Sunday, August 6, 2017

WASIYAT KIAI, KUDU JADI NU


Hadratus-Syaikh
Siapa sih di Indonesia ini yang tak kenal Hadratus-Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Hanya orang bodoh dan orang yang tak mau membaca yang tidak tahu beliau. Saya pun bergetar hati ketika mendengar namanya, menangis ketika membaca sejarahnya, seolah-olah aku ingin menjadi santrinya dan ingin berada di garda terdepan untuk melindunginya dari kekejaman penjajah yang telah menyiksanya. Bukan hanya saja sebagai penegak agama, beliau juga ikut serta dalam membela bangsa, ikut andil dalam menentukan keputusan, ikut bercampur baur mengawal kemerdekaan itulah seorang teladan, pemimpin bangsa, pendidik rakyat, dan guru semua ummat.
Keturunan ningrat dan darah biru menyatu dalam tubuhnya, secara garis keturunan dari Ibunya Nyai Halimah sampai kepada Prabu Joko Tingkir (Mas Karebet) bin Prabu Brawijaya. Dari Ayahnya Kiai Asy’ari sampai kepada keturunan Ahlu Syaiban yang berasal dari keturunan para bangsawan Arab yang datang ke Indonesia pada abad ke-4 H untuk menyebarkan Islam ke daerah Asia Selatan dan mendirikan pusat dakwah Islam dan kesultanan-kesultananm Ahlu Adhamah Khan. Mereka adalah keturunan Imam Ja’far al-Shadiq dan Imam Muhammad Baqir (Imam Ke-5 dan ke-6 dalam aliran Syiah Imamiah). Jadi Hadratus-Syaikh adalah masih keluarga Nabi Muhammad Saw dari garis keturunan ayahnya
Kenapa harus NU?
Sangat rasional sekali ketika pilihan ideologis saya jatuh ke ormas Nahdlatul Ulama untuk konteks Indonesia, mungkin lain cerita ketika saya lahir di Iran atau di negara mana pun yang tidak ada NU, bisa saja saya ikut Syiah, Mu’tazillah atau Ahlus-Sunnah dalam bentuk dan wajah yang berbeda dengan NU. Bagi saya sebagai manusia yang dilahirkan dan diciptakan oleh Tuhan di negara Indonesia, negara yang subur dengan kekayaan alamnya baik di daratan maupun lautan, manusia tak akan lepas dengan “apa yang namanya budaya, tradisi, dan kearifan lokal bangsanya”. Jawabannya simpel, kenapa saya memilih NU? Karena saya ingin menjadi manusia yang berbudaya dan berbudi luhur serta mengabdi terhadap bangsa dan negara tanpa melupakan sejarah dan leluhur bangsa ini (Indonesia). Bagi saya, datangnya Islam ke Nusantara ini bukan untuk merubah budaya, melaikan memperkaya budaya dan mewarnainya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Nusantara.
Ketika saya kecil, seperti biasa saya ikut pengajian diniyah, diklat, dll. Namun sama sekali belum tau yang namanya organisasi jam’iyah NU, bahkan di desa saya gak ada toh yang namanya NU, setahu saya ada juga muslimatan dan pengajian mingguan biasa, agendanya bapak-bapak dan ibu-ibu. Saya mengenal NU di podok pesantren Baitul Hikmah, Haurkuning, Mandalaguna, Salopa, Tasikmalaya, karena memang pada waktu itu pasca saya lulus dari SD, saya bercita-cita ingin menjadi manusia yang bermanfaat bagi negara dan agama. Akhir cerita yang tadinya saya mau mondok di PP. Ar-Risalah, Cijantung, Ciamis dilemparlah oleh orang tua saya supaya mondok di PP. Baitul Hikmah.
Pondok Pesantren Haurkuning memperkenalkan saya dengan metode pengajaran kitab kuning yang sagat apik (rapih), metode pengajaran seperti ini memang sangat klasik, di mana para santri disuruh dan dipaksa untuk menghafal kaidah-kaidan ilmu Nahwu dan Sharaf, yang lebih pentingnya yaitu memahami kaidah tersebut bukan hanya menghafal. Pesantren ini sering dijuluki dengan istilah “Pesantren alat”, pesantren alat adalah pesantren yang fokus pengajarannya terhadap ilmu ketata bahasaan, dalam artian mempelajari semua rumusan bahasa Arab untuk menggali kitab-kitab kuning dari hasil karya para ulama.
KH. Saepuddin Zuhri sering memperkenalkan Ahlus-Sunnah wal Jama’ah kepada santrinya, bahkan mewajibkan santrinya untuk menjadi NU. Saya waktu itu heran, apa sih NU?. Sewaktu sekolah di MA. Baitul Hikmah, ada beberapa buku di perputakaan yang cukup lumayan banyak yang membahas sejarah Islam di Indonesia, di antaranya; Api Sejarah, Ensiklopedi Islam, 100 Tokoh Berpengaruh di Indonesia dll. Dalam beberapa buku sejarah tersebut banyak sekali yang membahas tentang NU dan berbagai macam paham keagamaan dalam Islam, yang saya kagumi dalam beberapa buku yang saya baca tentang NU, bahwasannya NU adalah sebuah organisasi Jam’iyah yang didirikan oleh Hadratus-Syaikh Hasyim Asy’ari dengan beberapa proses, yaitu proses pembentukan Jam’iyah yang dihasilkan dari pengarahan atau petunjuk gurunya Syaikhona Khalil Bangkalan, dan petunjuk dari Tuhan yang dihasilkan melalui istikharah selama tiga tahun. Ini sangat menakjubkan sekali. Bahkan NU banyak ikut andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, sejarah paling besar yaitu ketika Rais Akbar (KH. Hasyim Asy’ari) mengeluarkan fatwa jihad dan Nasionalisme (Resolusi Jihad).
Menurut Ishom Hadzik (2000) dalam buku yang ditulis Zuhairi Misrawi berjudul “Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan”, pada masa penjajahan Belanda, Hasyim senantiasa berkomunikasi dengan tokoh-tokoh muslim dari berbagai penjuru dunia untuk melawan penjajahan. Misalnya dengan Pangeran Abdul Karim al-Khatthabi (Maroko), Sultan Pasha Al-Athrasi (Suriah), Muhammad Amin Al-Husaini (Palestina), Dhiyauddin al-Syairazi, Muhammad Ali, dan Syaukat Ali (India), serta Muhammad Ali Jinnah (Pakistan).
Hasilnya pada 22 Oktober 1945, Hasyim dan sejumlah ulama di kantor NU Jatim mengeluarkan resolusi jihad itu. Karena itulah Hasyim diancam hendak ditangkap Belanda. Namun Hasyim tak bergeming, dia memilih bertahan mendampingi laskar Hizbullah dan Sabilillah melawan penjajah. Hingga muncul sebuah kaidah (rumusan masalah yang menjadi hukum) populer di kalangan kelompok tradisional; hubb al-wathan min al-iman (mencintai tanah air adalah bagian dari iman).
Hal inilah yang menginspirasi saya untuk memilih NU, bukan hanya berjuang dalam kemerdekaan saja, NU juga ikut andil dalam mengembangkan khazanah keislaman dan kebudayaan di Indonesia, maka dari itu muncullah sebuah semboyan; al-Muhafadzatu ‘Ala al-Qadiem al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadiedi al-Ashlah (Menjaga budaya/tradisi yang baik dan mengambil budaya/tradisi yang baru yang maslahat/baik). Karena sejatinya, Islam bukan hanya Dien al-Syari’ah wa al-‘Aqiedah (agama Syari’at dan Akidah), namun di sisi lain Islam juga adalah Dien al-‘Ilmi wa al-Tsaqafah tsuma al-Hadlarah (Agama yang ilmu, budaya, dan peradaban)
x
Share This
Previous Post
Next Post

Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya. Darussunnah International Institute for Hadith Science, Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

0 komentar: