Terorisme |
Kutuk mengutuk biasanya hadir setelah ada insiden atau tragedi yang amat tragis, misal Malin Kundang dikutuk karena durhaka pada ibunya.
Kutukan itu hari ini cuma mitos (misteri nu atos-atos/misteri yang sudah berlalu) dalam istilah Sunda. Ya, bagaimana tidak? Saat ini kutukan itu tidak berlaku lagi, kutukan itu ibarat kemarahan, kekesalan, dan kebencian tapi tanpa ada tindakan ia hanya menunggu keajaiban Tuhan.
Teroris itu jangan ditafsirkan hanya sebuah gerakan yang menyerang fisik, terorisme itu juga adalah sebuah candu yang merusak saraf otak manusia. Ibarat anak dibawah umur sudah melihat perilaku sex dewasa dalam bentuk video atau tulisan yang mengakibatkan candu dan ingin mempraktekkannya.
Tak ada obat yang mudah untuk menangani candu itu, baik itu obat medis atau non-medis.
Pemahaman jihadis, ekstrimis, teroris, dan radikalis ibarat orang yang bagian otak prefrontal cortexnya sudah hancur, lebih hancur daripada orang yang meminum metamfetamina (dibaca; met) sejenis sabu-sabu, dan penikmat video porno.
Saraf otak yang hancur itu adalah hardware rongsokan manusia yang mempengaruhi software (pikiran, moral, akhlak) manusia menjadi error, penyakit kecanduan ini dapat mengkerdilkan otak sekerdil-kerdilnya. Otak yang kerdil dan kotor, sudah menjadi barang rongsokan yang sulit untuk didaur ulang.
Saya tidak menafikan proses-proses rehabilitasi untuk para teroris, tapi faktanya sampai saat ini napi teroris itu memang tidak direhabilitasi. Bagaimana tidak? Napi yang bertahun-tahun di penjara bisa berontak, itu menandakan tidak ada keseriusan pada pemerintah untuk menangani terorisme.
Menangani terorisme itu bukan atau tidak cukup dengan kutukan, anda kira ini zaman Malin Kundang. Seolah-olah kita harus mengimajinasikan pikiran kita untuk kembali ke masa lampau yang entah itu fakta atau fiksi.
Semua elemen bersorak di media elektronik hingga cetak dengan diksi dan narasi marah "Kami Mengutuk Tindakan Terorisme". Cobalah hentikan kata-kata bullshit itu, jangan hanya bicara seremonial saja tanpa tindakan yang konkret.
Saat ini yang paling penting dan paling konkret bukan fokus terhadap apa yang sudah terjadi tapi apa yang akan terjadi. Saya melihat bangsa ini bangsa yang reaktif bukan aktif, hanya sebatas respon saja, dan tidak mampu membenahi.
Hentikan istilah mitos itu, kembali kepada diri kita dan keluarga kita, karena sangat mungkin dan bisa jadi teroris itu ada di keluarga kita atau tetangga kita. Ia ibarat virus yang diselipkan di setiap makanan dan kebutuhan pokok kita.
Dan fokus pemerintah harus betul-betul menangani kasus ini, karena bukan masalah sepele. Ini tentang kemanusiaan. Terakhir, Polri dan BIN jangan kebanyakan ngurusin masjid, masjid sudah cukup dipegang para alim ulama, harusnya dicopot jabatan BG dan Syafruddin itu dari kepengurusan DMI (Dewan Masjid Indonesia), supaya mereka fokus menangani keamanan bangsa dan rakyat Indonesia.
0 komentar: