Thursday, November 30, 2017

HASAN HUSAIN (SYI’AH SUNNI)

Tragedi Karbala

Oleh Emha Ainun Najib

Makhluk diciptakan Allah berupa cahaya, namanya Nur Muhammad meskipun secara biologis ia dilahirkan 600 tahun sesudah Isa/Yesus. Namun semasa hidupnya ia menjahit sendiri baju robeknya, mengganjal perut laparnya dengan batu di balik pinggangnya.

Tak ada kemewahan apapun melekat padanya. Bahkan ia tak sanggup menolong Fatimah, putrinya, yang beberapa hari telanjang dalam selimut di kamar karena pakaiannya dijual Ali, suaminya, untuk bisa makan.

Muhammad dan keluarganya sangat dicintai dengan gelegak rasa perih, karena derita. Ia pun memilih karakter "abdan nabiyya" (nabi yang rakyat jelata), dan menolak ditawari "mulkan nabiyya" (nabi yang raja diraja).

Allah menawarinya jabatan raja agung dengan kekayaan berupa gunung emas yang ternyata memang sudah disediakan oleh-Nya, di wilayah Madinah dan Mekkah, yang hari ini menjadi cadangan kekayaan Arab Saudi. Di samping tambang minyak Yaman yang hari ini bisa menjadi sumber konflik antara kedua negara.

Sebab jika Yaman menguasai sumber minyak itu, karena daerah geografisnya lebih rendah, maka minyak Saudi di perut bumi akan diserap olehnya.

Memang tidak banyak yang menderita seperti Rasulullah Muhammad Saw: jenazah belum diurus, orang-orang yang sangat dicintainya seperti Abu Bakar, Umar dan Usman sudah sibuk memperebutkan jabatan.

Bahkan ketika tengah malam usai penguburan, sejumlah rombongan dipimpin Umar menggedor rumah Ali untuk menandatangani pengesahan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama.

Kepemimpinan dan keummatan dalam Syiah merupakan kohesi horizontal-vertikal yang sangat berbeda vitalitasnya dibandingkan dengan tradisi kaum Sunni.

Kaum Sunni menyebut Abu Bakar, Umar dan Usman dulu sebelum Ali. Bahkan tidak secara spesifik menyebut Hasan dan Husein.

Orang Syi'i jengkel karena menurut versi sejarah mereka, tatkala Nabi Muhammad wafat, yang menguburkan hanya keluarga Ali, sahabat terdekat dan seorang pekerja pekuburan. Sementara Abu Bakar, Umar, Usman sibuk di Tsaqifah, "KPU" yang memproses siapa pemimpin pengganti Nabi, tanpa mempedulikan jenazah Nabi.

Dalam hal maut mestinya kaum Syi'i lebih memiliki etos dan kesadaran spesifik, karena riwayat Ali, Hasan, dan Husein yang mereka tokohkan. Maut dan Husein adalah sumber tenaga sejarah.

Sesudah dibantai dengan jenis kekejaman yang sukar dicari tandingnnya dalam peradaban umat manusia, penggalan Sayidina Husein, diarak, diseret dengan kuda ke Syiria. Jutaan pecintanya memukul-mukul dada mereka agar terasa derita itu hingga ke jantung dan menggelegak ke lubuk jiwa.

Keperihan maut Husein itulah yang menjadi sumber kebesaran jemaah Syi'i di dunia. Duka yang mendalam atas apa yang dialami cucu Nabi itulah yang membuat kaum Syiah menyerahkan hatinya dengan sangat penuh perasaan kepada komitmen ahlulbait, keluarga Nabi.

Kematian Husein bukan balak atau tragedi, melainkan kebanggaan yang melahirkan kesadaran baru mengenai ideologi "jihad" dan "syahid". Jihad adalah persembahan total diri seseorang kepada kepentingan Allah melalui kebenaran yang diyakini. Jihad membuat dunia menjadi kecil, remeh dan tidak penting.

Jika seseorang sudah terpojok, bedil musuh di depan dan kiri-kanannya, sementara kebuntuan di belakangnya, maka jiwa jihad menjadi menggelegak. Keterpojokan membuatnya bersyukur karena dunia, hedonisme, kemewahan, dan segala hiasannya sudah tidak punya makna lagi. Tinggal satu: Allah.

Sementara di pusat Islam sendiri, Arab Saudi yang didirikan oleh koalisi keraton Arab Saudi dengan ulama Wahabi, konsentrasi emosional terhadap ahlulbait sangat dicurigai sebagai gejala syirik yang melahirkan berbagai jenis bid'ah.

Sejak 1980, Arab mengizinkan tanahnya menjadi salah satu pijakan kekuatan militer Amerika Serikat. Kerajaan Arab Saudi mendapat jaminan bahwa keluarganya tak akan diuti-utik. Silakan ambil Irak, Suriah atau manapun, asal keluarga Saudi tak diganggu.

Kalau perlu Mekkah dan Madinah dikuasai, asalkan kerajaan selamat. Tetapi siapakah yang menjamin keselamatan eksistensi keraton Saudi tanpa ia sendiri membangun kekuatan di dalam dirinya?

Kasan Kusen, demikian masyarakat santri tradisional Jawa menyebut nama kedua cucu Nabi itu, tak kalah menderitanya. Mereka tak hanya dicacah-cacah tubuhnya dan dipenggal kepalanya.

Mereka bahkan dirudal, dibom, dimusnahkan, diinjak-ijak harga diri kemanusiaan dan martabat kebangsaannya, bahkan dirampok hartanya secara terang-terangan.

Sumber: GATRA No. 24, 28 April 2003.
Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: