Aksi #2019GantiPresiden |
Insiden yang terjadi di CFD Bundaran HI pada 29 April 2018 adalah sebuah bentuk kegagalan peradaban bangsa kita. Dua kali perang dunia telah kita lewati, sekarang kita berada pada ambang peradaban baru. Efek yang terjadi dari perang besar tersebut adalah kondisi dan bentuk tragik kemanusiaan.
Bangsa kita telah
melewati paruh pertama abad 21, abad dengan kecanggihan teknologi dan kecepatan
informasi dengan berbagai perkembangan media massa, yang kian mendekati
fiksi-ilmiah hollywodean ini, ternyata dalam benak pikiran kita masih
membayangkan kegetiran dan paradoks abad yang baru saja terlewat. Abad 20 yang
telah kita lewati membuat kita optimis terhadap masa yang akan datang.
Namun, perlu kita
ketahui kedatangan optimisme itu bersamaan dengan wajah yang menyiratkan
kegetiran pada prestasi terburuk sejarah manusia. Korban kekejaman dua kali
perang dunia adalah terorisme, kekerasan, genocide, narkotika, penyakit, dan
kriminalitas hi-tech. Ini adalah abad
yang sangat tragis,di mana tak ada satu bangsa pun yang dapat menghindarinya.
Indonesi telah
melewati semua abad itu. Namun, ambiguitas keberhasilan dan kegagalan peradaban
manusia membuat akhir abad millenium ini tak lagi menjadi titik lepas landas
pertumbuhannya,justru malah menjadi mimpi buruk yang menggentayanginya. Ketika
krisis mengahantam semua penyangga sistem ekonomi dan politik kita yang
dikotori dengan merebaknya kekerasan dalam masyarakat kita yang mempunyai
sejarah persaudaraan dari berbagai suku dan etnik, dan kini mesti menanggalkan
kenangannya sebagai bangsa yang “ramah”.
Dampak dari kegagalan
peradaban ini adalah kekerasan yang menjamur di kalangan masyarakat kita, baik
itu kekerasan fisik atau psikis, bisa juga kekerasan dunia sosial faktual atau
dunia sosial media, dan ini terjadi secara vertikal atau pun horizontal,
institusional atau individual. Ini menjadi problem bagi bangsa kita, bukan
hanya menjadi problem kesadaran kolektif tetapi juga menjadi problem kesadaran
individual.
Konflik dan kekerasan
menjadi persoalan yang tidak hanya mampu menghancurkan kemungkinan-kemungkinan
masa depan masyarakat di semua lini, namun juga dapat meruntuhkan pijakan
kultural kita sebagai bangsa yang “ramah”. Sebenarnya ini merupakan bentuk
pengingkaran dan pengkhianatan pada pijakan dan realitas itu; realitas mengapa
kita hidup berdampingan dan bersamaan dalam kesatuan bangsa yang utuh, di
antaranya; pijakan yang sesungguhnya mengukuhkan dan mengokohkan keberadaan
eksistensial kita. Akibatnya secara subtansial, pijakan kultural kita retak dan
hancur.
Pramoedya Ananta Toer
pernah menulis dalam sebuah media asing, ia mengatakan konflik yang disertai
kekerasan adalah ekspresi dari “intuisi barbar” masyarakat Indonesia. Politik
yang refresif dengan bentuk kekerasan memunculkan kembali emosi primitif itu.
Masihkah kita mengakui Indonesia dalam pijakan yang sama?
Sebagian dari kita
menempatkan prasangka rasial sebagai penyebab utama dari kekerasan yang terjadi
di Indonesia. Ditekannya ekspresi yang bersifat SARA oleh ideologi oposisi,
turut mendukung terpeliharanya rasialisme di kalangan rakyat Indonesia. Dan
kekerasan ini bukan muncul dari orang-orang yang primitif (berpendidikan
rendah), tetapi ia muncul dimotori oleh para orang yang beradab (civilized), seperti pemuka agama,
politisi, perwira militer, atau bahkan intelektual?
Banyak sekali
akhir-akhir ini kekerasan yang menjadi sebuah patologi penyakit SARA di
masyarakat kita. Di lain risiko bisa juga naluri-naluri primitif ini terjadi
bukan akibat karakter atau sifat barbarisme tadi, melainkan sebagai pelampiasan
untuk tercapainya ekstase sosial. Ekstase sosial ini lah yang yang lahir dari
ketidaksadaran sosial, karena kesadaran sosialnya terpenjara dan terbui dalam
samudera hawa nafsu yang akhirnya menjadikan rakyat kita buta.
Seorang sufi
kelahiran Spanyol yaitu Ibn ‘Arabi pernah mengatakan; Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa
rabbahu. Barang siapa yang mengenali dirinya, maka ia telah mengenali
Tuhannya. Mahfudzat atau kata mutiara ini bukan hanya saja sebagai dimensi
transendental antara makhluk dan penciptanya, melainkan juga adalah bentuk
kritik sosial bagi individu diri manusia yang masih menyembah berhala yaitu
hawa nafsu. Ketika manusia memaksakan kehendaknya sendiri dan tidak menerima
selainnya maka ia adalah pemuja berhala hawa nafsu.
Karakter itu tiada
lain adalah simtom psikologis yang dapat terjadi pada siapa saja, secara sosial
maupun individual. Dan memang pada kenyataannya dapat terjadi pada kepribadian
yang gamang dan rapuh, yaitu kepribadian manusia yang mengalami kesulitan untuk
menempati danmengenali dirinya sendiri; suatu keadaan yang membuat seseorang
kehilangan kepercayaan, dalam bahasa Ibn ‘Arabi manusia yang tidak mampu
mengenali Tuhannya.
Melihat akhir-akhir
ini banyak manusia Indonesia dari bangsa kita sendiri, saudara kita sendiri
yang gamang dan rapuh tidak mempunyai jati diri. Apakah kita masih mengakui
Indonesia dalah satu tarikan nafas?
Misalnya gerakan
populisme Islam atau Islamisme (Islam Politik) aksi 212 sangat resisten bagi
keutuhan bangsa kita. Mereka merasa lebih Palestina dari pada orang Palestina
sendiri, menjadi lebih Suriah dari pada orang Suriah sendiri, bahkan merasa
menjadi lebih Islam dari pada kiai-kiai, guru-guru kita di pesantren. Kondisi
inilah yang mengkhawatirkan kita.
Kejadian kekerasan
terhadap wanita dan anak kecil di CFD Bundaran HI adalah bentuk efek dari
gerakan populisme Islam tersebut. Sah-sah saja berkampanye dengan model apapun
kecuali SARA dan Kekerasan, karena itu yang tak bisa ditolerir dan tak ada
dalil sahih manapun yang melegitiumasi kebenaran tersebut.
Bangsa kita hari ini
telah dihadapkan kepada masyarakat yang chauvinisme
etnik, yaitu bangsa yang ke-Aku-an, bukan bangsa yang ke-Kita-an. Padahal
dalam norma bangsa ini, lebih menghargai istilah “Kita” ketimbang “Aku”, bahkan
seorang menteri akan menyebut dirinya “Kami” di hadapan presidennya. Oleh
karenanya, masihkah kita mengakui Indonesia?
Sebuah solusi yang
sangat penting adalah kembali kepada diri kita sendiri mempertanyakan
pertanyaan tersebut; masihkah kita punya ikatan bersama dalam naungan Pancasila
yang diambil dari butir-butir perjalanan berabad-abad lamanya bangsa kita.
Masihkah kita punya pijakan kultural bersama. Masihkah kita mengakui Indonesia?
0 komentar: