Tuesday, May 1, 2018

HARI BURUH


Oleh Geger Riyanto

Eksploitasi kerja di ranah aktivisme—LSM, yayasan—agak berbeda dengan yang jamak kita jumpai di ranah korporat. Para pekerja LSM bekerja untuk "nilai." Keterbukaan, demokrasi, kesetaraan, pendidikan, katakan saja. Jelas, hasil kerjanya bukan komoditas yang leluasa dijajakan di pasar. Untuk menyambung hidup maupun kerjanya, mereka harus mengandalkan dana-dana pendonor. Dana yang dikepul dari publik atau pihak yang kepentingannya mereka advokasi? Realistis saja, kemungkinan ini belum kasat mata.

Akibatnya, di sana ada gurita eksploitasi hibrid yang tak jarang sangat mengerikan. Pekerja mesti sudi bekerja dengan upah yang sangat terbatas karena apa yang mereka lakukan adalah perjuangan. Pekerja tak seyogianya mengeluh, terlepas kondisi kerja mereka pada waktu-waktu tertentu sulit dibedakan dengan perbudakan, pasalnya bila tidak demikian apa yang mereka advokasi—draf perundang-undangan, misal—akan tergilas keculasan politik, kultur feodal, atau ketidakpedulian masyarakat. 

Dan yang patut digarisbawahi, tidak semua diganjar setara dalam "perjuangan." Tetap saja, ada pihak-pihak yang menenggak untung lebih banyak. Mereka yang dari "perjuangan" ini dapat mencetak atau memantapkan jejaringnya di antara klik pendonor dan pengambil keputusan, misalkan. Dan sebagaimana terbukti pada berbagai kesempatan, para dewan, petinggi, pengambil keputusan juga mendapatkan penghasilan yang bedanya dengan para pekerja pengeksekusinya sangat absurd. 

Mereka yang menjadi pekerja pengeksekusinya, sementara itu, harus mengurus dokumen tetek-bengek sedetail-detailnya hingga tidak tidur berhari-hari. Itu baru satu hal. Harus menghadiri rapat yang tak habis-habis. Kerja di hari libur. Kerja di hari Lebaran. Dan yang amat mengganggu kewarasan, mereka harus menghadapi drama-drama tak perlu dengan pihak-pihak yang banyak mau. Sebelum tidur dan saat baru membuka mata, hal yang mereka hadapi adalah drama-drama ini. Ketidakperluan-ketidakperluan yang berlarut-larut hanya karena para pencari gara-gara bisa melakukannya.  

Mau pergi? Tidak semudah itu. Mata uang di ranah ini adalah reputasi. Keputusan pergi dari sebuah proyek karena seseorang nyaris gila berada di dalamnya akan menutup pintunya untuk kembali ke dunia yang awalnya digelutinya karena "panggilan sanubari" ini. Dan, biasanya pula yang terjadi, seseorang tak bisa ke mana-mana lagi karena tinggal dunia ini satu-satunya yang ia punya. Ia merasa ia hanya bisa dan mampu bekerja untuk ranah ini. Dan manusia-manusia dunia ini pula yang setiap hari mencabik-cabiknya.

Saya pernah punya seseorang yang sangat berarti buat saya. Dan lantaran segenap kegilaan semacam yang saya ceritakan barusan, ia meninggalkan saya. 

Dan, ah iya, pada hari buruh ini, ia tetap harus bekerja. 

Selamat hari buruh. Panjang umur perjuangan.
Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: