Dinno Munfaizin Imamah |
Saat kau lakukan segala sesuatu dari jiwamu,Kau rasakan sebuah sungai mengalir dalam dirimu, suatu kebahagiaan JALALUDDIN RUMI (1207-1273)
MUQODIMAH
Detik-detik menjelang fajar abad 21 merekah, rasa kemanusiaan bangun meregangkan urat nadi dan urat otot-ototnya dan mengucek-ngucek kedua bola matanya. Kembang-kembang tidur yang masih tersisa masih melayang-layang di pikirannya. Ada sesuatu yaitu rantai dan kawat berduri yang masih membelenggu manusia. Ah, semua itu hanya nightmare. Lalu beranjak ke kamar mandi, kemanusiaan mencuci wajahnya, menyisir rambutnya dan memeriksa kerut-kerut di cermin kaca, menyeduh segelas kopi, menyiapkan hidangan santap sahur dan membuka dengan khusyu’ sebuah diary. Marilah dengan seksama kita pandang apa yang ada dalam agenda hari ini.
Ada tiga masalah yang ribuan tahun jawaban pertanyaan ini setia tak berubah. Problem manusia dari ujung negara China, India, Eropa, Timur Tengah, Afrika dan Amerika yakni kelaparan, wabah dan perang. Mereka dari generasi ke generasi umat manusia sudah mencoba menghindari negatifitas zaman. Tetapi mereka terus-menerus meninggal karena ketiga problem kemanusiaan itu. Demikian paparan Yuval Noah Harari dalam buku barunya berjudul Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, yang katanya menggemparkan dunia.
Barisan pemikir kaliber dunia dan orang-orang suci menyimpulkan bahwa kelaparan, wabah dan perang telah menjadi bagian integral dari rencana kosmis Tuhan. Atau karena fenomena alam, atau kita yang memang belum menggapai kesempurnaan. Dan dari awal dunia terbentuk, umat manusia dimana pun sampai akhir zaman dunia pun tidak akan terbebas darinya, setia terbelenggu rantai dan kawat berduri. Takdir Tuhan sudah terjadi, kita tak mampu merubahnya. Sebagaimana dawuh filsuf Plato dalam pembuka film Black Hawk Down: Hanya orang yang sudah meninggal, yang melihat perang sudah berakhir.
Akankah kebanyakan orang memikirkan hal di atas? Menggapai matahari kesadaran untuk memperbaiki nasib bumi manusia. Banyak kalangan dari mulai Presiden, CEO, para jendral militer dan orang-orang shaleh masih punya agenda baru dalam skala kosmis blok sejarah: mencipta perdamaian dunia. Kini, manusia dapat membuka mata dan mulai menatap cakrawala baru dalam agenda menghadang kaum anarkis, sebagaimana bahasa kitab suci: kaum yang membuat kerusakan di atas bumi.
Dalam dunia yang sehat, makmur dan harmonis, apa yang menuntut tenaga, kemampuan dan perhatian kita menghadapi problem umat manusia. Apa yang kita lakukan untuk diri sendiri. Apa yang kita lakukan untuk merebut tanah yang dijanjikan di tengah gempuran alienasi (keterasingan) manusia yang menghamba materialisme, memegang teguh bendera konsumerisme dan bersekutu dengan siluman modern yakni operasi manusia abad ini yang dipuja tak lain citra dan algoritma agama data. Semuanya dalam skema menghancurkan kebahagiaan. Rasa bahagia yang selalu kita cari dimana pun dan kapanpun sekalipun di ujung dunia, dengan harga berapapun.
ALIENASI MANUSIA
Keterasingan dan kesendirian adalah satu, penyebabnya banyak. Hilangnya sanak keluarga, tetangga sahabat dan teman merupakan ujian yang cukup berat dalam revolusi industri, berjubah globalisasi. Menambah serangkaian daftar panjang penderitaan hidup manusia. Sebab kita, tergolong sebagai makhluk sosial. Secara alamiah, manusia tidak akan suka dengan kesendirian, meskipun tinggal di Istana Megah dengan pernak-pernik kemewahannya.
Alkisah, Sang filsuf Aristoteles pernah berkata,”Jika engkau hidup menyendiri, bisa jadi engkau adalah Tuhan atau hewan.” Beberapa abad selanjutnya, Sang filsuf Jerman F. Nietzsche berujar, menyempurnakan pernyataan Aristoteles: “… Atau bisa jadi engkau adalah kedua-duanya.” Tetapi, manusia hanya bisa jadi manusia. Ia membutuhkan tangan lembut orang lain, sebagaimana orang lain juga membutuhkan pikiran lembut dirinya. Ia ingin dapat memperhatikan orang lain, sebagaimana orang lain juga memperhatinya dirinya. Tanpa memperhatikan orang lain, kita tidak bisa mendapatkan perhatian adem ayem mereka. Sebab, satu-satunya jalan untuk mendapatkan teman dan sahabat yang tulus dan dapat menghibur kesendirian, keterasingan kita yang sekian lama menarik kuat gerbong Kapitalisme. Yaitu dengan memposisikan kita sendiri sebagai teman dan sahabat yang tulus bagi mereka. Pribadi yang tidak memperhatikan sesama oleh ahli jiwa, disebut sebagai orang yang paling pantas hidup menderita. Inilah yang disebut kegagalan insan dalam pengertian yang luas, dan semakin jelas di muka bumi.
Adapun, jika memang lingkungan dan kesendirian kita, meskipun ada di tengah-tengah orang banyak, mengharamkan diri untuk bertegur sapa antar manusia. Berarti kita tak ubahnya seperti burung Elang yang meregang nyawa di puncak gunung es. Inilah neraka terbesar yang tiada bandingannya. Inilah tantangannya kita, umat manusia terkini sudah masuk dalam kubangan alienasi, sentimen keterasingan abad ini, manusia tanpa empati.
WHAT I’VE DONE:
INFILTRASI RAMADHAN
Syukur alhamdulullah nafas kita menemui Ramadhan tahun ini, hadir di pelupuk mata, hati kita, merona dalam derai asmara kepada Nya, kepada makhluk-Nya. Ramadhan menginfiltrasi jiwa kita yang terasing, hampa dan gersang akan kasih sayang, kering minus kesegaran dari dahaga zaman Pasca Kebenaran (Post-Truth Era). Bahkan situasi kini, yang terjadi tanpa kasih sayang, tanpa empati kepada sesama dengan seenaknya membunuh makhluk terbaik-Nya, manusia. Manusia dibunuh dengan teror yang keji tanpa nurani, bahkan yang menyedihkan berlandaskan kalam-kalam suci.
Padahal Saling membantu, saling menolong, berkasih sayang dan saling memperhatikan adalah misi setiap manusia. Kenang-kenanglah Sabda Muhammad Sang Nabi,” Memperoleh pertolongan adalah hak setiap orang, setiap Muslim berhak memperoleh tujuh hal: penghargaan akan kehormatannya, kecintaan yang tulus dalam hatinya, saling berbagi dalam kekayaannya, tidak boleh dipergunjingkan, ketika sakit harus dikunjungi, setelah meninggal jenazahnya harus diantarkan dan tidak boleh disebut-sebut keburukannya apapun setelah kematiannya.”
What I’ve done, puasa Ramadhan harus dapat menginflitrasi kita semua untuk memasukkan kebahagiaan kepada sesama manusia, kaum kerabat, keluarga, tetangga, teman dan sahabat atau orang-orang tercinta di samping kita sesama putra-putri Bangsa Indonesia. Orang-orang yang sudah mendahului kita ke Alam Baka, dengan menyebarkan semerbak aroma harum kasih sayang kepada sesama makhluk Allah yang hidup di dunia bersama kita. Dengan itu, kita sekaligus melakukan paruh kedua dari ajaran Islam. Memasukkan kebahagiaan kepada hati sesama manusia. Seluruh ajaran Islam dapat disimpulkan dalam dua kalimat yaitu menyembah Allah Ta’ala untuk membuat ridho-Nya dan berbuat baik kepada makhluk-Nya untuk membuatnya bahagia.
Garis besarnya, berbagi adalah memasukkan kebahagiaan kepada hati orang lain kepada manusia bukanlah kewajiban segelintir orang, tapi semua orang. Setiap Muslim apapun jenis dan status sosialnya, mempunyai misi untuk memperlakukan orang lain dengan baik. Sebagaimana firman-firman Allah dalam Al-Qur’an, memperhatikan orang lain telah diperintahkan kepada umat-umat terdahulu hingga kini:” Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, Janganlah kamu menyembah selain Allah dan berbaktilah kepada orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia. Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu kecuali sebagian kecil dari kamu dan kamu selalu berpaling” (QS.Al-Baqarah 2:83).
Pada hari Kiamat nanti, Sang penguasa Raja Manusia Allah Ta’ala akan berkata kepada hamba-hambanya,”Hai, hamba-hamba-Ku, dahulu Aku lapar, engkau tidak memberi aku makan kepada-Ku. Dahulu Aku sakit, engkau tidak menjenguk-Ku. Dahuku Aku telanjang, engkau tidak memberikan pakaian kepada-Ku.”
Kemudian hamba-hamba-Nya bertanya,” Bagaimana mungkin aku melakukan itu semua sedangkan Engkau Tuhan penguasa alam semesta?” Tuhan menjawab,” Dahulu ada hamba-Ku yang sakit, sekiranya kau jenguk dia, engkau akan temukan Aku di situ. Dahulu ada hamba-hamba-Ku yang lapar, sekiranya kau beri makanan dan minuman pada dia, engkau akan temukan Aku di situ. Dahulu ada hamba-hamba-Ku yang telanjang, sekiranya kau berikan pakaian kepadanya, engkau akan menemukan Aku di situ.”
Waliyullah Eropa Syaik Al-Akbar Ibn Arabi dari Sevilla Spanyol, menjadikan hal ini sebagai titik point yang keren sebanyak satu jilid dalam Maha karyanya, Al-Futuhat Al-Makkiyyah. Dalam pembahasan tentang penampakan Tuhan di bumi manusia, ia memaparkan bahwa kita bisa menemukan Tuhan melalui pengorbanan, pengkhidmatan dan infiltrasi kebahagiaan, kebaikan kepada sesama hamba-Nya. Kita semua adalah hamba-hamba Allah dan kita semua adalah anggota keluarga Allah. Jalan mendekati Allah sebanyak bilangan nafas para pencari Allah. Tetapi jalan yang paling dekat kepada Allah adalah membahagiakan orang lain di sekitarmu. Berbuat baiklah kepada mereka. Semua itu dalam kerangka menjawab, merespons tiga masalah abad 21: Kelaparan, wabah dan peperangan global. Walaupun katanya Vino Bastian alias Jarot dalam adegan film Serigala Terakhir, dia pernah berkata: Perang takkan pernah selesai, dendam harus dibalas dan darah harus dibayar. Naudzubillah mindzalik cuk
Bahkan yang lebih mengerikan adalah menjawab satu kesimpulan yang mendebarkan sepanjang sejarah, dari Charles Reith dalam bukunya The Blind Eye of History (1942) yaitu,” Banyak masyarakat yang bubar, hilang dan lenyap dalam reruntuhan puing-puing sejarah, bukan disebabkan oleh perang atau wabah penyakit. Tetapi ketidakmampuan kita menjaga dan memelihara ketertiban umum.”
Akhirnya, jangan biarkan usia kita datang percuma sia-sia. Andai saja kita tahu dan paham akan hal itu, pasti tidak aka ada seseorang yang bersikap kasar, kejam, bengis dan jancok pada sanak keluarga, menjauhi teman, sahabat, tetangga dan mengajak bertengkar, memutus silaturrahmi dalam hidup bermasyarakat, bersosial. Puluhan tahun usia kita sekali lagi janganlah dibiarkan hampa, dan hambar, percuma tanpa arah. Dan kita semua tidak akan menyia-nyiakan waktu, meniti hari tanpa memperoleh sahabat baru, teman hidup yang suatu hari menjadi perisai bagi keterasingan, kesendirian jiwa dan kesedihan di musim dingin Bangsa Indonesia. Akan tetapi, siapa yang tahu dan ngerti ini sebelum waktu berlalu?
Bahwa inti kehidupan kita dihadirkan dari anugerah Allah Ta’ala adalah berbuat kebaikan kepada sesama manusia di dunia, kepada makhluk-Nya. Suami tercinta Sayyidah Khadijah Al-Kubro pernah bersabda,” Wahai manusia! Siapa pun yang membaguskan akhlaknya di bulan suci Ramadhan, ia akan berhasil melewati Shirath pada hari ketika kaki-kaki tergelincir.”
Karena berbuat baik adalah samudera kesadaran, berkasih sayang dan menginfiltrasi rasa bahagia di bulan suci Ramadhan, percayalah akan berbuah di taman syurga. Berbahagialah, karena Allah Ta’ala akan memasukkanmu dalam syurga-Nya. Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.
Ya Allah, karuniakanlah hamba di bulan ini, kecintaan terhadap kebaikan. Rasa benci kepada kefasikan dan kemaksiatan. Jauhkan hamba dari murka-Mu dan siksa api neraka. Dengan pertolongan-Mu, Wahai Penolong para pencari pertolongan.[]
Jakarta, 26 Mei 2018
0 komentar: