Oleh: Khairi Fuady
Jauh hari saya sampaikan kepada senior-senior di Ansor bahwa Abu Janda adalah duri di dalam daging kita. Dan ini adalah fenomena gunung es yang suatu waktu pasti akan meledak. Saya utarakan ini secara tertutup, semi terbuka, sampai kritik terbuka di media sosial.
Saya malah dimarahin, dibilang cuma bisa nyinyir ke dalam dan ga berani menyerang keluar. Padahal saban hari saya menulis, menciptakan konter-narasi atas segala upaya kelompok yang ingin melemahkan posisi kita dalam pertarungan wacana. Saya juga berceramah dari forum ke forum dan mengemban amanah sebagai anak muda Nahdhatul Ulama.
Kalau akhir-akhir ini saya agak kritis terhadap jargon "Jaga NKRI dan Pancasila", itu semata karena saya nggak ingin NKRI dan Pancasila menjadi berhala. Harus ada formula yang lebih kekikian dan acceptable dalam menyampaikan pesan-pesan kebangsaan, tanpa harus seolah-olah menciptakan distingsi dari kelompok yang menjadikan Islam sebagai nafas, doktrin, ajaran, dan perjuangan.
Demi Allah, saya sayang kepada NU, kepada Ansor, kepada PMII, kepada IPNU dan IPPNU. Ibu saya pengurus Muslimat, pembina Fatayat, dan mentor untuk sahabat-sahabat PMII, IPNU, dan IPPNU di kampung saya. Demikian juga Abah yang adalah mantan pengurus GP Ansor. Artinya secara biologis dan ideologis, komitmen saya terhadap NU nggak akan bergeser, MESKI SEJENGKAL.
Yaaa kalau sesekali saya beda pandangan soal strategi dan cara juang, bukankah berbeda itu juga tradisi kita? Bahkan di Pesantren, antara sesama ustadz pun saling silang pendapat, dan itu pemandangan yang lumrah-lumrah saja. Baru sekarang-sekarang ini aja agak lebay; biar pendapatnya homogen, under control, dan satu suara, diangkat lah Cak Imin sebagai Panglima Santri. Terus karena sudah ada Panglima-nya, kita harus satu komando gitu? Ulalalaaaaaaa. Heheheeeee.
0 komentar: