Ada apa dengan agama? Urusan radikalisme, terorisme, intoleransi, dan
kekerasan banyak dikaitkan dengan agama dan umat beragama. Agama malah
disebut produk impor layaknya barang dagangan. Aura negatif
keagamaan itu tidak jarang tertuju pada Islam. Ibnu Taimiyah secara
ceroboh dimasukkan sebagai salah satu tokoh sumber paham radikalisme.
Padahal, dialah yang menyatakan pemimpin non-Islam yang adil lebih baik
ketimbang pemimpin muslim nan zalim. Pemikiran pembaruan ulama besar
dari Syiria ini malah melampau zamannya.
Ironisnya, ada sebagian
golongan agama membeli isu radikalisme itu tanpa sikap kritis. Dalil dan
fatwa keagamaan tentang radikalisme pun serta-merta dikeluarkan.
Padahal, ranah lain tak kurang bermasalah dan menjadi sumber masalah
kalau kita angkat secara objektif ke ruang publik. Radikalisme itu milik
siapa saja tanpa pandang bulu. Sejarah mengenal radikalisme petani
sebagai gerakan perlawanan.
Tanyakan pada Kelompok Kriminal
Bersenjata (KKB) di Papua, kenapa dan atas nama apa mereka menyandera
dan berbuat teror terhadap orang-orang tak bersalah. Kelompok ini pun
tidak disebut teroris dan radikalis. Tentu selalu ada alasan untuk
pembenaran, tetapi tampak sekali bias parameter yang dipakai ketika
mengaitkannya dengan agama.
Agama dan umat beragama seolah jadi
terdakwa. Agama dianggap sumber radikalisme dan benih konflik yang
membelah warga bangsa. Hingga di negeri ini mulai tumbuh pandangan kuat,
janganlah membawa-bawa agama di ruang publik. Simpanlah agama di ranah
domestik.
Sementara ranah politik, etnik, kedaerah, dan segala
atribut lain ketika bermasalah dianggap biasa dan bukan sumber
kegaduhan. Padahal, karena soal politik rakyat terbelah, gedung dibakar,
konflik mengeras, dan kehidupan gaduh. Orang mengelompok dengan fanatik
dalam referensi etnik atau kedaerahan tak disebut eksklusif dan
intoleran. Semuanya keliru, tetapi tidak membuahkan stigma dengan aura
buruk-muka!
Pandangan sekular
Kita umat beragama sungguh menolak segala bentuk radikalisme atas nama apapun, di manapun, dan kapanpun. Lebih-lebih yang memproduksi kekerasan dan segala bentuk tindakan fasad fil-Ardi. Sejengkal apapun tak ada ruang untuk perbuatan merusak di muka bumi, Hatta atas nama agama, kitab suci, nabi, dan Tuhan.
Kita akui juga ada elemen umat beragama karena
bias-pemahaman dan bias-perilaku keagamaan menjadikan agama pendorong
tindakan-tindakan ekstrem seperti sikap radikal, intoleran, kebencian,
aksi sweeping, dan sejenisnya. Kita juga paham atas sorotan tajam
manakala agama dipakai sebagai pendorong hal-hal yang beraura garang dan
permusuhan karena secara normatif dan profetik agama dan umat beragama
memang membawa misi Ilahi yang suci untuk membangun kehidupan serba
bermoral dan rahmat bagi semesta alam.
Jadi, tidak terlalu keliru
kalau agama dan umat beragama disoroti tajam ketika masuk pada ranah
yang dikategorikan radikal dan sebagainya. Umat beragama tentu penting
untuk bermuhasabah diri agar tidak terjebak pada keberagamaan yang
bermasalah seperti itu.
Dengan demikian fungsi agama dan peran
pemeluk agama tetap kuat sebagai penyebar misi damai, toleran, inklusif,
dan segala kebajikan yang utama. Jadikan agama sebagai rujukan nilai
utama kebajikan peradaban di negeri tercinta ini, bukan sebaliknya
sebagai pemicu perilaku keras dan konflik atasannya Tuhan.
Namun,
penting juga pandangan yang adil dan objektif dalam melihat posisi
agama dan umat beragama di negeri ini, yang nilai positifnya jauh lebih
luas dan menjadi bingkai moral utama kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain itu arus utama umat beragama di negeri ini pun sungguh moderat,
damai, toleran, dan berkemajuan. Agama dan umat beragama harus dilihat
secara komprehensif, tidak parsial dengan nada sarat dakwaan. Tidak
perlu juga dipolitisisasi secara ekstrem, seolah agama dan umat beragama
sebagai sumber masalah.
Tampaknya, terdapat kecenderungan yang
menguat di sebagian elite, pakar, dan warga bangsa tentang alam pikiran
sekuler yang bersenyawa dengan proses demokratisasi dan hak asasi
manusia yang liberal sebagaimana pandangan hidup masyarakat Barat yang
berbasis pada humanisme-sekuler. Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang
agama dan kepercayaan yang kontroversial dapat dibaca dalam aura alam
pikir humanisme-sekuler itu. Pandangan yang demikian tentu tidak cocok
dengan jati diri bangsa Indonesia yang beragama kuat dan berideologi
Pancasila.
Peter L Berger pernah menengarai bahwa masyarakat
moderen tidak begitu hirau dengan persoalan-persoalan metafisik, tentang
hakikat kehidupan, dari mana manusia berasal dan untuk apa tujuan hidup
di dunia, serta makna-makna kehidupan lainnya. Hal itu karena proses
rasionalisasi atau lebih tepatnya sekularisasi begitu kuat, sehingga
hal-hal yang mendasar seperti itu seolah wilayah abstrak dan tidak
empirik.
Padahal kenyataan masyarakat modern justru memerlukan
dimensi yang melampaui dunia rasional itu, yang hanya dapat ditemukan
dalam agama. Agama, tulis Berger, merupakan kanopi suci (the sacred
canopy) yang dapat membebaskan manusia dari chaos atau segala bentuk
kekacauan hidup. Hatta dalam masyarakat dan dunia yang sekuler, menurut
Bryan Wilson, secara sosiologis agama masih tetap diperlukan dalam
memberi makna luhur bagi kehidupan umat manusia.
Maka menjadi
ironis manakala di Indonesia yang penduduknya beragama dan
ber-Pancasila, agama dipandang sebagai sumber masalah atau malah menjadi
terdakwa untuk segala hal buruk seperti radikalisme, terorisme,
intoleran, dan kekerasan. Lebih-lebih karena prinsip demokrasi dan hak
asasi manusia yang serbaliberal, agama mulai dimarjinalkan dan malah
harus disamasebangunkan dengan bentuk-bentuk kepercayaan tertentu yang
sama sekali berbeda dari agama. Agama dianggap skrup kecil dari
kehidupan masyarakat Indonesia.
Fungsi agama
Benarkah agama sumber masalah? Agama merupakan sistem keyakinan universal yang berdasarkan wahyu Illahi membimbing manusia menuju jalan hidup yang benar untuk meraih kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Agama, menurut Arseln van Feuerbach merupakan kebutuhan hidup manusia yang ideal. Ekspresi orang beragama dan bertuhan dapat beragam tetapi manusia sungguh tidak dapat hidup tanpa Tuhan dan tanpa agama, meski ada manusia yang ateis dan agnostik.
Agama mengajarkan manusia hidup
saleh untuk diri sendiri, sesama, dan lingkungannya sehingga kehadiran
agama justru menjadi rahmatan lil-‘alamin. Tidak ada agama apapun yang
mengajarkan keburukan, semuanya berisi kebajikan yang utama. Agama
sebagai refleksi iman tidak hanya terbukti dalam ucapan keyakinan dan
iman saja, tetapi agama juga merefleksikan sejauh mana iman itu
diungkapkan dalam kehidupan dunia ini (Mukti Ali, 1982).
Agama
menurut tokoh Perbandingan Agama dan mantan Menteri Agama itu berfungsi
sebagai faktor transendensi, sublimasi, profetik, liberasi, humanisasi,
dan kritik atas kehidupan manusia. Dengan agama manusia menjadi insan
relijius, shaleh, welas asih, sabar, peduli, mau berbagi, rendah hati,
dan berbuat serba kebajikan yang utama. Agama mengajarkan manusia
menjadi hamba Allah yang beriman sekaligus beramal shaleh bagi kebaikan
semesta. Rasul bahkan diutus untuk menyempurnakan akhlak utama manusia
serta menyebar misi rahmatan lil-‘alamin untuk kemajuan peradaban dunia.
Umat Islam selaku mayoritas di negeri ini selain menjadikan agamanya
sebagai pedoman kehidupan yang utama dalam keberagamaan, pada saat yang
sama menjadikan Islam berfungsi bagi kehidupan berbangsa. Apalah jadinya
bangsa ini tanpa Islam dan umat Islam, bersama dengan agama dan pemeluk
agama lain. Setidaknya bangsa Indonesia menjadi relijius dan
berkeadaban, sesuatu yang mendasar bagi kehidupan suatu bangsa. Bacalah
secara jernih dan objektif pengaruh positif agama dalam kehidupan bangsa
Indonesia agar tidak terjebak pada stigma atau pandangan negatif dan
menjadikannya seolah terdakwa atas hal-hal buruk di negeri ini.
Dalam konteks kesatuan dan persatuan nasional, peranan umat Islam di
negeri ini sangatlah besar. Menurut antropolog kenamaan
Koentjaraningrat, Islam merupakan kekuatan integrasi nasional dalam
pembentukan kebudayaan Indonesia. Menurut George Kahin (1995), salah
satu faktor terpenting yang mendukung pertumbuhan suatu nasionalisme
terpadu di Indonesia adalah tingginya derajat homogenitas agama yakni
lebih 90 persen penduduknya beragama Islam. Agama Islam bukan hanya
hanya suatu ikatan biasa, ini benar-benar merupakan semacam simbol
kelompok atau in-group untuk melawan penggangu asing dan penindas suatu
agama yang berbeda.
Dalam pejuangan melawan penjajahan sungguh
besar pengorbanan dan perjuangan umat Islam. Pengaruh, peranan, dan
kiprah umat Islam sungguh tak terhitung. Kekuatan Islam seperti
Muhammadiyah bahkan menjadikan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa
Syahadah. Nahdatul Ulama mengeluarkan Resolusi Jihad. Segenap pergerakan
Islam menggelorakan cinta Tanah Air sebagai bagian dari jihad
fi-sabilillah. Semuanya berjuang untuk Indonesia yang dicintai dan
dibelanya dengan sepenuh jiwa-raga dengan ruh agama!
0 komentar: