Saturday, April 28, 2018

SIHIR RETORIKA, SIHIR CINTA, DAN KISAH SI JOMBLO

Padmavati
Di malam Minggu biasanya anak muda masyarakat urban perkotaan sudah biasa mempunyai jadwal nge-date (istilah kencan "zaman now") bersama pacarnya. Tetapi, berbeda dengan aku masyarakat kampung yang urban ke perkotaan dan salah satu hal paling sulit adalah mencari teman nge-date, hehehe. 

Cerita demi cerita, diriku yang jomblo ini terpaksa ngopi ke Cafee cuma ditemani kawan laki-laki. 

Tepatnya setiap malam Minggu aku hanya jomblo pengangguran yang setiap hari diskusi ngomongin orang dari mulai retorika hingga estetika naik motor Chopper, hingga pembahasan yang sangat fundamental tentang kebangsaan pun kita bicarakan, cieee aktivis ya? Hahaha. 

Konon aktivis itu bawa bukunya itu yang berat-berat, Das Capital Karl Marx bagi penyuka gerakan kiri, An Inquiry Adam Smith bagi penyuka gerakan kanan "Liberal", atau In Principe Machiavelli bagi penggemar filsafat politik dan lain sebagainya. 

Ternyata aktivis kayak gitu gak laku brother, di zaman now ini cewek-cewek kampus itu lebih suka cowok mahasiswa yang slengean, rambut gondrong, baju compang-camping gaya Metallica, dan sejenisnya. Meskipun, ada 10 dari 100 mahasiswi yang suka mahasiswa rapih, pake kacamata, dan kelihatan intelektual. Kira-kira seperti itu. 

Malam Minggu itu, aku duduk di warung kopi bersama teman-teman. Seperti biasa mendiskusikan beberapa hal, baik itu diskusi mata kuliah, atau issue, bahkan raosting atau riffing (ngecengin dalam metode stand up comedy) para politikus yang sudah bertahun-tahun ngabdi di partai tapi belum jadi apa-apa. Hahaha. 

Kami juga bercerita suka-duka para bekas, bekas presiden lah, bekas capres lah, bekas dosen lah, dan barang bekas lainnya. So pasti yang diceritakannya kita adalah statementnya atau keputusannya yang diiklankan lewat konferensi pers. 

Kenapa mereka harus didengar dan kita diskusikan? Karena, pertama mereka sudah lanjut umur laiknya anak harus mendengar orang tua. Kedua, versi sejarah ini kan variatif, bahkan istilah aktivis Ciputat itu ketika momentum konfercab atau kongres-kongresan "tembok pun bisa bicara". Ketiga, di samping banyak orang yang gemar melihat ke depan ada juga yang suka nengok ke belakang. Keempat, hanya untuk lucu-lucuan saja, karena politisi itu tak jauh seperti aktor komedi cuma agak serius sedikit. 

Politisi itu memang enaknya diomongin. Soalnya lucu, banyak sekali politisi lonte yang seakan-akan ia menjual dirinya ke publik karena dia punya jasa pahala sosial dengan berbagai promosinya supaya dapat tertoreh dalam goresan hati rakyat. Mereka kan hanya menjual jasa saja, keadilan pun hanya sebatas dan sebanding dengan jasa yang diberikan, distributive justice. 

Gaya politisi macam itu, memang harus pandai beretorika, percintaan nanti dulu! Retorika belum selesai nih. 

Setelah membahas banyak tentang issue nasional dan internasional, saya merasa telah menjelajahi dunia dalam hitungan detik. 

Lanjut cerita aku pulang ke kontrakan (bukan kost-an takut dikira orang susah). Aku teringat salah satu film Bollywood yang belum aku tonton yaitu PADMAVAAT yang dibintangi oleh artis cantik Deepika Padukone. Kamu harus tahu, kalau film Bollywood itu film India, kalau Hollywood itu Amerika. Tapi ada juga film India yang Tellywood itu film India untuk kasta rendah "masyarakat miskin" atau sudra, bukan (Sudra)jat-Syaiku. Hahaha. 

Tiba di kontrakan, aku setel film PADMAVAAT itu. Konon katanya film kontroversial di India, banyak penolakan dari ummat Islam khususnya karena telah mendistorsi sejarah istilah jawanya "plintir", istilah timurnya "tahrif". Tapi aku gak peduli, itu kisah nyata atau enggak. Wong film kok, sama aja fiksi. Tetapi, Fiksi dalam definisi yang sah ya, bukan fiksi versi Rocky. 

Puisi epik karya Malik Muhammad Jayasi yang divisualisasikan dalam film, dan disutradarai oleh sutradara pemberani yang mendapatkan kritikan pedas dari kaum muslim dan Hindu di India, ia adalah Sanjay Leela Bhansali.

Karena ini film keren, terpaksa aku harus menyediakan sesajen untuk menemani diriku yang jomblo ini nonton. Aku siapkan beberapa batang rokok Sin Nogososro dan satu mug Teh Jablay racikan warkop Urang Kuningan. 

Tak terasa Pak Sutradara mengantarkan aku kepada adegan yang menakjubkan, yaitu sebuah retorika dari Alauddin Khiliji ketika memberikan semangat kepada para pasukannya di depan benteng musuh yaitu kerajaan Hindu Rajput. 

Ketika pasukan Alauddin Khiliji sudah lelah menunggu tanggapan dari raja Rajput, selama 6 bulan tidur dan istirahat di Padang pasir yang sangat panas dan ada pasukan yang ingin mundur tak mau ikut berjuang lagi, karena kehabisan logistik, Alauddin pun berdiri di depan ribuan pasukannya. Ia berkata; 

"Siapapun yang ingin kembali ke Delhi, maju ke depan rangkul sultanmu dan kembali ke Delhi", tidak ada seorang pun pasukan yang maju ke depan. 

"Ulaghu Khan?", Sambil melirikan mata ke Ulaghu Khan (Panglima Perangnya). 

Ia menunjukkan jari ke sebuah bendera kerajaannya, dan memberi isyarat terhadap salah satu pasukannya untuk mengambil bendera itu. Diantarlah bendera itu ke tangan Alauddin Khiliji. Dengan memegang bendera itu, Ia berkata; 

"Kami Khiliji melihat mimpi bersama. Bahwa suatu hari bendera kami akan berkibar di seluruh dunia. Kami bersumpah untuk bersama, apapun yang terjadi. Dan selama masa sulit ini kau ingin menyerah? Kalau begitu lupakan mimpi kita!." Ia mengucapkannya dengan mimik muka yang sedih agak marah. 

Setelah pidato reaktif dengan retorika yang menyihir, Alauddin melemparkan bendera yang ada ditangannya. Seraya para pasukannya langsung meraih bendera itu agar tidak jatuh ke tanah. Betapa menyihirnya sebuah retorika, mampu mengembalikan semangat para petarung. 

Ternyata retorika itu penting. Banyak orang mengira kemajuan dunia Barat bertopang primer pada matematika, fisika, dan kimia. Padahal bukan, kemampuan luar biasa dunia Barat itu dikarenakan kultur berabad-abad lamanya berpijak pada pendidikan bahasa yang berakar pada filsafat Yunani yang bertumpu pada retorika. 

Banyak orang yang salah paham atau pemahamannya yang salah terhadap retorika. Entah itu omong kosong lah, bullshit lah, atau apa itu jenisnya. Ya, memang ada beberapa politisi yang hanya menggunakan retorikanya untuk memprovokasi rakyatnya. Ada juga akademisi atau filsuf yang pikirannya biasa-biasa saja tapi mampu mengolah diksi kata, sehingga orang terpukau olehnya. Itulah cerdas beretorika. 

Menurut Romo Mangun Wijaya, retorika mempunyai makna yang lebih jauh dari yang kita pahami. Retorika adalah pemekaran bakat-bakat tertinggi Manusia, yakni rasio dan cita rasa dalam bahasa untuk berkomunikasi dalam medan pikiran. To be Victorious lord in the battle of minds. Retorika mampu menjadikan emansipasi manusia menjadi Tuan dan Puan.

Pidato Alauddin Khiliji itu sangat retoris, meski memang tujuan Alauddin bukan untuk ekspansi kerajaan Islam waktu itu, dia tidak punya niatan yang mulia dalam dakwah. Cieee PeKaEs ya, kader dakwah. Hahaha. 

Tujuan Alauddin hanya untuk menaklukkan dan mendapatkan Puteri atau permaisuri dari raja Rajput. Karena memang Alauddin digambarkan sosok raja yang serakah terhadap harta, tahta dan wanita. Apalagi mendapatkan kabar bahwa Puteri Padmavati itu cantiknya tak ada yang mengalahkan di seantero jagat Hindi waktu itu. 

Cinta terkadang memang aneh. Ya, namanya juga Cinta, tak peduli ia agama apa, karena itu naluri alamiah dari Tuhan. Yang lebih aneh itu sebenarnya, Alauddin ini tak pernah melihat dan bertatap muka dengan Padmavati, tapi bisa mencintainya. Meskipun dengan pertumpahan darah, perang antara Raja Alauddin dengan Raja Rajput suaminya Padmavati. 

Kerajaan Rajput kalah dalam medan tempur, dikarenakan Rajput berperang dengan etika dan rumus kepercayaan yang dianutnya istilah kita "bertarung secara jantan". Sedangkan Alauddin, tidak ada peraturan dalam perang, yang ada hanya menang. Mungkin Alauddin sudah baca buku Machiavelli kali ya?. Haha. 

Akhir cerita, kopi dalam mugku sudah habis dan rokopun juga habis. Kisah Padmavati pun mau habis. 

Film itu ditutup dengan tragedi kekalahan hakiki Alauddin Khiliji, karena tak sempat melihat wajah anggun nan cantik Puteri Padmavati. Puteri Padmavati dan pasukan perempuannya lebih baik melakukan Hak Jauhar (sebuah tradisi pembakaran diri untuk melindungi kehormatan dari pemerkosaan dan penjajahan kaum muslim di India) daripada kehormatannya dirampas musuh. 

Alauddin pun merasakan kekalahan yang hakiki. Cinta memang menyihir, mampu membuat kita buta untuk melakukan apapun. Pertanyaannya, masihkah agama membawa cinta? Dan jika orang beragama kehilangan cinta, apakah pantas disebut hamba, Dia? 

Sudahlah tidur! Minimal mimpi bertemu Deepika Padukone, atau Katrina Kaif. Haha.





Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: