Negara sebagai
organisasi kekuasaan pastinya mempunyai hukum. Hukum yang berlaku dalam negara
yaitu hukum kepemeritahan atau hukum positif , tapi dalam sebuah masyarakat
yang berbudaya dan beragama hukum terbagi tiga bagian; pertama hukum adat,
kedua hukum agama, ketiga hukum positif. Mayoritas masyarakat Indonesia adalah
masyarakat berbudaya dan beragama seharusnya bagaimana negara bisa melindungi
ketiga hukum itu sehingga tidak terjadi disintegritas bangsa.
Masuk kedalam ranah
yang sensitive dan selalu seksi untuk dibicarakan meskipun itu hal yang sering
didialogkan namun susah diaplikasikan, yaitu simbiotik Negara dan Agama di
Indonesia yang belum selesai. Agama adalah sebuah pedoman setiap manusia dalam
menjalani hidupnya, issue yang penulis ambil adalah issue agama Islam di
Indonesia.
Islam sebagai agama
mayoritas masih dalam perdebatan yang intensif dalam memahami Din dan Daulah.
Karena memang Islam pada dasarnya mengatur semua aspek kehidupan. Maka tak
heran di Indonesia sendiri banyak dari kalangan Islam yang mempunyai
gerakan-gerakan sparatis dan berbahaya bagi kedaulatan NKRI. Ada beberapa hal
yang menarik, Islam sebagai agama dinamis bisa dipandang dalam berbagai aspek
sosial, politik dan budaya, Islam yang terlalu luas tapi disempitkan dalam satu
aspek saja sehingga menjadi Islam yang bersifat ekslusif dan tak moderat,
perdebatan yang berlangsung sampai saat ini dalam tubuh Islam sendiri belum
selesai.
Makin maraknya
pemahaman teokrasi dalam masyarakat muslim Indonesia menjadikan NKRI dalam
ancaman, berbagai elemen masyarakat muslim yang tak sepaham dengan tujuan
bangsa dan ingin mengobrak abrik negara dan menggantikannya dengan Islamic
State, pandangan pesimis melihat Islam masa depan ini lah yang kadang-kadang
orang menganggap demokrasi hanya angan-angan belaka dan uforia saja. Beginilah
orang-orang yang pesimis terhadap demokrasi.
Proses modernisasi
merupakan proses alamiah sejalan dengan naluri manusia yang selalu berkembang
dan berubah yang umumnya menuju ke arah kemajuan (Masykuri, 2013:247).
Modernisasi bukan lah hal yang patut kita jauhi dan juga bukan hal yang patut
kita takuti, saya melihat modernisasi pada saat ini meskipun katakanlah kondisi
bangsa kita saat ini semakin terpuruk dikarenakan kita adalah hasil dari
pendidikan yang tidak berbudaya dan tidak agamis, akhlak dan etika bangsa kita
semakin hilang, namun kita tak pernah sadar dengan semua itu. Pendidikan
Indonesia yang semeraut dari pasca orde baru yang mana pendidikan di Indonesia
menciptakan kapitalisme-kapitalisme baru dan kapitalisme sendiri itu muncul
dari masyarakat pribumi,
Menurut Freire dalam
(Wahyu, 2001:262), tujuan utama dari pendidikan adalah membuka mata peserta
didik guna menyadari realitas ketertindasannya untuk kemudian bertindak
melakukan transformasi sosial. Mengacu kepada pemikiran filsafat pendidikan
Paulo Fiere, saya berpendapat bahwa pendidikan Indonesia inilah yang sudah
rusak pada masa orde baru sampai sekarang karena pendidikan Indonesia yang
terlalu menitik beratkan terhadap Pancasila dan ekonomi pembangunan. Bagi saya
pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menitik beratkan terhadap carcter
building (pembangunan karakter). Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara
merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur
kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan
tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke
arah keluhuran hidup kemanusiaan.
Dampak atau akibat dari
pendidikan yang tidak bisa menjaga budaya dan identitas bangsa sehingga mudah
tergerus arus modernisasi, globalisasi sehingga terjadi eksploitasi di
mana-mana, bahkan posisi agama sebagai banteng etika manusia pun tak mampu
melawan arus modernisasi yang semakin marak sehingga yang terjadi adalah
disintegrasi antara agama dan negara dikarenakan tidak ada pembenahan
pendidikan yang benar di Indonesia, pendidikan dijadikan pusat kapitalisme,
dari pendidikan muncul kapitalis-kapitalis pribumi asli yang menindas
saudaranya sendiri ini lah hasil dari modernisasi.
Untuk mengawal
modernisasi dan globalisasi bahkan kapitalisme global masyarakat Indonesia
terutama kalangan intelektual harus mempunyai paradigma menggiring arus bukan
paradigma terbawa arus. Paradigma menggiring arus memposisikan dirinya pada
pergerakan civil society untuk menciptakan interaksi yang lebih setara
(simetris) antara negara dan masyarakat. Dalam konsepsi yang demikian, maka
demokrasi dan penegakkan Hak Asasi Manusia menjadi syarat empiris yang mesti
dihadirkan terlebih dahulu. Singkatnya, daulat rakyat mesti melampaui daulat
negara. Gerakan advokasi sosial dan Free market Idea’s (FMI) menjadi
konsekuensi logis yang mesti dilakukan untuk mewujudkan mimpi civil society
itu.
Filsafat pendidikan
Fiere, Ki Hajar Dewantara, dan paradigma menggiring arus adalah hal yang
menjadi jawaban pada masa kini, masa yang telah bobrok, akal manusia hilang,
akhlak entah kemana, kemanusiaan tak lagi jadi tujuan, penindasan yang jadi
bantalan. Sekiranya kondisi agama dan negara yang terjadi saat ini tak lebih
dari itu.
Penulis berargumen
bahwa orang-orang yang membentuk gerakan-gerang sparatis Islam adalah orang
yang pemikirannya konservatif, tidak optimis terhadap modernisasi zaman dan
tidak mempunyai paradigma menggiring arus. Pemikiran yang konservatif inilah
yang ingin mengembalikan Islam kezaman dawlah dan khilafah pada masa
dinasti-dinasti Islam berjaya. Sebuah pemahaman literal yang tak mau mengikuti
perkembangan zaman sedangkan Islam sendiri Shalihiyyatun Fii Kulli Zamaan.
0 komentar: