Saturday, April 14, 2018

KUNCI SURGA YANG TERBUANG


Sumber foto: www.rmol.com

Oleh Dr. KH. Jalaludin Rakhmat

Kesetiakawanan dan cinta kasih yang pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabatnya, seperti yang dikisahkan oleh seorang sahabat Nabi, “Suatu hari kami berkumpul bersama Nabi saw. menjelang siang hari. Tiba-tiba datanglah rombongan orang yang berpakaian hampir telanjang dan compang-camping, sambil bertelekan pada pedang-pedang mereka. Kebanyakan, bahkan seluruhnya, dari Bani Mudhar. Tiba-tiba wajah Nabi berubah melihat penderitaan mereka. Beliau masuk (ke hujrahnya) kemudian keluar dan menyuruh Bilal untuk mengumandangkan adzan.

Setelah selesai mengerjakan shalat, Rasul yang mulia berkhutbah. Beliau membacakan beberapa ayat. Di antaranya: “Hai manusia takutlah kamu kepada Tuhan Pemeliharamu, yang menciptakan kamu dari diri yang satu … ‘sampai akhir ayat itu’ (Surah An-Nisa’); “Dan hendaklah setiap orang mempersiapkan bekalnya untuk masa depannya …” (Surah Al-Hasyr).

Beliau menganjurkan supaya setiap orang mengeluarkan sedekahnya –sandang atau pangan. Berbondong-bondonglah para sahabat menyumbangkan apa yang mereka punyai, bahkan ada seorang Anshar memikul satu kantung yang begitu berat sehingga tangannya hampir tidak dapat membawanya. Aku lihat dua tumpuk makanan dan pakaian dan aku melihat wajah Rasulullah saw. bersinar-sinar karena kegembiraan.

Setelah itu Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang memulai kebiasaan yang baik dalam Islam, maka baginya ganjaran dan ganjaran orang yang mengikuti kebiasaan baik itu sesudahnya. Barangsiapa memulai kebiasaan yang jelek dalam Islam, maka baginya dosa (karena memulai kebiasaan jelek itu) dan dosa orang yang melanjutkan kebiasaan jelek itu sesudahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun.” (Tafsir Ibnu Katsir 4:342).

Dalam peristiwa ini, kebiasaan yang baik, sunnah hasanah itu adalah menggerakkan umat Islam untuk bersama-sama membantu meringankan penderitaan sesama Muslimin; dan kebiasaan yang, sunnah sayyiah, ialah membiasakan bersikap acuh tak acuh kepada penderitaan orang lain.

Dengan demikian, sunnah hasanah ialah memandang kemiskinan sebagai masalah sosial yang pemecahannya harus dilakukan lewat aksi sosial; dan sunnah sayyiah ialah memperlakukan kemiskinan sebagai masalah individu yang harus diselesaikan sendiri oleh individu-individu yang bersangkutan.

Anda menghidupkan sunnah sayyiah bila Anda berpikir bahwa orang itu miskin karena bodoh, tidak mau bekerja keras, kurang hasrat berprestasi, tidak memiliki jiwa wiraswasta, fatalistis, pasrah kepada nasib, atau barangkali juga karena dosa-dosa yang pernah mereka buat.

Pada suatu pertemuan, para cendekiawan Muslim internasional, utusan dari setiap Negara menyampaikan kemiskinan dan kesengsaraan saudara-saudaranya, terkadang dengan deraian air mata yang tak tertahankan. Mengharukan. Tetapi, sebelum pertemuan selesai, para cendekiawan menyimpulkan bahwa kemiskinan dan kesengsaraan ini bersumber dari kebodohan kaum Muslimin.

Lalu, dengan semangat, peserta membeberkan cacat kaum Muslimin dewasa ini. Kembali, sang korban yang disalahkan! Kemiskinan menjadi masalah individual.

Menurut Al-Qur'an, ini kecenderungan orang-orang yang menumpuk kekayaan : “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat dan pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya” (QS.104:1-3).

Al-Qur’an menyindir orang-orang yang, ketika diberi kekayaan, merasa dimuliakan oleh Allah (dengan sifat-sifat yang baik), dan ketika diberi kemiskinan, mereka mengira Allah menghinakannya. “Sekali-kali tidak demikian.” Kemudian Allah menyebutkan penyebab kemiskinan adalah kecenderungan untuk tidak memuliakan anak yatim, tidak adanya usaha bersama untuk membela orang miskin, kecenderungan untuk menggunakan sumber-sumber daya (at-turats) secara rakus, dan kecintaan yang berlebih-lebihan pada harta benda. Islam memandang kemiskinan sebagai akibat dari sistem sosial yang timpang, dari kekurangan solidaritas sosial, dari sunnah sayyiah di masyarakat.

Sumber foto: www.statistik.tempo.co

Jadi, kalau terjadi kemiskinan yang meluas di masyarakat, siapakah yang paling bersalah? Nabi Muhammad saw. menjawab: “Sesungguhnya Allah mewajibkan atas orang-orang kaya Muslimin untuk mengeluarkan harta mereka seukuran yang dapat memberikan keleluasaan hidup bagi orang-orang miskin. Dan tidak mengalami kesengsaraan orang-orang miskin, bila mereka lapar atau telanjang, kecuali karena perbuatan orang-orang kaya juga. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban orang-orang kaya itu dengan pengadilan yang berat dan akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih” (HR. Thabrani).

Sayyid Sabiq menyertakan hadis ini setelah memberikan tafsir atas ayat Al-Qur’an: “Dan orang-orang yang pada hartanya ada hak yang tersurat, bagi yang meminta pertolongan dan yang melarat” (QS. 70:24-25). Kata Sayyid Sabiq, “Inilah hak orang-orang yang memerlukan ada harta orang-orang kaya; yang ukurannya sejumlah apa yang memenuhi kebutuhan pokok mereka berupa sandang, pangan dan papan, serta kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya yang amat dibutuhkan oleh manusia supaya ia hidup layak sebagai manusia” (Islamuna : 251).

Boleh jadi Anda berpendapat: Bukankah kewajiban kita selesai bila kita sudah mengeluarkan zakat? Pertanyaan yang sama pernah disampaikan oleh sahabat kepada Rasulullah saw. Beliau menjawab, “Sesungguhnya pada harta itu ada hak selain zakat.”

Lalu beliau membaca ayat: “Bukanlah kebaikan itu menghadapkan wajahmu ke timur atau ke barat, tetapi kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, hari akhir, para malaikat, al-kitab dan para nabi, serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, orang-orang yang meminta pertolongan, dan mereka yang ingin membebaskan dirinya dari perbudakan; mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat; memenuhi janji bila berjanji, orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang takwa.” (QS. 2:177).

Hak inilah yang harus Anda berikan ketika ada orang meminta tolong kepada Anda buat biaya rumah sakitnya, padahal pada diri Anda ada kelebihan uang. Hak ini juga yang harus Anda sampaikan kepada siswa yang tidak akan dapat melanjutkan sekolahnya bila Anda tidak memberikan hak itu kepadanya. Hak inilah yang harus dituntut oleh orang-orang miskin dari orang-orang kaya bila mereka mengalami kesulitan hidup.



Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: