadap Kiai-nya namun sekarang sudah tidak ada maka bertanya pada
Ahlul Bayt (keluarganya), atau perpegang teguh pada wasiat-wasiatnya dan
pemikirannya, karena mereka yakin bahwa Ulama adalah pewaris ilmu para Nabi.
Oleh karena itu, ada beberapa pemikiran dari wasiyat KH. Saepuddin Zuhri yang
akan say jabarkan dan dekontruksikan tentang pemikirannya dalam menghadapi
tantangan zaman. Pemikiran yang paling sentral yaitu pemikirannya tentang
Ahlus-Sunnah wa al-Jamaah, dalam perkembangan zaman paragdigma Aswaja dalam
metode berfikir manusia mengalami saintific circle (lingkaran ilmiah), Islam
Aswaja yang difahami Said Aqil Siradj berbeda dengan Islam Aswaja yang dipahami
oleh Habib Rizieq Shihab, katakanlah seperti itu.
Dalam pergulatan
pemikiran Aswaja menjadi sebuah kajian subyektit dari beberapa pihak
memandangnya, mungkin bisa dikatakan Aswaja menurut Kang Said sebagai Akidah,
Syariah, dan akhlak bahkan Manhajul Fikr, bisa jadi berbeda dengan apa yang
dipegang oleh Habib Rizieq, Aswaja ya Aswaja, sekedar akidah yang bermadzhab
kepada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi, begitu juga Aswaja
yang dipahami oleh KH. Saepuddin Zuhri sebagai tokoh sentral ulama di Salopa
Tasikmalaya. KH. Saepuddin Zuhri memandah bahwasannya Aswaja adalah madzhab
yang paling relevan, benar dan bisa dipertanggung jawabkan atas kesahihannya,
Ahlun dalam Bahasa Arab artinya adalah keluarga sedangkan term al-Sunnah adalah
nama lain dari kata al-Hadits, sedangkan yang lebih mengetahui permaslahan
hadits Nabi adalah keluarga Nabi sendiri karena mereka lebih sering dan lebih
intens bertemu dan melihat, bergaul dalam satu rumah.
Ada sebuah hadits yang
jarang sekali diketahui oleh kalangan Aswaja, yaitu hadits tentang tsaqalain,
haditsnya berbunyi;
Yaa
Ayyuhannaasu Innii Taraktu Fiikum Maa In Akhadztum Bihi Lan Tadlilluu
Kitaaballahi Wa ‘Itratii Ahli Baitii
“Wahai manusia, sungguh
kutinggalkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya
kalian tidak akan tersesat: ‘Kitabullah dan Itrahku Ahlu baitku’ ”.
Hadits ini bisa kita
rujuk dalam: Shahih Tirmidzi jilid 5, hal. 328, hadits ke 3874 cet.Darul Fikr
Beirut, jilid 13 hal.199 cet.Maktabah Ash-Shawi, Mesir, jilid 2 hal.308 cet.
Bulaq Mesir.; dalam Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 5 hal. 182 ; dalam
Al-Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, halaman 149 ia mengatakan hadits ini adalah
hadits shahih ; dalam Ad-Durrul Mantsur oleh Jalaluddin As-Suyuthi jilid 6
hal.7 ; dalam Ash-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar Al-Haitsami hal. 184 ;
dalam Al-Fadhail, oleh Ahmad bin Hanbal hal.28.; dalam Tarikh Al-Khulafa’ oleh
As-Suyuthi hal.109 ; dalam Tafsir Ibnu Kathir, jilid 4 hal.113, cet.Dar Ihya’
Al-Kutub Al-‘Arabiyah, Mesir. ; dalam Tafsir Al-Khazin jilid 1 hal.4, cet.Dar
Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyah, Mesir. ; dalam Usdul Ghabah fi Ma’rifati
Ash-Shahabah oleh Ibnu Atsir Asy-Syafi’i jilid 2 hal.12.
Di kalangan Aswaja,
al-Tsaqalain itu adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah dan memang paling
banyak riwayat Aswaja tentang ini, yang padahal di antara kedua hadits
al-Tsaqalain yang lebih Shahih adalah hadits yang sering diriwayatkan oleh
Muslim Syiah. Oleh karena itu, ada sebuah ikatan atau integritas yang sangat
istimewa antara Sunni dan Syiah, meskipun banya juga dari kalangan Aswaja yang
membenci Syiah bahkan mengkafirkan mungkin itu adalah sebuah ketidaktahuan,
pen.
Sebagai Ulama
Nahdliyyin sering kali KH. Saepuddin Zuhri mengutarakan pemikirannya tentang
Aswaja dalam memberikan nasihat-nasihat kepada santrinya, salahsatu pidatonya
yang saya rekam dalam memori card otak saya adalah “Santri bapakmah, kabeh kudu
jadi Ulama” (santri bapak harus menjadi Ulama semua), orang awam atau santri
yang belum tahu menganggap bahwa Ulama itu adalah Ajengan, Resik, Pandito
(pemuka agama), dan ini perlu didekontruksi dan direkontruksi bahwasannya yang
dimaksud Ulama adalah ‘Alim (berilmu) sehingga menurutnya “Ulama teh anu
sirahna pinuh ku elmu, hatena sieun ku Allah” (Ulama adalah orang yang
kepalanya penuh dengan ilmu pengetahuan dan hatinya takut terhadap Allah), jadi
yang dimaksud oleh Ulama adalah orang yang berilmu yang bertaqwa kepada Allah
sehingga semua perbuatannya tak pernah lepas dari yang namanya Allah, maka dari
itu Ulama bukan propesi melainkan seorang yang mampu berpikir transendensi
tentang ketuhanan dan mendapatkan kedudukan sebagai Hakim al-‘Aliy yang mampu
menguasai Hikma al-Muta’aliyah. Sebagai mana Hadratus-Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
mengajarkan santrinya bercocok tanam dsb, karena Mbah Hasyim mengakui bahwa
tidak mungkin santri yang kuantitasnya banyak semuanya jadi Kiai.
Dalam pemikiran
Aswaja-nya KH. Saepuddin Zuhri yang sangat radikal dalam artian mengakar ke
dalam sehingga Aswaja bukan dipahami sebagai Akidah semata, melainkan Aswaja
dipakai dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, baginya ilmu adalah
segalanya, dan beliau sering mendengungkan sebuah motivasi bagi santrinya dalam
bahasa beliau “kudu nyantri, nyakola, jeung nyunda” (harus nyantri “mondok”,
harus sekolah, dan harus “sunda”), dalam istilah lain “kudu dua kola” dua kola
berarti artinya mondok dan sekolah. Penjabaran untuk bahasa yang pertama Nyantri
berarti sebagai muslim harus mendalami ilmu agama di pondok pesantren yang khas
dan asli produk Nusantara, bahasa yang kedua adalah Nyakola berarti beliau
sangat peduli terhadap muslim dan modernisme zaman, beliau lebih hati-hati
karena jiga hanya nyantri maka tidak bisa membendung dan melihat perkembangan
zaman dan arus globalisasi, bahasa yang ketiga adalah Nyundayang kurang lebih
beliau menjabarkan bahwa DNA manusia Sunda harus dipakai disetiap jati diri
manusia Sunda.
Jadi inti pemikiran
beliau tentang Aswaja, bahwasannya Aswaja ini mampu menggiring arus
perkembangan zaman dan mampu bersaing di dunia global, bukti nyatanya saat ini
NU sebagai ormas terbesar di Indonesia mampu mengawal dan membawa Aswaja ke
dunia International.
Kiranya seperti itu, saya
sebagai santri yang terlalu bandel dipondok, mendeskripsikan pemikiran seorang
ulama Masyhur dalam beberapa paragraf, mohon tambahan dan koreksinya.
0 komentar: